Jambi disebut Pusat
Sriwijaya. Demikian berita heboh yang dirilis oleh media massa
pertengahan Juli. Asumsi Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia,
Prof Agus Aris Munandar yang menduga Kerajaan Sriwijaya berada di
kawasan Muaro Jambi, bukan di Palembang.
Dengan jeli asumsi Prof.
Agus tersebut didasarkan atas penemuan sisa-sisa peninggalan Kerajaan
Sriwijaya serta petirtaan berupa sumur di Situs Kedaton, Kawasan
Cagar Budaya Muaro Jambi, oleh 43 mahasiswa dan 5 dosen pembimbing
yang tergabung dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Arkeologi
Universitas Indonesia (UI) pada 16 - 28 Juni 2013.
Kegiatan utama
KKL Arkeolog UI pekan lalu tersebut adalah eskavasi sebuah metode
arkeologi yang bertujuan menemukan kembali sisa-sisa kegiatan manusia
masa lalu dengan cara melakukan penggalian. Proses ekskavasi
dilakukan di 14 kotak gali di Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya
Muara Jambi.
Perdebatan letak pusat
Sriwijaya menjadi polemik. Pedagang Cina, I-tsing dengan jelas
menerangkan betapa besarnya Candi Muara Jambi dan pusat pendidikan
Budha. Sebagai pusat pendidikan Budha, Kawasan Candi Muara Jambi
terdiri dari lebih kurang 82 candi, 6 kanal kuno, kolam-kolam kuno,
sisa pemukiman kuno, dan tinggalan arkeologis lainnya/artefak,
feature, ekofak.
Dengan luas 2062,5 Hektar
Di Jambi sendiri pernah
dilaksanakan kegiatan “Seminar Sejarah Melayu Kuno tanggal 7 – 8
Desember 1992. Seminar bertujuan untuk memperoleh kejelasan tentang
peran dan kedudukan Melayu Kuno dalam sejarah nasional sebagai mata
rantai dalam perwujudan sejarah nusantara.
Dalam pembahasan di
Seminar, menurut Dr. EE Mc KINNON dan DR. AB Lapian, Muara Jambi
sebagai pusat agama dan pusat pemerintahan. Begitu juga disampaikan
oleh Drs. Bambang B Utomo, Fachruddin Saudagar dan Prof. Dr. Jacob,
Pusat Kerajaan Melayu diperkirakan berasal dari Jambi. Ini didukung
oleh Prof. Dr. Nik Hassan Suhaimi dan Drs. MM. Soekarto K. Atmodjo
yang berpendapat, Jambi adalah tapak Kerajaan Melayu yang
diperkirakan keberadaannya sampai abad VII M.
Dari perdebatan mengenai
kejelasan dan peran sentral kedudukan Melayu Kuno, maka S. Sartono
kemudian mengemukakan pertanyaan menggugat. Pada abad VII di Sumatera
Timur ada 2 Kerajaan kuno yaitu Moloyu (Malayu, Jambi) dan Sriwijaya
(Palembang). Apakah memang ada hubungan antara dua kerajaan itu.
Bagaimana menghubungkannya ?
Hipotesis yang
disampaikan oleh Sartono kemudian menjelaskan, semula Kerajaan Malayu
Kuno berpusat di Muara Takus. Tempat kedudukan dipilih setelah Malayu
(Jambi) dikuasai oleh Sriwijaya (Palembang). Dengan kata lain,
Kerajaan Malayu Kuno seolah-olah didesak oleh Sriwijaya dari arah
Jambi ke Barat sampai di Muara Takus. Dengan penjelasan ini, maka S.
Sartono berpendapat, adanya dua kerajaan yakni Moloyu (Malayu) di
Jambi dan Sriwijaya di Palembang.
Pernyataan dari Sutikno
dkk, justru memaksakan kita harus berdebat hebat. Situs-situs di
Muara Jambi membuktikan adanya keberadaan Kerajaan Sriwijaya dan
Kerajaan Malayu kuno.
Bandingkan dengan A. B.
Lapian yang menjelaskan, hipotesis pertama, Jambi merupakan Kerajaan
Malayu Kuno namun masuk kedalam Sriwijaya (hipotesis ini didukung
oleh Bambang Budi Utomo). Hipotesis kedua, Pusat kerajaan Sriwijaya
dapat berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat
tertentu.
Sementara Bambang Budi
Utomo menjelaskan Pusat Kerajaan Malayu pada mulanya berlokasi di
sekitar di jambi di daerah hilir Batanghari. Kemudian pada sekitar
abad ke -13 di sekitar Rambahan (Sumatera Barat). Kerajaan Malayu
Jambi merupakan sebuah kerajaan yang cukup berperan dalam percaturan
sejarah asia.
Fachruddin Saudagar
memaparkan, Kerajaan Malayu yang berpusat di Muara Jambi merupakan
inner core (wilayah inti) Kerajaan Sriwijaya. Dimana situs Muara
Jambi merupakan fakta keberadaan Kerajaan Malayu Kuno di Jambi.
Dengan memperhatikan
berbagai pendapat para ahli didalam merumuskan sejarah Malayu Jambi
dan berbagai perdebatan tentang Sriwijaya dan Malayu Jambi maka yang
pasti Candi Muara Jambi merupakan kerajaan besar. Ornamen-ornamen
inilah yang tidak ditemukan di daerah lain seperti di Palembang.
Asumsi Prof. Agus memang
memerlukan waktu panjang untuk merubah pandangan yang selama ini
menganggap pusat kerajaan di Palembang.
Namun hentikan perdebatan
tentang letak pusat Sriwijaya. Kawasan Candi Muara Jambi seluas
2062,5 Hektar telah menjadi stock file batubara (penampungan
sementara). Letak Kawasan Candi Muara Jambi bersinggungan dengan
pelabuhan Talang Duku menyebabkan, ancaman kawasan Candi Muara Jambi
semakin massif. Kawasan Candi Muara Jambi semakin terkikis dan mulai
hilang areal yang bisa membantu membaca kebesaran candi.
Namun yang menjadi
prioritas bukan memperdebatkan letak Sriwijaya. Namun melindungi
kawasan Candi Muara Jambi dari stock file batubara. Kita berkejaran
waktu. Selain putaran ekonomi yang memaksa kawasan Candi Muara Jambi
semakin terancam, jejak membaca sejarah Candi Muara Jambi akan
hilang. Dan Jambi akan kehilangan arah sejarah dengan masa lalu
Direktur Walhi Jambi