Diibaratkan pagelaran wayang, lakon sekarang terjadi “goro-goro”. Para penguasa negeri sedang mengeluarkan segala kemampuan tempurnya untuk mengalahkan musuh.
Keputusan Mahkamah Agung yang menganulir Peraturan KPU No. 15/2009 terutama menyangkut penetapan suara parlemen terpilih tahap dua, selain membuat sejumlah partai kecil kehilangan kursi di DPR, juga bisa berimplikasi pada keabsahan Pilpres lalu, terkait persyaratan pengajuan capres.
Untuk diketahui bahwa kasus ini bermula ketika keputusan MA yang mengabulkan gugatan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) atas Peraturan KPU No. 15/2009.
Permohonan tersebut diajukan oleh Zaenal Maarif (calon legislatif Demokrat Jateng V), Yoseph B Baduda (caleg Demokrat NTT (Nusa Tenggara Timur)), M Utomo Karim (Caleg Demokrat dari Dapil VII), Mirda Rasyid (Caleg Dapil I Lampung)
Mengutip putusan ini menyebutkan (1) Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Peraturan KPU Nomor 15 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis penetapan dan Pengumpulan Hasil Pemilu dan Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan calon Terpilih, Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten tahun 2009, Pembentukannya bertentangan dengan UU yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Pasal 205 ayat (4).
Dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku untuk umum. (2) Memerintahkan kepada KPU untuk membatalkan dan mencabut Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3), (3) Memerintahkan KPU untuk melakukan revisi keputusan KPU Nomor 259/Kpts/KPU/2009 tentang penetapan perolehan kursi parpol serta pemilihan anggota DPR tahun 2009 sesuai dengan UU Nomor 10 tahun 2008, (4) Selanjutnya memerintahkan KPU untuk menunda pelaksanaan keputusan KPU 259/Kpts/KPU/2009. (5) Membebankan biaya kepada termohon sebesar Rp 1 juta. Hal tersebut merupakan putusan majelis hakim yang dipimpin, Ahmad Sukardja, dengan hakim anggota, Imam Subekhi dan Mariana Sidabutar.
Untuk diketahui, pasal 22 huruf c dan pasal 23 ayat (1) dan (3) peraturan KPU No 15/2009 berisi tentang pedoman teknis penetapan dan pengumpulan hasil pemilu, tatacara penetapan perolehan kursi, penetapan calon terpilih dan penggantian calon terpilih dalam pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota.
Buntut dari kasus ini akhirnya membuat lima partai politik yakni PPP, PKS dan PAN, Gerindra dan Hanura menggalang perlawanan untuk melawan dan bersikeras mengabaikan keputusan MA tersebut.
Bahkan dibeberapa daerah sudah mulai muncul protes yang dilakukan ribuan caleg yang dirugikan atas keputusan MA ini.
Kenapa lima partai politik ini melakukan perlawanan ?
Alasannya cuma satu yakni kehilangan banyak kursi di DPR Pusat dan bahkan sampai DPRD kabupaten.
Sebaliknya, parpol papan atas yakni Demokrat, Golkar, dan PDI Perjuangan terjadi penambahan kursi cukup banyak
Menurut Maruarar Siahaan, Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi, keputusan yang membatalkan Peraturan KPU No 15/2008 Pasal 21 ayat C dan 23 ayat 1 dan 3 merupakan kewenangan MA.
Sebab yang diputuskan bukan persoalan sengketa hasil pemilu.
"Itu kan persoalan peraturan yang berada di bawah undang-undang. Yang diputuskan MA bukan soal hasil sengketa pemilu. Jadi mereka punya kewenangan untuk memutuskannya," terang Maruaral kepada wartawan ketika melakukan pengawasan langsung pelaksanaan penghitungan ulang suara DPD RI asal Sumut di Kantor KPU Sumut, Medan, kemarin. (Terkait Polemik Penetapan Tahap II, MK Tak Mau Berselisih Dengan MA, www.vivanews.com, Senin 27 Juli 2009)
Karena itu lanjut Maruarar, bagi pihak yang merasa punya keberatan atas keputusan tersebut dapat langsung menempuh jalur Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Bukan malah mendaftarkan gugatan ke MK.
"Kita ini dua lembaga yang sama.
Jadi tidak punya hak memutuskan hasil keputusan MA. Satu-satunya jalan ya silahkan PK ke MA kalau memang ada keputusan yang dinilai tidak benar," katanya.
Dijelaskannya kalau apa yang diputuskan MA bukan masuk ke wilayah teknis penetapan caleg terpilih. Karena itu masih kewenangan KPU.
Tapi sebatas memutuskan peraturan yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Chudri Sitompul, MA adalah lembaga hukum tertinggi di Republik ini, maka demi tegaknya pelaksanaan hukum semua komponen masyarakat harus menerima keputusan itu.
Chudri melanjutkan keputusan yang membatalkan Peraturan KPU No 15/2008 Pasal 22 ayat C dan 23 ayat 1 dan 3 memang merupakan kewenangan MA. Sebab yang diputuskan bukan persoalan sengketa kecurangan dan hasil pemilu. Yang berwenang mengurus sengketa kecurangan dan hasil pemilu adalah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan MA lembaga peradilan tertinggi yang berwenang untuk “uji materi” peraturan perudangan-undangan (Perpu) dan keputusan presiden (kepres). Secara lembaga posisi MA dan MK adalah sejajar, tapi berbeda dalam fungsi dan wewenang.
Pendapat ini banyak diamini oleh sebagian besar ahli hukum.
MA telah mengeluarkan putusan. Apapun pandangna terhadap putusan MA, namun sebagai negara hukum, putusan ini harus dipatuhi. Sedangkan terhadap keberatan putusan ini harus mengajukan upaya hukum sebagaimana diatur didalam peraturan perundang-undangan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini sedang menghadapi masalah sangat pelik, setelah MA mengeluarkan putusan yang mengabulkan gugatan peninjauan kembali (judicial review) atas Peraturan KPU No. 15/2009, salah satu bagiannya mengatur tentang perolehan kursi partai politik peserta Pemilu Legislatif 2009.
Peraturan ini merupakan implementasi dari Pasal 204-212 UU No. 10/2008 yang mengatur tentang penetapan perolehan kursi.
Namun tampaknya putusan ini hanyalah menimbulkan perdebatan panjang. Lembaga KPU sebagai lembaga yang telah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 tentang penetapan perolehan kursi tahap dua lebih banyak berdebat panjang dan “seolah-olah” tidak mengabulkan putusan MA atau “mengulur-ulur” putusan MA.
KPU beranggapan putusan Mahkamah Agung (MA) soal penetapan caleg terpilih tahap II tidak berlaku surut. Tapi KPU tetap melakukan revisi peraturan KPU No 15 tahun 2009 dalam jangka waktu 90 hari, tenggat waktu 90 hari semenjak putusan dikirim," kata Ketua KPU Abdul Hafidz Anshary dalam jumpa pers di KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta, Sabtu (1/8/2009).
Untuk revisi, lanjut Hafidz akan disinkronisasi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghitungan kursi tahap 3, dan judicial review yang diajukan parpol sesuai pasal 205.
Artinya tanggal 22 Oktober dan diputuskan kalau tidak dilaksanakan, MA otomatis putusan MA berlaku.
Sementara itu sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan sistem penetapan calon terpilih pada tahap ketiga tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Sengketa ini berawal dari gugatan yang diajukan salah satunya oleh calon legislator Partai Amanat Nasional, Andi Anzhar Cakra Wijaya, dari daerah pemilihan DKI Jakarta I. Andi bersama sejumlah caleg dari daerah pemilihan lain memasalahkan sistem penetapan kursi oleh KPU setelah dilakukan penghitungan tahap kedua.
Intinya, mereka memasalahkan cara KPU memaknai ketentuan Pasal 205 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2008 “Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di provinsi untuk menentukan Bilangan Pembagi Pemilih DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.
KPU memaknai ketentuan ini dengan memberikan kursi kepada calon yang memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihan yang masih lowong kursinya. Namun KPU tidak menggabungkan sisa suara partai yang belum mendapat kursi ke daerah pemilihan tersebut.
Dalam putusannya, Kamis 11 Juni 2009, Mahkamah lalu menetapkan cara penetapan adalah sebagai berikut:
1. Tahap III dilakukan apabila setelah perhitungan tahap II masih terdapat sisa kursi yang belum teralokasikan di daerah pemilihan provinsi yang bersangkutan;
2. Apabila Provinsi hanya terdiri atas satu daerah pemilihan, sisa kursi langsung dialokasikan kepada partai politik sesuai dengan urutan perolehan sisa suara terbanyak;
3. Seluruh sisa suara sah partai politik yaitu suara yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan tahap II dari seluruh daerah pemilihan provinsi dijumlahkan untuk dibagi dengan jumlah sisa kursi dari seluruh daerah pemilihan provinsi yang belum teralokasikan untuk mendapatkan angka BPP yang baru;
4. Partai Politik yang mempunyai sisa suara dari seluruh daerah pemilihan provinsi yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan II yang jumlahnya lebih besar atau sama dengan BPP yang baru mempunyai hak untuk mendapatkan sisa kursi yang belum terbagi;
5. Kursi hasil perhitungan tahap III harus dialokasikan kepada daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi;
6. Calon anggota DPR yang berhak atas kursi adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi, yang dicalonkan oleh partai politik yang berhak atas sisa kursi;
7. Apabila sisa kursi yang belum terbagi dalam propinsi hanya satu kursi maka partai politik yang mempunyai sisa suara terbanyak dalam provinsi tersebut berhak untuk mendapatkan sisa kursi tersebut;
8. Apabila setelah penetapan BPP baru tahap III ternyata tidak terdapat partai politik yang mempunyai sisa suara lebih atau sama dengan BPP baru maka sisa kursi dibagikan menurut urutan sisa suara yang terbanyak dalam provinsi.
Selanjutnya, majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Mahfud MD meminta KPU merevisi surat keputusan penetapan calon terpilih dan kursi yang diperoleh partai politik. Konsekuensinya, akan terjadi perubahan calon terpilih dari beberapa daerah pemilihan ketika keputusan ini diterapkan.
Salah satu yang kemungkinan besar terkena adalah kursi yang diraih politisi Golkar, Agung Laksono, yang bisa terancam hilang. Andi Anzhar yang satu daerah pemilihan dengan Agung berpeluang menggantikannya. (www.vivanews.com).
Namun pendapat berbeda disampaikan oleh Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu dan RUU Pilpres DPR, Ferry Mursyidan Baldan, yang menyatakan, adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan penetapan perolehan kursi tahap kedua semakin merumitkan penetapan hasil Pemilu 2009.
Semua terjadi karena kurang dilihatnya pemilu dalam suatu sistem, sehingga putusan MA tentang penghitungan dan penetapan kursi tahap kedua berdasarkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, yakni sebagaimana termaktub pada pasal 205 ayat 4 menjadi beban yang akan merusak hasil Pemilu.
Melihat hal tersebut dan dengan pemahaman Pemilu itu merupakan satu sistem, hendaknya KPU tetap pada keputusannya. Mengingat, undang-undang memberi kewenangan penuh dalam penetapan hasil Pemilu, terlebih pengajuan `review` dilakukan setelah KPU menetapkan hasil dan diajukan oleh calon anggota legislatif (Caleg) yang `merasa` dirugikan.
Dengan begitu, Putusan MA ini, menurutnya, menjadi suatu yang jelas akan `mengganggu` proses penetapan, karenanya KPU harus tetap pada putusannya.
Dari deskripsi yang telah penulis paparkan, apapun yang terjadi menimbulkan silang sengketa pendapat beraneka ragam dalam melihat Putusan Mahkamah Agung.
Sebelum penulis memaparkan pokok-pokok pikiran terhadap melihat kontek Putusan Mahkamah Agung, ada baik baik sejenak kita melihat begitu pelik pranata hukum indonesia.
Berdasarkan konstitusi, sistem dan lembaga peradilan adalah bagian distribusi kekuasaan negara. Pasal 24 (2) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung (MA) dan MK pelaksana kekuasaan kehakiman dengan lima yurisdiksi. Empat yurisdiksi peradilan berdasarkan UU No. 14 tahun 1970 junto UU No. 35 Tahun 1999 junto UU No. No. 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU ini ditransformasikan ke dalam konstitusi yang terdiri dari Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung yang terdiri yaitu peradilan umum berdasarkan UU No.13 Tahun 1965 junto UU No. 2 Tahun 1986 junto UU No. 8 Tahun 2004, agama berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989, militer berdasarkan UU No 39 Tahun 1947 tentang KUHP Militer, UU No 1 Tahun 1964 tentang KUHAP militer dan tata tata usaha negara berdasarkan UU No. 6 tahun 1986 junto UU No. 9 Tahun 2004 dan tetap dilaksanakan MA.
Wewenang dan kewajiban MK (Pasal 24C (1) UUD 1945), yang dilembagakan di luar MA, menjadi yurisdiksi peradilan konstitusi berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Pengkhususan yurisdiksi peradilan berdasarkan status (agama, militer) dan jenis perkara tertentu (sengketa TUN).
Berbagai peradilan khusus dibentuk dalam peradilan umum. Pengadilan Anak UU No. 3 tahun 1997, Pengadilan Niaga UU No. 4 Tahun 1998, Pengadilan Hubungan Industrial UU No. 2 Tahun 2004, Pengadilan Perikanan UU No. 9 tahun 1985 telah dicabut dengna UU No. 31 Tahun 2004, Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia UU No. 26 Tahun 2000.
Bahkan, pengadilan HAM terdiri atas peradilan HAM ad hoc untuk pelanggaran berat HAM sebelum UU No 26/2000, dan peradilan HAM bukan ad hoc untuk pelanggaran berat HAM yang terjadi sejak 2000. Belum lagi termasuk mengenai peradilan Pajak UU No. 14 tahun 2002 dan Pengadilan ad hock Tindak Pidana Korupsi UU No. 30 Tahun 2002.
Dengan demikian, ada berbagai UU yang mengatur dan membentuk peradilan.
Penulis akan mencoba sedikit menerangkan tentang silang sengketa didalam melihat ranah pengadilan yang melihat persoalan.
Sebagai contoh, apabila sengketa yang berkaitan dengan ranah perdata, apabila dia beragama muslim maka tunduk kepada Pengadilan Agama berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989. sedangkan apabila yang beragama nonmuslim maka tunduk kepada Pengadilan Hukum dimana masih diatur didalam KUHPer dan BW (burgelijk wetboek).
Begitu juga, apabila sengketa yang berkaitan sengketa perdata umum maka masih tunduk kepada KUHPer dan BW (burgelijk wetboek).
Namun apabila perdata yang berkaitan dengan kepailitan atau niaga maka tunduk kepada UU No. 4 Tahun 1998.
Belum lagi terhadap sengketa yang berkaitan dengna perburuhan yang tunduk kepada UU No. 2 tahun 2004
Di Pengadilan umum, terhadap pelaku kejahatan, apabila kejahatan itu dilakukan oleh oknum yang aktif di militer maka diatur didalam UU No 39 Tahun 1947 tentang KUHP Militer dan UU No 1 Tahun 1964 tentang KUHAP militer.
Sedangkan apabila dilakukan oleh masyarakat biasa maka diatur didalam UU No. 8 Tahun 1981 yang biasa dikenal Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan KUHP.
Namun terhadap pelaku kejahatan masih dibawah 18 tahun tunduk didalam UU No. 3 tahun 1997. Belum lagi terhadap kejahatan yang berkaitan dengan HAM yang tunduk kepada UU No. 26 tahun 2000.
Belum lagi hukum acara yang berkaitan dengan pengadilan Pajak berdasarkan UU No. 14 tahun 2002, Pengadilan Ad hock Tindak Pidana Korupsi UU No. 30 Tahun 2002 dan Pengadilan Perikanan berdasarkan UU No. 9 tahun 1985 telah dicabut dengna UU No. 31 Tahun 2004.
Tentu saja masih banyak Hukum acara pidana yang berbeda sebagaimana diatur didalam KUHAP seperti Kejahatan dalam Rumah Tangga berdasarkan UU No. 23 tahun 2004.
Didalam Peraturan perundang-undangan, hak menguji terhadap peraturan perundang-undangan (judicial review) juga berbeda-beda. Apabila pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945 maka diuji di Mahkamah Konstitusi berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan apabila dibawah UU (seperti Peraturan pemerintah sampai peraturan dibawahnya sebagaimana diatur didalam UU No. 10 Tahun 2004), maka dapat diuji di Mahkamah Agung.
Sedangkan apabila terhadap Keputusan yang mempunyai syarat seperti individual, final, kongkrit dan tertulis di sidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan UU No. 6 tahun 1986 junto UU No. 9 Tahun 2004.
Begitu pentingnya pembahasan terhadap Peraturan yang berkaitan dengan peradilan dan pengadilan di Indonesia, karena rumusan Peraturan ini penting, untuk menilai apakah pengadilan tersebut berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan (exceptio Litispendentia).
Kita masih ingat disaat peristiwa kerusuhan di Desa Berembang, Jaksa penuntut umum menggabungkan perkara dalam satu berkas perkara dimana salah satu pelakunya masih berusia di bawah 18 tahun.
Artinya, pelaku yang berusia dibawah 18 tahun tunduk dibawah UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan hukum acara berbeda dengan pelaku umum sebagaimana diatur didalam KUHAP.
Dengan demikian, kekeliruan menggabungkan perkara anak dengan pelaku dewasa ditolak dan batal demi hukum (exception on begoegheid van de rechter.)
Nah, menurut penulis diranah inilah, perdebatan panjang anatra KPU, politisi dan berbagai komponen masyarakat yang menolak terhadap Putusan Mahkamah Agung.
Sebelum kita melanjutkan perdebatan panjang terhadap Putusan Mahkamah Agung, ada baiknya sejenak kita untuk melihat kewenangan yang berkaitan dengan Peraturan KPU No. 15/2009. sebagaimana didalam paparan yang telah penulis sampaikan, untuk memeriksa dan mengadili perkara, Pengadilan melihat dari dua sisi.
Pertama dilihat dari kewenangan Formil. Artinya apakah Pengadilan tersebut mempunyai kewenangna untuk mengadili (sebagaimana rumusan tentang kewenangan perkara yang diadili).
Yang kedua barulah mengadili terhadap materiil (atau materi perkaranya). Apabila dilihat dari Peraturan KPU yang bersifat umum dibawah UU, maka argumentasi yang disampaikan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan yang menyatakan MA sah untuk mengadili perkara ini dapat dimengerti.
Sesuai dengan konstitusi, MK berwenang mengadili UU terhadap UUD 1945, MA peraturan dibawah UU, sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara mengadili Keputusan yang bersifat final, kongkrit, individual dan tertulis, maka dengan demikian secara sederhana maka rumusan kewenangan MA untuk mengadili perkara ini sudah tepat.
Namun apakah Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 terutama Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) merupakan peraturan yang bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2008, terlalu sayang untuk kita lewatkan sebagai sebuah kajian menarik untuk dibahas (eksaminasi publik).
Dari ranah ini maka ruang kita mendiskusikan Putusan Mahkamah Agung diberi ruang agar kita mendapatkan pemahaman utuh didalam melihat persoalannya.
Tapi apapun argumentasi yang disampaikan, bahwa Putusan Mahkamah Agung menimbulkan persoalan dan implikasi politik, maka sebenarnya, Putusan Mahkamah Agung harus dihormati. Sebagai negara yang mengikrarkan sebagai negara hukum (rechtstaat), maka putusan Pengadilan merupakan bentuk kita terhadap penghormatan negara hukum dengan tidak diintervensi oleh kepentingna politik, ekonomi dan kekuasaan.
Terlepas dari argumentasi bahwa Putusan itu masih jauh pemenuhan keadilan terhadap pihak yang berperkara.
Tentu saja kita masih bermimpi terhadap Mahkamah Agung di Amerika yang memberikan putusan melebihi rasa keadilan masyarakat, menyelesaikan sengketa yang berkaitan hukum dan dihormati.