Kesempatan ini digunakan secara baik oleh Walhi Jambi dengan merumuskan persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan berbagai komponen NGO dan masyarakat yang selama ini bersentuhan dengan persoalan yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
UU No. 5 Tahun 1990 menyentak perhatian kita disaat, sikap dari aparatur negara yang hendak mengeluarkan masyarakat adat Orang Rimba dari kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas dalam program Rencana Perluasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (RPTNBD).
Program perluasan taman nasional memantik perdebatan panjang dalam diskursus ekofasis dengan ekopopulis.
Pertanyaan selanjutnya, apakah orang Rimba yang telah menghuni dan bagian yang tidak terpisahkan antara kehidupan orang rimba dengan Taman nasional harus dikeluarkan dari kawasan Taman Nasional dengan alasan konservasi ?. (HUKUM NASIONAL VIS HUKUM ADAT, Jambi Ekspress, 6,7 Maret 2009)
PARADIGMA NEGARA vis RAKYAT
Apabila dilihat dari persoalan yang berkaitan dengan Orang Rimba maka kita dapat berangkat dari dalil UU No. 5 Tahun 1990.
UU No. 5 Tahun 1990 yang mengatur tentang Konservasi Alam dan Ekosistem mengadopsi konsepsi Taman Nasional dunia yang tertuang dalam berbagai konvensi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya.
Rumusan “Taman Nasional” sebagaimana diatur didalam Pasal 1 butir 14 “Taman national adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Definisi tentu saja tidak membuka ruang dan menegasikan keberadaan masyarakat yang berada dalam kawasan taman nasional dan sekitar kawasan.
Dengan demikian maka definisi ini mengakibatkan paradigma dan konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat adat didalam kawasan Taman nasional dan desa sekitar taman nasional.
Masih segar dalam ingatan kita, rencana perluasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (RPTNB) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan Orang Rimba. Kasus ini kemudian memuncak dengan berbagai pernyataan, bahwa pengelolaan Taman Nasional harus meminggirkan orang rimba dari Taman Nasional.
Begitu pelik konflik yang terjadi mengakibatkan selain di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dengna Orang Rimba juga terjadi di berbagai kawasan Taman Nasional di berbagai daerah. Kasus-kasus pengusiran masyarakat adat dari kawasan Taman Nasional, sudah banyak terjadi di negeri ini.
Di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai masyarakat adat Moronene diusir dari kampung halamannya.
Di Taman Nasional Lore Lindu masyarakat Dongi-Dongi mengalami hal serupa.
Di Taman Nasional Pulau Komodo, nelayan-nelayan dari masyarakat adat Sape dilarang menangkap ikan.
Di Taman Nasional Wakatobi masyarakat adatnya dilarang memasuki kawasan-kawasan yang secara sepihak ditetapkan sebagai zona inti dan zona riset, padahal sebelumnya tempat itu merupakan areal penangkapan ikan bagi nelayan-nelayan disana. Ini yang menyebabkan sekitar 48,8 juta orang tidak mendapatkan akses terhadap pengelolaan sumber daya alam didalam taman nasional yang mengakibatnya sekitar 10,2 juta termasuk miskin. (BPS 2000 dan CIFOR 2004).
Berangkat dari konsepsi dan definisi Taman Nasional sebagaimana diatur didalam UU No. 5 Tahun 1990 merupakan salah satu faktor yang membentuk paradigma negara dengan masyarakat yang terdapat didalam kawasan Taman Nasional dan desa-desa sekitar hutan.
Masyarakat yang selama ini berada dalam kawasan dan desa-desa sekitar hutan menganggap bahwa pengelolaan sumber daya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Masyarakat mempunyai pola dan tata cara untuk mengatur, melindungi dan mempertahankan sumber daya alam tersebut. Bayangkan, sebelum Indonesia merdeka, masyarakat yang berada didalam kawasan Taman nasional maupun di sekitar Taman Nasional telah mempunyai pengelolaan terhadap kawasan sumber daya alam dan terbukti mampu mencegah kerusakan hutan.
Masyarakat secara arif dan terbukti mampu menjaga kelestarian secara berlanjut (sustainable).
Maka sungguh tidak dimengerti bagaimana adanya anggapan bahwa masyarakat yang berada dalam kawasan didalam taman nasional dan desa sekitar hutan harus terpisahkan dari Taman Nasional.
Dengna kata lain, pandangan yang menganggap bahwa masyarakat yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan sumber daya alam berhadapan dengna pandangan negara yang “memproteksi” Taman Nasional dari kehidupan manusia.
Dari ranah ini konsep yang ditawarkan adalah “Taman nasional adalah kawasan yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang dimanfaatkan untuk kehidupan, penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan dan menunjang budidaya.
Kriteria memasukkan klausul kata-kata “adalah kawasan yang tidak terpisahkan dari masyarakat” merupakan identitas dan sikap yang harus dirumuskan didalam revisi UU No. 5 Tahun 1990.
Selain daripada berbagai konsepsi dasar seperti paradigma pengelolaan sumber daya alam dan rumusan hak asasi manusia yang termaktub didalam revisi UU NO. 5 tahun 1990, maka negara berkewajiban untuk melindungi kawasan konservasi dengan berbagai bentuk konkrit.
Bentuk-bentuk seperti memberikan nilai tambah kepada masyarakat untuk mengelola hasil hutan dan memprioritaskan hasil-hasil non hutan, juga mengakuai keberadaan masyakat adat yang terdapat didalam kawasan hutan dan desa-desa sekitar hutan.
Kewajiban ini melekat sebagai bentuk tanggung jawab negara didalam mengelola sumber daya alam dan melindungi keberlangsungan lingkungan.
Selain itu juga, UU No. 5 tahun 1990 yang berangkat paradigma negara yang mengadopsi dari konsepsi Taman Nasional di berbagai negara terutama dari Amerika.
Apabila kita perhatikan konsepsi Taman nasional dari Amerika, maka yang utama konsepsi ini mempunyai paradigma “proteksi” terhadap kawasan Taman Nasional. Ini didasarkan bahwa Amerika menganggap perlunya “proteksi” Taman Nasional adanya kebutuhan menjaga kawasan dengan pertumbuhan masyarakat yang semakin cepat dan semakin tingginya polusi.
Konsepsi ini tepat diberlakukan di Amerika selain karena penduduknya sudah masuk kedalam era industrialisasi yang tidak berinteraksi dengan kawasan Taman Nasional, konsepsi ini adalah jalan keluar terhadap “proteksi” taman nasional.
Namun menjadi ironi apabila konsepsi ini ditelan mentah-mentah dalam konsepsi UU No. 5 Tahun 1990 didalam rumusan pasal 1 butir 14 UU No. 5 Tahun 1990.
Perbedaan konsepsi yang berbeda latar belakang dan kebutuhan yang tidak sesuai dengan tipologi dan roh dari masyarakat Indonesia yang tidak terpisahkan dari sumber daya alam mengakibatkan konflik antara aparatur negara didalam “proteksi” kawasan Taman Nasional dengan masyarakat didalam kawasan rakyat dan masyarakat sekitar kawasan taman nasional.
Dengan demikian, titik pangkal persoalan konflik masyarakat dengan aparatur negara dalam memproteksi kawasan Taman Nasional bermula dari konsepsi pandangan negara dalam rumusan pasal 1 butir (14) UU No. 5 Tahun 1990.
Oleh karena itu merupakan perjuangan panjang dari aktivis lingkungan untuk merumuskan konsepsi taman nasional dengna memasukkan klausula ““yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia”, sehingga rumusan pasal 1 butir 14 menjadi “bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia”.
PERSPEKTIF HAM
Selain itu UU No. 5 tahun 1990 yang berangkat dari semangat orde baru yang tentu saja berangkat dari UU sebagai alat menekan kekuasaan kepada rakyat.
Paradigma yang tidak berperspektif HAM tentu saja nyata-nyata terbukti tidak menghormati HAM
Paradigma yang meletakkan konsepsi negara didalam melihat kawasan Taman Nasional dengan memahami pandangan masyarakat yang melihat kawasan Taman Nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya, maka didalam melihat rumusan taman nasional dan kawasan sumber daya alam juga berangkat dari paradigma Hak asasi manusia.
Rumusan paradigma Hak asasi manusia harus dimuat diberbagai rumusan revisi UU No. 5 tahun 1990 sebagaia bentuk pengakuan identitas manusia yang mengelola sumber daya alam. Dengan demikian maka ketentuan terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (1)” Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman” dan Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999.
“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”, harus merupakan landasan penting didalam melihat revisi UU No. 5 tahun 1990.
RUMUSAN YURIDIS
Didalam rumusan revisi UU No. 5 tahun 1990 selain daripada merumuskan paradigma negara vis rakyat yang juga berperspektif HAM juga menawarkan usulan kongkrit.
Di diktum dasar “mengingat” sehingga kalimatnya berbunyi “bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Klausula “yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia” merupakan sikap dan perjuangan Walhi untuk dimasukkan kedalam rumusan UU Konservasi.
Didalam diktum dasar “mengingat” harus dicantumkan ketentuan yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang terdiri dari berbagai konvenan seperti UU No. 40 tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis, UU No. 11 Tahun 2005 PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA, UU No. 12 Tahun 2005 PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK), UU No. 29 tahun 1999 UU No. 29 Tahun 1999 Tentang PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL 1965).
Namun yang pasti UU No. 5 tahun 1960 harus menjadi acuan didalam dikturm dasar “mengingat”.
Selain daripada dicantumkan berbagai konvenan yang berkaitan dengan Hak asasi manusia dan UU No. 5 Tahun 1960 juga revisi UU yang sudah dicabut. Seperti UU 5 Tahun 1967 telah dicabut dengan No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU No. 4 tahun 1982 telah dicabut dengna UU No. 23 tahun 1997, UU No. 9 tahun 1985 Tentang Perikanan telah dicabut dengna UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Namun yang menarik Apa relevansinya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3 dijadikan dasar diktum “mengingat” dalam UU No. 5 tahun 1990. Oleh karena itu, UU tersebut harus dicabut.
Sebelum menutup paparan yang telah penulis sampaikan, Walhi Jambi beserta berbagai komponen aktivis lingkungan sepakat, bahwa pembahasan revisi UU No. 5 Tahun 1990 harus juga dilakukan revisi UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Rekomendasi ini menjadi penting karena disaat bersamaan revisi UU No. 41 tahun 1999 merupakan UU yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain.
Artinya, tidak menjadi relevan revisi UU No. 5 tahun 1990 tanpa melakukan revisi UU No. 41 tahun 1999.
Dengan demikian, dari paparan yang telah penulis sampaikan, maka hal yang utama didalam revisi UU No. 5 tahun 1990 adalah merubah paradigma negara didalam melihat kawasan konservasi termasuk didalamnya taman nasional yang berperspektif HAM.