Setiap menaiki pesawat
Maskapai Lion, selain teringat akan “seringnya” si Raja Delay,
saya selalu teringat akan cerita sukses Lion yang membeli pesawat
baru.
Dengan gagah berani dan
selalu dipromosikan di berbagai bandara, LION selalu memamerkan
pesawat seri terbaru.
Kita masih ingat ketika
Maskapai penerbangan Lion Air akan membeli 230 unit pesawat Boeing
yang terdiri atas 201 unit B-737 MAX dan 29 unit Next Generation
737-900 ERS.
Penjualan sebanyak 230
unit pesawat senilai US$ 2,17 miliar atau sekitar Rp 195,2 triliun
ini menjadi penjualan pesawat komersial terbesar yang pernah Boeing
alami selama ini, baik dalam nilai dolar dan juga total jumlah
pesawat. Boeing dan Lion telah memfinalisasi detail perjanjian
tersebut. Lion Air juga akan akan membeli 150 pesawat tambahan yang
bernilai lebih dari US$ 14 miliar. Dengan begitu, Lion kini memiliki
178 unit Boeing jenis Next Generation 737.
Dengan demikian maka LION
melengkapi pesawat yang sudah ada dan kemudian menambahnya dengan
cara Pembelian 109 pesawat A320neo, 65 A321neo, & 60 A320ceo itu
disaksikan langsung oleh Presiden Prancis Francois Hollande.
Begitu “ambisinya”
LION menambah armada dengan seri terbaru membuat LION merajai angkasa
nusantara. Ambisi LION ini kemudian menjadikan LION salah satu
pelopor pesawat berbudget rendah dan mampu menguasai jumlah penumpang
Indonesia.
Lantas apakah dua
peristiwa itu akan membuat Indonesia menjadi harum di hubungan
internasional.
Sebagian mengatakan iya.
Indonesia mampu membeli begitu banyak armada terbaru untuk pesawat
komersilnya. Namun sebagian kalangan justru menampakkan muka protes.
Ya. Bukannya kita
berbangga bisa membeli berbagai pesawat dengan seri terbaru. Tapi
seharusnya malu karena Indonesia “cuma menjadi” negara konsumen.
Negara yang cuma bisa menggunakan teknologi yang diciptakan negara
lain.
Ya. Itu sudah
diperhitungkan Habibie 20 tahun yang lalu. Dengan proyek ambisiusnya,
dimulai dari penerbangan pesawat Nurtanio CN 235 dan kemudian disusul
pesawat Nurtanio 250, Habibie sudah meyakini Indonesia akan
membutuhkan armada pesawat untuk memenuhi kebutuhan penumpang
Indonesia sebanyak 7-8 juta penumpang.
Ya. Habibie sudah
mempersiapkan dan memperhitungkannya.
Ketika Habibie sudah
“memperhitungkannya”, Habibie yang dikenal sebagai ahli
aerodinamika dan “teori crash” yang digunakan sebagai sirip
pesawat, tidak rela begitu banyak cadangan devisa kita yang terserap
di luar negeri. Habibie sudah mempersiapkan sehingga dapat
dipergunakan oleh Indonesia sendiri.
Namun ketika resesi tahun
1997 yang menyeret Indonesia kedalam krisisi, resep dari IMF justru
“menghapuskan” teknologi high tech. IMF beralasan Indonesia harus
berkonsentrasi terhadap berbagai memenuhi pangan dalam negeri dan
tidak perlu memikirkan high tech.
Resep ini “seakan-akan”
manjur. Dukungan dari publik yang menganggap resep IMF tepat dalam
keadaan krisis ternyata “ketahuan” belangnya kemudian.
IMF yang dimotori oleh
Amerika dan Eropa “ternyata” melindungi investasi high tech.
Amerika dan Eropa melindungi pasar pesawat terbanggnya.
Maka dengan “berkedok”
IMF, Amerika dan Eropa justru “memaksa” Indonesia menggunakan
produk mereka. Indonesia kemudian “membeli” pesawat buatan Boeing
dan Airbus. Dan nilai-nilai tidak tanggung. Ratusan trilyun yang
dikeluarkan Indonesia.
Sekali lagi terbukti.
Modus IMF ternyata “hanya berkepentingan” melindungi pasarnya.
IMF tidak menjadi dokter yang ampuh memberikan resep kepada Indonesia
keluar dari krisis.
Pelajaran yang mahal
sekali harganya.