Dunia hukum kembali
mengalami dilema. Bupati Gunung Mas yang “ditangkap” KPK
dalam kasus “penyuapan” Ketua MK yang sudah terpilih
“harus dilantik”. Kata-kata “harus dilantik”
merupakan kesan penulis dari “kengototan” Mendagri ketika
memberikan pendapat di berbagai media dalam peristiwa ini.
KPK sebagai lembaga yang
melakukan penahanan sudah bersikap. Tidak akan memberikan izin kepada
Mendagri untuk melantiknya. Sementara Mendagri “kesulitan”
menjelaskan skenario lain selain “hanya akan tetap melantik”.
Dalam berbagai tayangan
di media massa, penulis menangkap kesan, argumentasi yang dipaparkan
pihak yang “menolak” melantik masih menimbulkan persoalan
dari ketatanegaraan.
Pertama. Mendagri
menggunakan berbagai instrumen hukum konvensional untuk tetap
melantik. Dengan menguraikan berbagai contoh, Mendagri memastikan,
setelah melantik Bupati Gunung Mas, maka Mendagri bersedia
“memberhentikan sementara” apabila Bupati Gunung Mas telah
dinyatakan “terdakwa”.
Rumusan ini yang tetap
dipegang oleh Mendagri. Entah dengan alasan inilah, maka argumentasi
yang dipaparkan oleh Mendagri “sedikit” lebih aman.
KPK baik yang telah
disampaikan oleh Adnan Pandu dan Bambang Widjayanto menggunakan
pendekatan “kejahatan korupsi adalah kejahatan extra ordinancy
crime” sehingga diperlukan cara-cara yang luar biasa.
Dari tema ini, tanpa
menghilangkan semangat melawan korupsi, argumentasi yang disampaikan
oleh Adnan dan BW “kurang tepat”.
Betul. Kita melawan
korupsi dan menetapkan korupsi sebagai kejahatan yang bersifat “extra
ordinancy crime”. Tapi membantah dengan nilai yang disampaikan
dengan konteks hukum formal, kurang menemukan relevansinya. Sehingga
argumentasi yang disampaikan pihak KPK tidak relevan dengan
argumentasi yang telah dipaparkan.
Kedua. Mendagri
menggunakan argumentasi “tidak ada boleh kekuasaan yang kosong
(rechtvacuum)”. Argumentasi ini sudah sering dipergunakan baik
dalam mengisi kekuasaan yang kosong maupun sebagai term ilmu
ketatanegaraan yang tidak boleh ditoleransi.
Kita masih ingat dalam
kasus “pencopotan” Prabowo dan hanya memberikan tongkat
komando selama 17 jam kepada Jonny Lumintang dan kemudian menyerahkan
kepada penerusnya.
Atau kita masih ingat
dalam peristiwa “pembobolan” Century, sewaktu SBY di luar
negeri, Jusuf Kalla yang tidak pernah dilaporkan perkembangan kasus
century. Padahal menurut hukum, Jusuf Kalla merupakan Presiden “ad
interm”.
Atau kita masih ingat
peristiwa menjelang Pemilu 2009. Saat Presiden SBY keluar negeri,
namun Jusuf Kalla “justru” diluar jakarta. Desakan ahli
tata negara pada saat itu kemudian membuat Jusuf Kalla harus kembali
ke jakarta, karena dapat berpotensi terjadinya kudeta.
Begitu banyak contoh dari
“kekosongan hukum (rechtvacuum) yang tidak boleh terjadi
dalam sistem ketatanegaraan.
Dari pendekatan ini,
Mendagri “cukup ahli” dalam memainkan term ketatanegaraan.
Namun lagi-lagi, KPK
“kurang memberikan jawaban ketatanegaraan” terhadap term
yang ditawarkan oleh Mendagri.
Ketiga. Adanya
kekhawatiran “kerugian negara” lebih besar apabila tetap
dilantiknya Bupati Gunung Mas.
Alasan ini “kurang
relevan” apabila “dimaknai” menolak pelantikan.
Betul. Akan terjadinya
“kerugian negara” apabila tetap melantiknya. Namun
argumentasi “kekosongan hukum (rechtvacuum)” tidak boleh
dikalahkan dengan alasan “kerugian negara”.
Keempat. Korupsi sebagai
“extra ordinancy crime”. Tema ini sudah menjadi
pengetahuan kita bersama. Dan tentu saja kita memerlukan cara-cara
yang “luar biasa” dalam upaya menanggulanginya.
Namun lagi-lagi jawaban
dari KPK “kurang bisa” memberikan jawaban ketatanegaraan
sebagai jawaban dan pelajaran yang bisa kita tarik dari peristiwa
ini.
Dengan melihat
argumentasi yang telah dipaparkan maka sudah semestinya, KPK harus
mempunyai jawaban jitu untuk tidak mengizinkan pelantikan Bupati
Gunung Mas.
Argumentasi dari sudut
ketatanegaraan harus diberikan agar publik dapat menangkap kesan, KPK
berkepentingan untuk penegakkan hukum tanpa harus “tersita”
dengan argumentasi yang sulit mencari padanannya dalam ilmu
ketatanegaraan.
Padahal, rumusan ini bisa
saja kita adopsi untuk memperbaiki peraturan baik didalam itu sendiri
maupun peraturan pelaksanaannya. Sehingga perdebatan yang muncul dari
peristiwa ini tidak terulang kembali.
Saya termasuk sepakat
agar rumusan ini menjadi pertimbangan di parlemen agar melakukan
revisi dan proses agar “semangat” anti korupsi kita dukung
tapi kita dapat memberikan jawaban ketatanegaraan yang baik. Sehingga
kita selalu dapat belajar dari setiap peristiwa.