06 November 2012

opini musri nauli : MENCARI MODEL PENYELESAIAN DILUAR PENGADILAN (Catatan Perjalanan Mengikuti RSPO)



MENCARI MODEL PENYELESAIAN DILUAR PENGADILAN
(Catatan Perjalanan Mengikuti RSPO)


Harus diakui, pembangunan perkebunan kelapa sawit menggiurkan dan menarik perhatian berbagai pihak. Indonesia menjadikan ekspor CPO sebagai komoditas unggulan dan berambisi menjadikan sebagai produsen terbesar di dunia dengan areal pada tahun 2006 seluas 6,075 juta hektar dan produksi sebanyak 16,08 juta ton. Dan produksi tersebut, 12,1 juta ton (75,25%) diantaranya diekspor dan konsumsi untuk industri minyak goreng dan industri negeri sebanyak 3,8 juta ton (24,75%) (Dirattanhun, Potensi Kelapa sawit sebagai Bahan baku Diesel, ( www.ditjenbun.deptan.go.id, 13 Juli 2008
Sekitar 60% dan produk CPU Indonesia diekspor ke luar negeri, sementara sisanya diserap untuk konsumsi di dalam negeri. Untuk penggunaan lokal, industri minyak goreng merupakan penyerap CPO dominan, mencapai 29,6% dan total produksi, sedang sisanya dikonsumsi oleh industri biokimia, sabun dan margarine atau shortening. Saat ini terdapat sekitar 215 pabrik CPO di Indonesia (lebih sedikit dibanding Malaysia yang memiliki 374 pabrik)

Indonesia berambisi menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia (Marcus Coichester click, TANAH YANG DIJANJIKAN, 2006, Hal 19)

Namun ambisi Indonesia sebagai produsen CPO, tidak diimbangi dengan sistem, cara, model didalam “menata” kebun kelapa sawitnya. Akibatnya ambisi Indonesia kemudian ekuivalen dengan berbagai konflik pembangunan besar Kelapa sawit.

Berbagai konflik kemudian “mengajarkan” bagaimana pembangunan besar kelapa sawit ternyata menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. Data-data konflik angkanya beragam. Sawit watch melansir sudah terjadi 400-an konflik. Sementara Data Badan Pertanahan Nasional Pusat Tahun 2008 konflik tanah di Indonesia menjadi hampir 8.000-an konflik berskala besar maupun kecil. Sedangkan Konsorsium Pembaharuan Agrania Tahun 2008 mencatat konflik agraria yang bersifat struktural dan belum diselesaikan saat ini mencapai 1753 dan terjadi di 2834 desa/kelurahan dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.

Berbagai konflik kemudian coba diselesaikan melalui berbagai perangkat negara. Demonstrasi ke parlemen, menggugat ke pengadilan, membuat laporan polisi, menduduki areal (reclaming), petisi ke lembaga-lembaga negara bahkan boikot terhadap produk sawit.

Terlepas apakah strategi yang digunakan masih effektif atau tidak, Round Table Palm Oil (RSPO) menawarkan model penyelesaikan didalam Rount Table 10 (RT 10). Model ini kemudian haruslah dibaca sebagai alat perjuangan yang dapat digunakan di berbagai model dan konsep negara yang belum bisa memberikan perlindungan kepada pemilik tanah.

Berangkat dari keprihatinan dan didasarkan kepada berbagai model penyelesaian mekanisme diluar pengadilan (settlement of court), model mediasi digunakan didalam mekanisme RSPO menarik untuk dijadikan “pembelajaran”

Dalam RT 10, model yang digagas kemudian menarik perhatian berbagai pihak. Model ini kemudian dikenal dengan istilah Dispute Settlement Fasility (DSF) merupakan perpaduan berbagai konsep model-model mediasi.

Dalam kacamata RSPO, DSF merupakan “jalur kompromi” berbagai kepentingan para pihak anggota RSPO. Anggota RSPO yang berlatar belakang NGO lingkungan dan sosial menganggap “penting” DSF sebagai bentuk pengungkapan data-data pelanggaran berbagai prinsip dan kriteria RSPO. Sedangkan dari pihak korporate yang berusaha menutup-nutupi berbagai pelanggaran prinsip dan kriteria RSPO menjadikan DSF sebagai “cleaning” atau “klarifikasi” berbagai tudingan NGO.

Dalam pembahasan DSF, maka keberadaan DSF dapat dilihat dari berbagai faktor. Baik pemangku kepentingan seperti produsen, pasar, Bank, korban dampak, lingkungan. DSF kemudian dibahas baik dilihat dari struktur, pembiayaan, rekomendasi, tanggungjawab para pihak. DSF kemudian menjadikan salah satu strategi yang terus dikampanyekan NGO agar “ruang” persoalan korban dampak dapat diselesaikan melalui mekanisme didalam keanggotaan RSPO.

Terlepas dari berbagai kepentingan para pihak terhadap DSF, medium DSF sebagai model mediasi di dalam keanggotaan RSPO merupakan salah satu “pintu” yang mempertemukan para pihak yang berkepentingan terhadap berbagai pelanggaran prinsip dan kriteria RSPO. DSF terbukti effektif untuk menghadirkan pemangku kepentingan langsung. Atau dengan kata lain pihak korporate dengan pihak NGO dapat menggunakan “medium” DSF sebagai tempat “bertarung” menegakkan prinsip dan kriteria RSPO.

Melalui DSF yang telah disampaikan dalam “mekanisme complaint RSPO”, data-data pelanggaran yang telah disampaikan kemudian “para pihak” didudukkan dalam ruang mediasi yang elegan. NGO harus bertanggungjawab terhadap data-data pelanggaran, melakukan verifikasi data-data pelanggaran, rekomendasi yang disepakati dan tahap-tahap yang akan diselesaikan.

Sedangkan pihak korporate yang sering dijadikan sasaran dan tuduhan serius yang tidak menegakkan prinsip dan kriteria RSPO harus menjadikan DSF sebagai bentuk committed yang kuat untuk “memperbaiki”, menata lebih baik dan berharap agar corporate mematuhi berbagai prinsip dan kriteria yang dilanggar yang dituduhkan oleh NGO.

Melalui DSF, kemudian “korban dampak” dapat bertemu owner korporate, menyampaikan berbagai pelanggaran prinsip dan kriteria RSPO, memotong jalur birokrasi di korporate (antara kebijakan korporate dengan praktek di lapangan). Dalam side meeting, korban dampak yang kemudian didampingi oleh NGO internasional seperti OXFAM, Greenpeace, Sawit Watcht bertemu dengan Owner korporate. Pertemuan masyarakat dengan pihak UP, masyarakat dengan GAR, masyarakat dengan same darby merupakan pertemuan yang menghasilkan berbagai rumusan yang kongkrit. Mekanisme RSPO yang kemudian “memaksa” owner korporate “bertemu” dengan masyarakat. Mekanisme RSPO yang kemudian “memaksa” owner korporate dapat mengetahui fakta-fakta yang sebenarnya. Mekanisme RSPO yang kemudian “memaksa” owner korporate dapat mendengar persoalan langsung dari sumber masalahnya. Sehingga owner korporate dapat mengambil keputusan penting untuk menyelesaikan persoalan.

Berbagai rekomendasi, follow up, agenda pasca pertemuan RT 10, membuat masyarakat dapat berharap mekanisme ini dapat menggunakan masyarakat sebagai medium penyelesaikan konflik. Terlepas dari berbagai fakta-fakta RSPO belum bisa merumuskan berbagai model penyelesaian konflik, mekanisme complaint RSPO, atau mekanisme DSF adalah berbagai peluang yang bisa digunakan untuk “memutuskan” mata rantai persoalan yang birokratis, rumit, panjang dan sering “salah” diterima korporate.

Medium ini dapat digunakan ditengah ketidakpastian hukum, sistem politik yang korup, keadilan yang belum berpihak kepada masyarakat.

Dan menurut orang bijak. Setiap peluang “sekecil apapun” harus digunakan.