27 Desember 2013

opini musri nauli : MENCARI “SIASAT” TIDAK MELANTIK KEPALA DAERAH


Dunia hukum kembali mengalami dilema. Bupati Gunung Mas yang “ditangkap” KPK dalam kasus “penyuapan” Ketua MK yang sudah terpilih “harus dilantik”. Kata-kata “harus dilantik” merupakan kesan penulis dari “kengototan” Mendagri ketika memberikan pendapat di berbagai media dalam peristiwa ini.

KPK sebagai lembaga yang melakukan penahanan sudah bersikap. Tidak akan memberikan izin kepada Mendagri untuk melantiknya. Sementara Mendagri “kesulitan” menjelaskan skenario lain selain “hanya akan tetap melantik”.

Dalam berbagai tayangan di media massa, penulis menangkap kesan, argumentasi yang dipaparkan pihak yang “menolak” melantik masih menimbulkan persoalan dari ketatanegaraan.

Pertama. Mendagri menggunakan berbagai instrumen hukum konvensional untuk tetap melantik. Dengan menguraikan berbagai contoh, Mendagri memastikan, setelah melantik Bupati Gunung Mas, maka Mendagri bersedia “memberhentikan sementara” apabila Bupati Gunung Mas telah dinyatakan “terdakwa”.

Rumusan ini yang tetap dipegang oleh Mendagri. Entah dengan alasan inilah, maka argumentasi yang dipaparkan oleh Mendagri “sedikit” lebih aman.

KPK baik yang telah disampaikan oleh Adnan Pandu dan Bambang Widjayanto menggunakan pendekatan “kejahatan korupsi adalah kejahatan extra ordinancy crime” sehingga diperlukan cara-cara yang luar biasa.

Dari tema ini, tanpa menghilangkan semangat melawan korupsi, argumentasi yang disampaikan oleh Adnan dan BW “kurang tepat”.

Betul. Kita melawan korupsi dan menetapkan korupsi sebagai kejahatan yang bersifat “extra ordinancy crime”. Tapi membantah dengan nilai yang disampaikan dengan konteks hukum formal, kurang menemukan relevansinya. Sehingga argumentasi yang disampaikan pihak KPK tidak relevan dengan argumentasi yang telah dipaparkan.

Kedua. Mendagri menggunakan argumentasi “tidak ada boleh kekuasaan yang kosong (rechtvacuum)”. Argumentasi ini sudah sering dipergunakan baik dalam mengisi kekuasaan yang kosong maupun sebagai term ilmu ketatanegaraan yang tidak boleh ditoleransi.

Kita masih ingat dalam kasus “pencopotan” Prabowo dan hanya memberikan tongkat komando selama 17 jam kepada Jonny Lumintang dan kemudian menyerahkan kepada penerusnya.

Atau kita masih ingat dalam peristiwa “pembobolan” Century, sewaktu SBY di luar negeri, Jusuf Kalla yang tidak pernah dilaporkan perkembangan kasus century. Padahal menurut hukum, Jusuf Kalla merupakan Presiden “ad interm”.

Atau kita masih ingat peristiwa menjelang Pemilu 2009. Saat Presiden SBY keluar negeri, namun Jusuf Kalla “justru” diluar jakarta. Desakan ahli tata negara pada saat itu kemudian membuat Jusuf Kalla harus kembali ke jakarta, karena dapat berpotensi terjadinya kudeta.

Begitu banyak contoh dari “kekosongan hukum (rechtvacuum) yang tidak boleh terjadi dalam sistem ketatanegaraan.

Dari pendekatan ini, Mendagri “cukup ahli” dalam memainkan term ketatanegaraan.

Namun lagi-lagi, KPK “kurang memberikan jawaban ketatanegaraan” terhadap term yang ditawarkan oleh Mendagri.

Ketiga. Adanya kekhawatiran “kerugian negara” lebih besar apabila tetap dilantiknya Bupati Gunung Mas.

Alasan ini “kurang relevan” apabila “dimaknai” menolak pelantikan.

Betul. Akan terjadinya “kerugian negara” apabila tetap melantiknya. Namun argumentasi “kekosongan hukum (rechtvacuum)” tidak boleh dikalahkan dengan alasan “kerugian negara”.

Keempat. Korupsi sebagai “extra ordinancy crime”. Tema ini sudah menjadi pengetahuan kita bersama. Dan tentu saja kita memerlukan cara-cara yang “luar biasa” dalam upaya menanggulanginya.

Namun lagi-lagi jawaban dari KPK “kurang bisa” memberikan jawaban ketatanegaraan sebagai jawaban dan pelajaran yang bisa kita tarik dari peristiwa ini.

Dengan melihat argumentasi yang telah dipaparkan maka sudah semestinya, KPK harus mempunyai jawaban jitu untuk tidak mengizinkan pelantikan Bupati Gunung Mas.

Argumentasi dari sudut ketatanegaraan harus diberikan agar publik dapat menangkap kesan, KPK berkepentingan untuk penegakkan hukum tanpa harus “tersita” dengan argumentasi yang sulit mencari padanannya dalam ilmu ketatanegaraan.

Padahal, rumusan ini bisa saja kita adopsi untuk memperbaiki peraturan baik didalam itu sendiri maupun peraturan pelaksanaannya. Sehingga perdebatan yang muncul dari peristiwa ini tidak terulang kembali.

Saya termasuk sepakat agar rumusan ini menjadi pertimbangan di parlemen agar melakukan revisi dan proses agar “semangat” anti korupsi kita dukung tapi kita dapat memberikan jawaban ketatanegaraan yang baik. Sehingga kita selalu dapat belajar dari setiap peristiwa.