01 Maret 2004

opini musri nauli : BUDAYA DAN PENGUASA



Memalukan. 

Itu kata-kata yang pantas terhadap terhadap kelakuan anggota parlemen yang teriak-teriak meminta pesangon persis buruh pabrik yang justru tak pernah mereka bela. 

Berita-berita ini menghiasi berbagai media massa akhir-akhir ini. Periode pada masa akhir "berbakti"-nya anggota parlemen ternyata tidak digunakan anggota parlemen untuk mempertanggungjawabkan pekerjaan politiknya kepada konstituen-nya. Misalnya bagaimana kiprah mereka didalam memperjuangkan kepentingan rakyat, berapa Perda yang dihasilkan dan berguna untuk rakyat. 

Tapi lebih sibuk membangun lobi, menghitung uang yang didapat sebagai pesangon tentunya lengkap dengan dalil yang dibuat untuk masuk akal bagi rakyat. Kalaulah dikritik oleh berbagai kalangan, maka dibuat pula sebagai alasan kemanusiaan. Sebuah kecelakaan politk yang aneh di zaman reformasi. 

Menarik memang mengikuti sepak terjang anggota Parlemen. Kiprah mereka disoroti bukan terhadap kinerja politiknya, tapi menjadi sorotan ketika pembahasan APBD, Perda, LPJ dan suksesi. Kelakuan anggota parlemen sekali membuktikan hipotesis yang penulis sampaikan pada opini di harian Jambi Ekspress beberapa waktu yang lalu. 

Pada pokoknya penulis menyoroti kelakuan anggota parlemen yang lebih menampakkan watak birokrat Pangreh praja. 

Sebuah identitas kelas priyayi yang harus dilayani oleh kelas rakyatnya. Kelakuan anggota parlemen yang teriak-teriak meminta pesangon juga melambangkan sikap serupa sebagaimana yang dicontohkan oleh penulis. Dan yang dilakukan akhir-akhir ini juga sekaligus tidak mempunyai dasar baik ditinjau dari sudut fungsi, filsafat, istilah maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Ditinjau dari sudut fungsi, anggota parlemen berbeda dengan buruh. Buruh sebagai bagian dari komoditi sebuah industri tentunya mempunyai tanggung hawb keluarga terhada nasib keluarganya yang sifatnya individualistk. Buruh hidup dalam putaran industri yang seluruh persoalan ekonomi ditanggung oleh perputaran industri. 

Majikan dan buruh benar-benar tergantung dari bergeraknya industri itu. Perlindungan yang diberikan negara hanyalah perlindungan fisik dan pelindungan hukum. Maka tak pantas memperbandingkan pesangon yang diminta buruh dengan anggota Parlemen. 

Berbeda dengan anggota parlemen yang memiliki segala fasilitas yang disediakan oleh negara, buruh selain memperjuangkan seluruhnya dengan kemampuan tenaga. 

Dari sudut ini saja kelihatan betapa ketika membicarakan uang pasca pengabdian,uang purna bakti ataupun istilah lainnya yang mengambil asumsi dari determinan buruh. Tapi dari fungsi sama sekali tak pantas mengambil asumsi dari buruh. 

Sedangkan dari peraturan yang berlaku, juga disadari bahwa apa yang diteriakkan oleh anggota parlemen sama sekali tak tepat dan tentu saja tak pantas. Selain tidak diatur dalam ketentuan yang berlaku yang menjadi dasar penghitungan meminta pesangon, permintaan itu mengada-ada. 

Walaupun permintaan tersebut sudah selesai didiskusikan dengan ditolaknya permohonan tersebut oleh eksekutif namun pembahasan yang penulis tawarkan untuk kita diskusikan adalah permintaan dari anggota DPRD melambangkan pola pikir sebagai abdi negara yang pangreh praja. 

Pembahasan ini sengaja penulis sampaikan karena sikap ini akan selalu mengejawantahkan dalam setiap tindakan anggota DPRD. Sikap abdi pangreh praja adalah sikap feodalistik dari masyarakat yang agraris yang menganggap bahwa kelas sebagai abdi negara merupakan symbol status social yang berbeda dari kalangan masyarakat biasa. 

Sebagai bagian dari penghormatan abdi pangreh praja ini, mereka haruslah diteladani, setiap pembicaraan dan tindakan diikuti, dihormati dalam setiap keputusan penting, mengukur semuanya dari sudut pandang kelas yang tinggi, hidup glamour dan tentu saja berjarak dengan lapisan rakyat dibawahnya. 

Dalam pemaparan periodic perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kelas abdi pangreh praja diidentikakan dengan keturunan priyayi, terpelajar dan tentunya mempunyai kekayaan yang cukup. 

Kelas status yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan juga membuat pergaulan mereka juga tidak memungkinkan mereka bergaul dalam komunitas yang berbeda. Mereka bergaul satu sama lainnya dalam komunitas yang sama. Mereka sangat menghormati komunitas. 

Ketakutan yang berlebihan mereka terlempar dari komunitas membuat mereka sangat hati-hati bergaul diluar daripada komunitas mereka Sikap penghormatan abdi pangreh praja ini juga mengakibatkan proses nasionalisme di Indonesia sempat menjadi wacana intelektual. 

Tokoh-tokoh nasionalis dari Jawa kemudian berhasil merumuskan identitas bahwa komunitas ini mempunyai peranan yang cukup dalam pergerakan di Indonesia. Tahun 1908, 1928 dan 1945 adalah proses panjang mengikis pandangan salah tentang sikap penghormatan abdi pangreh praja. 

Tokoh-tokoh nasionalis yang berasal dari keturunan abdi pangreh praja melakukan sikap yang radikal dengan bergabung rakyat yang mempunyai sikap nasionalis terhadap kemerdekaan bangsa. Sikap inilah yang dalam periodic sejarah menghantarkan bagaimana kemudian tokoh-tokoh nasionalis dihormati bukan sikap abdi pangreh prajanya tapi sikap keteladanan dalam berjuang menggapai kemerdekaan. 

Sebagai sikap politik, penghormatan abdi pangreh praja sebenarnya sudah selesai dibahas. 

Tapi sebagai bagian dari proses berfikir masyarakat agraris yang cenderung irrasional, mistis dan tradisional, sikap penghormatan terhadap abdi pangreh praja masih kuat. Sikap ini membelenggu pola pikir masyarakat. 

Dalam periode reformasi dimana anggota DPRD dihasilkan dari buah reformasi, sikap abdi pangreh praja tidak mudah dihapuskan. 

Sikap yang masih kuat mencengkeram dalam pemikiran mereka inilah yang membuat mereka dalam melakukan perbuatan politik tidak dapat menghilangkan dari pola pikir tersebut. 

Maka praktis anggota DPRD lebih sibuk membahas fasilitas, kesejahteraan dan berbagai pernik untuk membuktikan bahwa mereka haruslah dihormati sebagai kelas yang berbeda dengan rakyat kebanyakan. 

Periode akhir dari anggota DPRD yang seharusnya digunakan sebagai laporan pertanggungjawaban politik kepada rakyat malah disibukkan terhadap issu pesangon. 

Periode akhir ini seharusnya memberikan report berapa Perda yang direncanakan yang dibuat, berapa Perda yang dihasilkan, berapa perda yang belum diselesaikan dan apa strategic daerah kedepan menghadapi AFTA. 

Juga harus disampaikan persoalan rakyat apa yang dihadapi, berapa kali demonstrasi, persoalan apa yang menjadi konsentrasi anggota DPRD dalam menyikapi masalah rakyat. 

Dan asumsi yang penulis sampaikan sekali lagi membuktikan bahwa pola pikir yang ada di anggota DPRD sekali lagi membuktikan bahwa apa yang penulis sampaikan sudah terjawab. 

Dari titik singgung inilah, maka penulis menjadi sadar ternyata ketika reformasi telah bergulir, maka ada “sesuatu” yang belum beres dalam pemikiran kita untuk menghadapi dalam proses menjadi negara demokratis. 

Persoalan yang penulis tawarkan adalah menghapus pemikiran yang membelenggu dalam pikiran kita semua.

 Sebagai negara agraris, Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pola pikir tersebut. Tapi untuk mempersiapkan sebagai negara yang demokratis, pola pikir ini haruslah dibereskan dulu. Pola pikir yang berlebihan terhadap sikap abdi pangreh praja sekali lagi dihapuskan.