Melihat tayangan sebuah
dialog serius “Indonesia Lawyer Club” di TV One, kita kemudian
disuguhi sebuah tontotan yang harus memutar kembali memori otak kita.
Dengan peran yang dimainkan oleh Vanny Rossyane, gadis cantik muda
belia yang belakangan hari ini menggegerkan dunia persilatan hukum di
tanah air dengan pengakuan jujur telah berhubungan dengan bandar
narkoba paling kakap, Freddy Budiman membongkar penyimpangan yang
terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang, Jakarta Timur.
Dengan enteng dia
menceritakan bagaimana proses “cara masuk”, cara keluar, cara
pesta narkoba, cara berhubungan badan. Dengan kalimat yang mudah kita
ingat. 'KITA TIDAK USAH MUNAFIK-LAH.
Dengan melihat tayangan
berita, maka dengan tenang kita harus menghela nafas untuk
menafsirkan pesan yang disampaikan.
Pertama. Kita harus memastikan.
Apakah sudah bergeser nilai-nilai di tengah masyarakat. Dengan
entengnya dia menceritakan sering “berhubungan intim” di LP
Narkotika Cipining, Jakarta Timur. Apakah tidak ada lagi nilai-nilai
di tengah masyarakat ? Apakah hubungan intim “seperti suami istri”
diumbar di tengah masyarakat. Apakah dia sendiri tidak malu mengakui
perbuatannya. Sungguh-sungguh sudah jauh bergeser nilai-nilai di
tengah masyarakat.
Kedua. Fasilitas khusus
yang diterima para napi narkotika “sekedar” konfirmasi terhadap
issu-issu yang sering dibincangkan di tengah masyarakat. Fasilitas
khusus yang sering dibantah oleh petinggi negeri termasuk Wamenkumham
sudah menjadi cemoohan masyarakat. Fasilitas khusus yang diterima
Freddy Budiman sudah tidak perlu diperdebatkan.
Ketiga. Cara penyampaian
Vanny Rossyane yang “seenak gue”, teriak-teriak sehingga sering
dipotong oleh Karni Ilyas, mengindikasikan adanya perubahan budaya di
tengah masyarakat. Forum diskusi yang berbobot yang membahas tema
hukum dan diliput oleh media bergengsi nasional, seakan-akan menjadi
diskusi warung kopi. Saling teriak-teriak, mengomel, menggunakan
mikropon sesuka-suka menjadikan Vanny Rossyane tidak menghormati
forum. Dan kita seakan-akan perlu belajar menghargai nilai-nilai
kesopanan.
Keempat. Persoalan etika
tidak menjadi persoalan penting. Harga diri dan tidak memandang dan
meremehkan orang lain menjadikan Vanny “seakan-akan” mewakili
tipikal generasi muda yang hidup hedonisme. Dengan enteng dia
bercerita bagaimana “seenaknya” keluar masuk penjara. Dan dengan
logika yang aneh dia menabrak seluruh peraturan ataupun SOP yang
berkaitan jam besuk ataupun waktu berkunjung di LP.
Kelima. Cara-cara yang
disampaikan oleh Vanny membuktikan, di tengah masyarakat memang sudah
terjadi “disorientasi”. Tidak ada teladan dari generasi muda.
Tanpa malu, Vanny menceritakan bagaimana hubungan “haram”, tidak
merasa jengah. Seakan-akan dia hidup sendirian di dunia ini. Tidak
ada teladan dari keluarga. Tidak memandang keluarganya. Tidak
memandang orang tua ataupun keluarganya. Sungguh-sungguh memalukan.
Atau memang tidak ada
keteladanan yang menjadi pegangan bagi Vanny. Tidak ada keteladanan
dari pemimpin keluarga. Tidak ada keteladanan dari pemimpin agama.
Atau memang tidak ada keteladanan dari pemimpin negeri. Atau memang
tidak ada keteladanan lagi.
Cara Vanny
mengungkapkannya memang tidak pantas. Memang salah. Tapi sudah
seharusnya kita harus koreksi. Apakah memang tidak ada lagi
keteladanan. Apakah memang tidak ada lagi yang bisa kita hormati
didalam kehidupan berbangsa di Indonesia.
Atau memang kita memang
menjadi hipokrit. Menjadi munafik. Berbeda yang dibicarakan dan
berbeda dengan yang dilakukan. Dan Vanny semuanya tahu akan
kemunafikan. Lihatlah kata-katanya. 'KITA TIDAK USAH MUNAFIK-LAH.
Setiap perkataan dan cara
pengungkapan Vanny “Seakan-akan” menampar wajah kita. Seakan-akan
mengingatkan kita kembali.
Dengan melihat berbagai
pengamatan yang telah disampaikan, sudah saatnya kita kembali ke jati
diri. Sebagai bangsa yang beradab. Sebagai bangsa yang berbudaya
adiluhung. Sebagai bangsa yang menghormati keteladanan, bertutur kata
yang menghargai orang lain.