MENCARI
MODEL PENYELESAIAN DILUAR PENGADILAN
(Catatan
Perjalanan Mengikuti RSPO)
Harus
diakui, pembangunan perkebunan kelapa sawit menggiurkan dan menarik
perhatian berbagai pihak. Indonesia menjadikan ekspor CPO sebagai
komoditas unggulan dan berambisi menjadikan sebagai produsen terbesar
di dunia
dengan areal pada tahun 2006 seluas 6,075 juta hektar dan produksi
sebanyak 16,08 juta ton. Dan produksi tersebut, 12,1 juta ton
(75,25%) diantaranya diekspor dan konsumsi untuk industri minyak
goreng dan industri negeri sebanyak 3,8 juta ton (24,75%)
(Dirattanhun,
Potensi Kelapa sawit sebagai Bahan baku Diesel, (
www.ditjenbun.deptan.go.id,
13 Juli 2008
Sekitar
60% dan produk CPU Indonesia diekspor ke luar negeri, sementara
sisanya diserap untuk konsumsi di dalam negeri. Untuk penggunaan
lokal, industri minyak goreng merupakan penyerap CPO dominan,
mencapai 29,6% dan total produksi, sedang sisanya dikonsumsi oleh
industri biokimia, sabun dan margarine atau shortening. Saat ini
terdapat sekitar 215 pabrik CPO di Indonesia (lebih sedikit dibanding
Malaysia yang memiliki 374 pabrik)
Indonesia
berambisi menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia (Marcus
Coichester click, TANAH YANG DIJANJIKAN, 2006, Hal 19)
Namun
ambisi Indonesia sebagai produsen CPO, tidak diimbangi dengan sistem,
cara, model didalam “menata” kebun kelapa sawitnya. Akibatnya
ambisi Indonesia kemudian ekuivalen dengan berbagai konflik
pembangunan besar Kelapa sawit.
Berbagai
konflik kemudian “mengajarkan” bagaimana pembangunan besar kelapa
sawit ternyata menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. Data-data
konflik angkanya beragam. Sawit watch melansir sudah terjadi 400-an
konflik. Sementara Data Badan Pertanahan
Nasional Pusat Tahun 2008 konflik tanah di Indonesia menjadi hampir
8.000-an konflik berskala besar maupun kecil. Sedangkan Konsorsium
Pembaharuan Agrania Tahun 2008 mencatat konflik agraria yang bersifat
struktural dan belum diselesaikan saat ini mencapai 1753 dan terjadi
di 2834 desa/kelurahan dengan mempersengketakan tanah seluas
10.892.203 ha dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.
Berbagai
konflik kemudian coba diselesaikan melalui berbagai perangkat negara.
Demonstrasi ke parlemen, menggugat ke pengadilan, membuat laporan
polisi, menduduki areal (reclaming), petisi ke lembaga-lembaga negara
bahkan boikot terhadap produk sawit.
Terlepas
apakah strategi yang digunakan masih effektif atau tidak, Round Table
Palm Oil (RSPO) menawarkan model penyelesaikan didalam Rount Table 10
(RT 10). Model ini kemudian haruslah dibaca sebagai alat perjuangan
yang dapat digunakan di berbagai model dan konsep negara yang belum
bisa memberikan perlindungan kepada pemilik tanah.
Berangkat
dari keprihatinan dan didasarkan kepada berbagai model penyelesaian
mekanisme diluar pengadilan (settlement of court), model mediasi
digunakan didalam mekanisme RSPO menarik untuk dijadikan
“pembelajaran”
Dalam
RT 10, model yang digagas kemudian menarik perhatian berbagai pihak.
Model ini kemudian dikenal dengan istilah Dispute Settlement Fasility
(DSF) merupakan perpaduan berbagai konsep model-model mediasi.
Dalam
kacamata RSPO, DSF merupakan “jalur kompromi” berbagai
kepentingan para pihak anggota RSPO. Anggota RSPO yang berlatar
belakang NGO lingkungan dan sosial menganggap “penting” DSF
sebagai bentuk pengungkapan data-data pelanggaran berbagai prinsip
dan kriteria RSPO. Sedangkan dari pihak korporate yang berusaha
menutup-nutupi berbagai pelanggaran prinsip dan kriteria RSPO
menjadikan DSF sebagai “cleaning” atau “klarifikasi” berbagai
tudingan NGO.
Dalam
pembahasan DSF, maka keberadaan DSF dapat dilihat dari berbagai
faktor. Baik pemangku kepentingan seperti produsen, pasar, Bank,
korban dampak, lingkungan. DSF kemudian dibahas baik dilihat dari
struktur, pembiayaan, rekomendasi, tanggungjawab para pihak. DSF
kemudian menjadikan salah satu strategi yang terus dikampanyekan NGO
agar “ruang” persoalan korban dampak dapat diselesaikan melalui
mekanisme didalam keanggotaan RSPO.
Terlepas
dari berbagai kepentingan para pihak terhadap DSF, medium DSF sebagai
model mediasi di dalam keanggotaan RSPO merupakan salah satu “pintu”
yang mempertemukan para pihak yang berkepentingan terhadap berbagai
pelanggaran prinsip dan kriteria RSPO. DSF terbukti effektif untuk
menghadirkan pemangku kepentingan langsung. Atau dengan kata lain
pihak korporate dengan pihak NGO dapat menggunakan “medium” DSF
sebagai tempat “bertarung” menegakkan prinsip dan kriteria RSPO.
Melalui
DSF yang telah disampaikan dalam “mekanisme complaint RSPO”,
data-data pelanggaran yang telah disampaikan kemudian “para pihak”
didudukkan dalam ruang mediasi yang elegan. NGO harus
bertanggungjawab terhadap data-data pelanggaran, melakukan verifikasi
data-data pelanggaran, rekomendasi yang disepakati dan tahap-tahap
yang akan diselesaikan.
Sedangkan
pihak korporate yang sering dijadikan sasaran dan tuduhan serius yang
tidak menegakkan prinsip dan kriteria RSPO harus menjadikan DSF
sebagai bentuk committed yang kuat untuk “memperbaiki”, menata
lebih baik dan berharap agar corporate mematuhi berbagai prinsip dan
kriteria yang dilanggar yang dituduhkan oleh NGO.
Melalui
DSF, kemudian “korban dampak” dapat bertemu owner korporate,
menyampaikan berbagai pelanggaran prinsip dan kriteria RSPO, memotong
jalur birokrasi di korporate (antara kebijakan korporate dengan
praktek di lapangan). Dalam side meeting, korban dampak yang kemudian
didampingi oleh NGO internasional seperti OXFAM, Greenpeace, Sawit
Watcht bertemu dengan Owner korporate. Pertemuan masyarakat dengan
pihak UP, masyarakat dengan GAR, masyarakat dengan same darby
merupakan pertemuan yang menghasilkan berbagai rumusan yang kongkrit.
Mekanisme RSPO yang kemudian “memaksa” owner korporate “bertemu”
dengan masyarakat. Mekanisme RSPO yang kemudian “memaksa” owner
korporate dapat mengetahui fakta-fakta yang sebenarnya. Mekanisme
RSPO yang kemudian “memaksa” owner korporate dapat mendengar
persoalan langsung dari sumber masalahnya. Sehingga owner korporate
dapat mengambil keputusan penting untuk menyelesaikan persoalan.
Berbagai
rekomendasi, follow up, agenda pasca pertemuan RT 10, membuat
masyarakat dapat berharap mekanisme ini dapat menggunakan masyarakat
sebagai medium penyelesaikan konflik. Terlepas dari berbagai
fakta-fakta RSPO belum bisa merumuskan berbagai model penyelesaian
konflik, mekanisme complaint RSPO, atau mekanisme DSF adalah berbagai
peluang yang bisa digunakan untuk “memutuskan” mata rantai
persoalan yang birokratis, rumit, panjang dan sering “salah”
diterima korporate.
Medium
ini dapat digunakan ditengah ketidakpastian hukum, sistem politik
yang korup, keadilan yang belum berpihak kepada masyarakat.
Dan
menurut orang bijak. Setiap peluang “sekecil apapun” harus
digunakan.