06 Februari 2014

opini musri nauli : RUU KUHAP DALAM POLEMIK


Dunia hukum geger. RUU KUHAP yang “sedang dibicarakan” di parlemen membuat para pihak mulai berseteru. Pihak DPR menganggap RUU KUHAP diusulkan oleh Pemerintah sehingga “mereka berkewajiban” untuk membahasnya.

Sementara dari pihak Pemerintah, mulai “melemparkan” tanggung jawab. Pihak Menkopolkam yang disampaikan oleh Djoko Suyanto menganggap bahan yang dikirimi ke DPR telah “disinkronisasikan” oleh Mewankumham. Sementara Denny Indraya sebagai Wamenkumham menganggap “usulan ini sudah disusun lebih dari 10 tahun.
Dari polemik inilah, kelihatan sekali, DPR, Menkopolkam dan Menkumham saling melepaskan tanggungjawab. Mereka “panik” ketika sebuah televisi nasional “mempelototi” berbagai usulan yang dapat dikatakan sebagai “upaya melemahkan” KPK.

Kepanikan selain disebabkan berbagai rumusan RUU yang dianggap melemahkan KPK, juga mereka tidak mau “akan” diserang publik. Catatan dalam perjalanan bangsa sudah membuktikan. Upaya yang “dianggap” sebagai melemahkan KPK “harus” berhadapan dengan publik. Baik yang mengajukan judicial review ke MK, praperadilan KPK, menyerbu KPK dalam kasus Novel Baswedan, revisi UU KPK hingga berbagai manuver menarik penyidik kepolisian dari KPK.

Dengan melemparkan tanggungjawab dan tidak mau menempuh resiko, semuanya kemudian “tiarap” ketika berbagai persoalan RUU mengemuka.

Namun terlepas dari polemik, sebelum kita menentukan apakah memang ada desain yang cukup rapi upaya melemahkan KPK, kita sedikit melihat rumusan RUU KUHAP.

Menurut berbagai sumber disebutkan ada 12 isu penting yang yang menjadi polemik dalam RUU KUHAP yang berpotensi melemahkan atau memangkas kewenangan KPK

Pertama, dihapuskannya ketentuan penyelidikan, kedua KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur di luar KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), ketiga penghentikan penuntutan suatu perkara, keempat tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap penyidikan, kelima masa penahanan kepada tersangka lebih singkat.
 Keenam, hakim dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan penyidik, ketujuh penyitaan harus izin dari hakim, kedelapan penyadapan harus mendapat izin hakim, kesembilang penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim, kesepuluh putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Kesebelas putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi, dan terakhir ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur. 


Yang menjadi perhatian utama dari RUU KUHAP berkaitan tentang penyelidikan, penyadapan, penuntutan, penyitaan hingga putusan bebas tidak bisa dikasasi.

Melihat draft Rancangan Undang-undang KUHAP memang memberi kewenangan luar biasa bagi hakim komisaris (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) yang dapat memutuskan dilanjutkan atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan penyadapan sebuah perkara pidana secara final.

Padahal ketika membicarakan RUU KUHAP, juga membicarakan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan. Namun terkesan meniadakan KPK dan pengadilan khusus tindak pidana korupsi.

Penyidikan

Mengenai penggabungan penyelidikan dan penyidikan merupakan perubahan besar (penulis harus bisa memastikan apakah penggunaan kalimat “perubahan” lebih tepat pada konteks ini dibandingkan dengan kalimat “terobosan” atau kata 'lompatan”)

Para perumus RUU KUHAP lupa bahwa tema penyelidikan dan penyidikan akan membawa persoalan besar.

Pertama. Definisi mengklasikasikan antara penyelidikan dan penyidikan akan berakibat hukum.
Rumusan yang dapat dikategorikan penyelidikan “berangkat” dari “bukti permulaan yang cukup”. Bandingkan dengan penyidikan yang harus memenuhi 2 alat bukti sebagaimana diatur didalam pasal 184 KUHAP.

Kedua. Penyelidikan belum dapat ditentukan “peristiwa hukumnya” dengan demikian belum dapat dipastikan sebagai pelakunya. Sedangkan penyidikan sudah dapat ditentukan “pelanggaran hukum” sehingga dapat dipastikan “siapa yang bertanggungjawab”.

Ketiga. Belum lagi berbagai perangkat penegak hukum yang dapat dikatakan sebagai “penyelidik” dan penyidik”.

Rumusan ini sudah banyak mewarnai berbagai yurisprudensi putusan Mahkamah Agung.

Keempat. Bagaimana proses hukum terhadap sebuah peristiwa pidananya ? Apakah sudah dapat dikategorikan sebagai penyidikan namun penyidik belum dapat menentukan “siapa yang bertanggungajawab” ?

Apakah hanya berkaitan dengan intelijen semata.

Kelima. Bagaimana dengan kemampuan penegak hukum untuk membongkar kejahatan ? Sebagai contoh. Berapa penyidik dalam sebuah kesatuan di kepolisian ? Apakah upaya paksa seperti penggeledahan, penyitaan ataupun penangkapan harus dilakukan oleh penyidik ?

Bagaimana dengan perintah tertulis dari atasannya. Kapan dimulai perintah dari atasan kepada penyidik ? Apakah dimulai dari tahap pengumpulan data atau pada tingkat penyidikan ?

Penyadapan

Mengenai penyadapan percakapan telepon hanya bisa dilakukan terhadap tindak pidana serius serta harus mendapat surat izin dari hakim pemeriksa pendahuluan.

Penyadapan hanya dimungkinkan terhadap 20 tindak pidana serius yang secara limitatif diatur dalam Rancangan Undang-undang KUHAP. Kedua puluh tindak pidana yang dikecualikan adalah (1) tindak pidana terhadap keamanan negara; (2) pidana perampasan kemerdekaan/penculikan; (3) pencurian dengan kekerasan; (4) pemerasan; (5) pengancaman; (6) perdagangan orang (7) penyelundupan (8) korupsi; (9) pencucian uang; (10) pemalsuan uang (11) keimigrasian (12) pidana mengenai bahan peledak dan senjata api (13) terorisme (14) pelanggaran berat HAM (15) psikotropika dan narkotika (16) pemerkosaan; (17) pembunuhan; (18) penambangan tanpa izin (19) penangkapan ikan tanpa izin dan (20) pembalakan liar.

Proses penyadapan yang diatur dalam pasal 83 KUHAP mengharuskan penyidik mendapat perintah tertulis dari atasan penyidik setelah mendapat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Selanjutnya, penuntut umum menghadap kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersama dengan penyidik menyampaikan permohonan tertulis kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan dengan menyertai alasan dilakukan penyadapan. Hakim Pemeriksa Pendahuluan kemudian mengeluarkan penetapan izin penyadapan selama 30 hari dan bisa diperpanjang paling lama 30 hari lagi.

Hakim Pemeriksan Pendahuluan mirip dengan hakim praperadilan selama ini namun RUU KUHAP mengatur Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak menangani perkara biasa di pengadilan.

Dengan demikian, KPK dalam mengungkap kasus korupsi melalui penyadapan pun tak terkecuali harus mendapatkan izin dari hakim pemeriksa pendahuluan.

Mekanisme ini mengingatkan kita dalam sistem hukum yang sering diperlihatkan dalam film-film holywood. Sebuah perbandingan yang tidak equal. Selain karena memang sistem hukum kita yang tidak sama (Indonesia menganut sistem Eropa kontinental. Berbeda dengan Amerika Serika yang menganut sistem hukum Anglo Saxon).

Belum lagi sistem hukum kita belum berjalan dengan baik. Berbagai contoh yang diperlihatkan KPK membuktikan hampir seluruh perangkat aparat penegak hukum justru menjadi bagian kejahatan korupsi itu sendiri.

Dengan demikian, maka apabila mekanisme ini ditempuh, selain akan mampu melindungi “para koruptor” yang “bermain” dalam sistem hukum yang diciptakan, mekanisme ini akan sulit mengungkapkan berbagai praktek-praktek koruptor.

Padahal dengan memberikan kewenangan penyadapan kepada KPK, kita mudah melihat bagaimana pola kejahatan yang direncanakan. Berbagai tangkapan besar KPK “dimulai” dari “penyadapan”. Penulis tidak bisa membayangkan bagaimana pola kejahatan bisa dibongkar apabila “penyadapan” harus mengikuti mekanisme KUHAP disahkan.

Penuntutan

Mekanisme ini sering digunakan KPK untuk menimbulkan effek jera kepada para pelaku. Apabila melihat rumusan RUU KUHAP, maka KPK hanya sebagai lembaga subkoordinasi dimana pemberantasan cuma dapat diatasi pada tingkatan “hulu” tanpa menyelesaikan dan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku di tingkat hilir.

Lantas apa yang bisa kita bayangkan, apabila mekanisme penuntutan bukan lagi menjadi kewenangan KPK ?

Penyitaan

Sebenarnya mekanisme didalam KUHAP relatif lebih baik. Namun penulis bingung mengapa kemudian mekanisme ini

Putusan Bebas.

Didalam KUHAP sudah diatur bahwa pada prinsipnya putusan bebas tidak dapat dikasasi.

Tapi dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni,

Terhadap putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judexfactie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.

Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi.

Sehingga dalam praktek biasa dikenal Putusan bebas Murni (de “zuivere vrijspraak”) dan Putusan Bebas Tidak Murni (de “onzuivere vrijspraak”.

Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti
Sedangkan Putusan Bebas Tidak Murni (de “onzuivere vrijspraak”) adalah putusan dalam hal batalnya dakwaan secara terselubung atau “pembebasan” yang menurut kenyataannya tidak didasarkan kepada ketidakterbuktiannya apa yang dimuat dalam surat tuduhan.

Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain : 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.

Sedangkan dalil hukum yang digunakan Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah selalu sama yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi ”.

Putusan bebas tidak murni pernah juga dibahas Pasal 244 KUHAP dalam perkara nomor 17/PUU-VIII/2010 di Mahkamah Konstitusi

Sehingga walaupun rumusan ini “hendak” diatur didalam RUU KUHAP, namun perkembangan hukum yang begitu cepat yang ditandai dengan berbagai yurisprudensi akan kehilangan relevansinya.

Dengan melihat penjelasan yang disampaikan, penulis menganggap bahwa rumusan RUU KUHAP disusun tidak melihat kenyataan di tengah lapangan. Perangkat hukum yang belum berjalan, jumlah penegak hukum, sistem hukum yang masih jauh dari harapan hingga pembahasan KUHAP yang sudah banyak dipertimbangkan didalam putusan MK maupun dalam yurisprudensi Mahkamah Agung.

Sehingga tidak salah kemudian apabila adanya “tudingan” RUU KUHAP hendak melemahkan KPK dapat dimengerti. Upaya ini terus menerus setelah berbagai serangan kepada KPK tidak mendapatkan dukungan dari publik.

Sekedar mengembalikan ingatan, rumusan ini pernah dijadikan bahan untuk revisi UU KPK. Tapi dukungan dari publik terhadap KPK membuat pembahasan ini kemudian terhenti.

Namun ketika gagal rumusan ini dijadikan bahan revisi UU KPK, materi yang tidak berbeda kemudian dicoba disandingkan di RUU KUHAP.

Padahal para ahli hukum justru memberikan apresiasi kepada KUHAP sebagai salah satu karya terbesar (master piece) anak bangsa keluar dari kungkungan sistem hukum warisan kolonial.

Terlepas dari kekurangan KUHAP, justru kita harusnya memperkuat KUHAP sehingga dimensi hukum yang memberikan perlindungan HAM, menjunjung tinggi hukum hingga penghormatan kepada para tersangka, penegak hukum hingga menghormati hukum dapat tercapai