Dunia hukum geger. RUU
KUHAP yang “sedang dibicarakan” di parlemen membuat para pihak
mulai berseteru. Pihak DPR menganggap RUU KUHAP diusulkan oleh
Pemerintah sehingga “mereka berkewajiban” untuk membahasnya.
Sementara dari pihak
Pemerintah, mulai “melemparkan” tanggung jawab. Pihak Menkopolkam
yang disampaikan oleh Djoko Suyanto menganggap bahan yang dikirimi ke
DPR telah “disinkronisasikan” oleh Mewankumham. Sementara Denny
Indraya sebagai Wamenkumham menganggap “usulan ini sudah disusun
lebih dari 10 tahun.
Dari polemik inilah,
kelihatan sekali, DPR, Menkopolkam dan Menkumham saling melepaskan
tanggungjawab. Mereka “panik” ketika sebuah televisi nasional
“mempelototi” berbagai usulan yang dapat dikatakan sebagai “upaya
melemahkan” KPK.
Kepanikan selain
disebabkan berbagai rumusan RUU yang dianggap melemahkan KPK, juga
mereka tidak mau “akan” diserang publik. Catatan dalam perjalanan
bangsa sudah membuktikan. Upaya yang “dianggap” sebagai
melemahkan KPK “harus” berhadapan dengan publik. Baik yang
mengajukan judicial review ke MK, praperadilan KPK, menyerbu KPK
dalam kasus Novel Baswedan, revisi UU KPK hingga berbagai manuver
menarik penyidik kepolisian dari KPK.
Dengan melemparkan
tanggungjawab dan tidak mau menempuh resiko, semuanya kemudian
“tiarap” ketika berbagai persoalan RUU mengemuka.
Namun terlepas dari
polemik, sebelum kita menentukan apakah memang ada desain yang cukup
rapi upaya melemahkan KPK, kita sedikit melihat rumusan RUU KUHAP.
Menurut berbagai sumber disebutkan ada
12 isu penting yang yang menjadi polemik dalam RUU KUHAP yang
berpotensi melemahkan atau memangkas kewenangan KPK
Pertama, dihapuskannya
ketentuan penyelidikan, kedua KUHAP berlaku terhadap tindak pidana
yang diatur di luar KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), ketiga
penghentikan penuntutan suatu perkara, keempat tidak memiliki
kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap penyidikan, kelima masa
penahanan kepada tersangka lebih singkat.
Keenam, hakim dapat
menangguhkan penahanan yang dilakukan penyidik, ketujuh penyitaan
harus izin dari hakim, kedelapan penyadapan harus mendapat izin
hakim, kesembilang penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat
dibatalkan oleh hakim, kesepuluh putusan bebas tidak dapat diajukan
kasasi kepada
Mahkamah Agung. Kesebelas putusan Mahkamah Agung
tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi, dan terakhir
ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur.
Yang menjadi perhatian
utama dari RUU KUHAP berkaitan tentang penyelidikan, penyadapan,
penuntutan, penyitaan hingga putusan bebas tidak bisa dikasasi.
Melihat draft Rancangan
Undang-undang KUHAP memang memberi kewenangan luar biasa bagi hakim
komisaris (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) yang dapat memutuskan
dilanjutkan atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan penyadapan sebuah
perkara pidana secara final.
Padahal ketika
membicarakan RUU KUHAP, juga membicarakan lembaga penegak hukum
seperti kepolisian, kejaksaan. Namun terkesan meniadakan KPK dan
pengadilan khusus tindak pidana korupsi.
Penyidikan
Mengenai penggabungan
penyelidikan dan penyidikan merupakan perubahan besar (penulis
harus bisa memastikan apakah penggunaan kalimat “perubahan” lebih
tepat pada konteks ini dibandingkan dengan kalimat “terobosan”
atau kata 'lompatan”)
Para perumus RUU KUHAP
lupa bahwa tema penyelidikan dan penyidikan akan membawa persoalan
besar.
Pertama. Definisi
mengklasikasikan antara penyelidikan dan penyidikan akan berakibat
hukum.
Rumusan yang dapat
dikategorikan penyelidikan “berangkat” dari “bukti permulaan
yang cukup”. Bandingkan dengan penyidikan yang harus memenuhi 2
alat bukti sebagaimana diatur didalam pasal 184 KUHAP.
Kedua. Penyelidikan belum
dapat ditentukan “peristiwa hukumnya” dengan demikian belum dapat
dipastikan sebagai pelakunya. Sedangkan penyidikan sudah dapat
ditentukan “pelanggaran hukum” sehingga dapat dipastikan “siapa
yang bertanggungjawab”.
Ketiga. Belum lagi
berbagai perangkat penegak hukum yang dapat dikatakan sebagai
“penyelidik” dan penyidik”.
Rumusan ini sudah banyak
mewarnai berbagai yurisprudensi putusan Mahkamah Agung.
Keempat. Bagaimana proses
hukum terhadap sebuah peristiwa pidananya ? Apakah sudah dapat
dikategorikan sebagai penyidikan namun penyidik belum dapat
menentukan “siapa yang bertanggungajawab” ?
Apakah hanya berkaitan
dengan intelijen semata.
Kelima. Bagaimana dengan
kemampuan penegak hukum untuk membongkar kejahatan ? Sebagai contoh.
Berapa penyidik dalam sebuah kesatuan di kepolisian ? Apakah upaya
paksa seperti penggeledahan, penyitaan ataupun penangkapan harus
dilakukan oleh penyidik ?
Bagaimana dengan perintah
tertulis dari atasannya. Kapan dimulai perintah dari atasan kepada
penyidik ? Apakah dimulai dari tahap pengumpulan data atau pada
tingkat penyidikan ?
Penyadapan
Mengenai penyadapan
percakapan telepon hanya bisa dilakukan terhadap tindak pidana serius
serta harus mendapat surat izin dari hakim pemeriksa pendahuluan.
Penyadapan hanya
dimungkinkan terhadap 20 tindak pidana serius yang secara limitatif
diatur dalam Rancangan Undang-undang KUHAP. Kedua puluh tindak pidana
yang dikecualikan adalah (1) tindak pidana terhadap keamanan negara;
(2) pidana perampasan kemerdekaan/penculikan; (3) pencurian dengan
kekerasan; (4) pemerasan; (5) pengancaman; (6) perdagangan orang (7)
penyelundupan (8) korupsi; (9) pencucian uang; (10) pemalsuan uang
(11) keimigrasian (12) pidana mengenai bahan peledak dan senjata api
(13) terorisme (14) pelanggaran berat HAM (15) psikotropika dan
narkotika (16) pemerkosaan; (17) pembunuhan; (18) penambangan tanpa
izin (19) penangkapan ikan tanpa izin dan (20) pembalakan liar.
Proses penyadapan yang
diatur dalam pasal 83 KUHAP mengharuskan penyidik mendapat perintah
tertulis dari atasan penyidik setelah mendapat izin dari Hakim
Pemeriksa Pendahuluan. Selanjutnya, penuntut umum menghadap kepada
Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersama dengan penyidik menyampaikan
permohonan tertulis kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan dengan
menyertai alasan dilakukan penyadapan. Hakim Pemeriksa Pendahuluan
kemudian mengeluarkan penetapan izin penyadapan selama 30 hari dan
bisa diperpanjang paling lama 30 hari lagi.
Hakim Pemeriksan
Pendahuluan mirip dengan hakim praperadilan selama ini namun RUU
KUHAP mengatur Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak menangani perkara
biasa di pengadilan.
Dengan demikian, KPK
dalam mengungkap kasus korupsi melalui penyadapan pun tak terkecuali
harus mendapatkan izin dari hakim pemeriksa pendahuluan.
Mekanisme ini
mengingatkan kita dalam sistem hukum yang sering diperlihatkan dalam
film-film holywood. Sebuah perbandingan yang tidak equal. Selain
karena memang sistem hukum kita yang tidak sama (Indonesia menganut
sistem Eropa kontinental. Berbeda dengan Amerika Serika yang menganut
sistem hukum Anglo Saxon).
Belum lagi sistem hukum
kita belum berjalan dengan baik. Berbagai contoh yang diperlihatkan
KPK membuktikan hampir seluruh perangkat aparat penegak hukum justru
menjadi bagian kejahatan korupsi itu sendiri.
Dengan demikian, maka
apabila mekanisme ini ditempuh, selain akan mampu melindungi “para
koruptor” yang “bermain” dalam sistem hukum yang diciptakan,
mekanisme ini akan sulit mengungkapkan berbagai praktek-praktek
koruptor.
Padahal dengan memberikan
kewenangan penyadapan kepada KPK, kita mudah melihat bagaimana pola
kejahatan yang direncanakan. Berbagai tangkapan besar KPK “dimulai”
dari “penyadapan”. Penulis tidak bisa membayangkan bagaimana pola
kejahatan bisa dibongkar apabila “penyadapan” harus mengikuti
mekanisme KUHAP disahkan.
Penuntutan
Mekanisme ini sering
digunakan KPK untuk menimbulkan effek jera kepada para pelaku.
Apabila melihat rumusan RUU KUHAP, maka KPK hanya sebagai lembaga
subkoordinasi dimana pemberantasan cuma dapat diatasi pada tingkatan
“hulu” tanpa menyelesaikan dan memberikan sanksi yang tegas
kepada para pelaku di tingkat hilir.
Lantas apa yang bisa kita
bayangkan, apabila mekanisme penuntutan bukan lagi menjadi kewenangan
KPK ?
Penyitaan
Sebenarnya mekanisme
didalam KUHAP relatif lebih baik. Namun penulis bingung mengapa
kemudian mekanisme ini
Putusan Bebas.
Didalam KUHAP sudah
diatur bahwa pada prinsipnya putusan bebas tidak dapat dikasasi.
Tapi dalam praktiknya telah dilakukan
dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni,
Terhadap putusan bebas
dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh
judexfactie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik
upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
Namun dalam praktiknya
Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir
semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan
kasasi.
Sehingga dalam praktek biasa dikenal
Putusan bebas Murni (de “zuivere vrijspraak”) dan Putusan Bebas
Tidak Murni (de “onzuivere vrijspraak”.
Putusan bebas murni
adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak
pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti
Sedangkan Putusan Bebas
Tidak Murni (de “onzuivere vrijspraak”) adalah putusan dalam hal
batalnya dakwaan secara terselubung atau “pembebasan” yang
menurut kenyataannya tidak didasarkan kepada ketidakterbuktiannya apa
yang dimuat dalam surat tuduhan.
Adapun tentang alasan
Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan
bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain : 1) Pengadilan
Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan
hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan
ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak
dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie
bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan
“bebas tidak murni”.
Sedangkan dalil hukum
yang digunakan Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap
putusan bebas adalah selalu sama yaitu mengacu pada Keputusan Menteri
Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983
tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam
butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap
putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan
situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap
putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan
yurisprudensi ”.
Putusan bebas tidak murni
pernah juga dibahas Pasal 244 KUHAP dalam perkara nomor
17/PUU-VIII/2010 di Mahkamah Konstitusi
Sehingga walaupun rumusan
ini “hendak” diatur didalam RUU KUHAP, namun perkembangan hukum
yang begitu cepat yang ditandai dengan berbagai yurisprudensi akan
kehilangan relevansinya.
Dengan melihat penjelasan
yang disampaikan, penulis menganggap bahwa rumusan RUU KUHAP disusun
tidak melihat kenyataan di tengah lapangan. Perangkat hukum yang
belum berjalan, jumlah penegak hukum, sistem hukum yang masih jauh
dari harapan hingga pembahasan KUHAP yang sudah banyak
dipertimbangkan didalam putusan MK maupun dalam yurisprudensi
Mahkamah Agung.
Sehingga tidak salah
kemudian apabila adanya “tudingan” RUU KUHAP hendak melemahkan
KPK dapat dimengerti. Upaya ini terus menerus setelah berbagai
serangan kepada KPK tidak mendapatkan dukungan dari publik.
Sekedar mengembalikan
ingatan, rumusan ini pernah dijadikan bahan untuk revisi UU KPK. Tapi
dukungan dari publik terhadap KPK membuat pembahasan ini kemudian
terhenti.
Namun ketika gagal
rumusan ini dijadikan bahan revisi UU KPK, materi yang tidak berbeda
kemudian dicoba disandingkan di RUU KUHAP.
Padahal para ahli hukum
justru memberikan apresiasi kepada KUHAP sebagai salah satu karya
terbesar (master piece) anak bangsa keluar dari kungkungan sistem
hukum warisan kolonial.
Terlepas dari kekurangan
KUHAP, justru kita harusnya memperkuat KUHAP sehingga dimensi hukum
yang memberikan perlindungan HAM, menjunjung tinggi hukum hingga
penghormatan kepada para tersangka, penegak hukum hingga menghormati
hukum dapat tercapai