07 Februari 2014

opini musri nauli : JANGAN MENYERAH



JANGAN MENYERAH

Ketika nama saya diumumkan sebagai Advokat dari petinggi negeri di media online, reaksi bermunculan. Sebagian berpendapat, profesi advokat memang mengharuskan “memberikan bantuan hukum” kepada siapapun. Sebagian ada yang berpendapat lain. Mulai mempertanyakan “sikap kritis” saya. Ataupun mulai meragukan sikap saya.

Saya menghormati berbagai pendapat. Pendapat yang muncul tentu saja dilatarbelakangi berbagai faktor. Baik karena melihat berbagai tingkah laku advokat itu sendiri yang sering dilihat di berbagai tayangan televisi, pandangan maupun pengalaman pribadi. Semua sah memberikan penilaian.

Tapi memberikan penilaian yang keliru terhadap semua advokat memang harus diluruskan. Selain akan memberikan dampak yang buruk yang berangkat dari asumsi semata, kita juga harus melihat secara utuh dan lebih komprehensif sehingga asumsi yang dibangun dapat dinilai secara jernih.

Saya menyadari berbagai penilaian juga dipengaruhi pengetahuan tentang profesi advokat itu sendiri. Masih banyak pemahaman dan informasi yang salah menempatkan persoalan sehingga profesi advokat kemudian “merasakan getahnya”. Advokat kemudian dituding “melindungi” kejahatan. Bahkan yang lebih menyedihkan, advokat disamakan dengan klien.

Namun sebelum memberikan penilaian tersendiri ada baiknya kita sedikit mengenal sehingga informasi advokat dapat dilihat secara utuh.

Obyektif

Saya tertarik dengan pemikiran yang disampaikan Navarim Karim, petinggi perguruan tinggi di Jambi. “Saya yakin bung Musri akan menjadi pengacara yang obyektif”. Ungkapan yang disampaikan merupakan bentuk penghormatan dan kontrol Navarim Karim itu sendiri kepada saya. Ungkapan itu harus saya syukuri.

Namun memberikan pemahaman kepada khayalak apakah seorang advokat akan obyektif tentu akan sulit. Selain karena memang persepsi publik “advokat disamakan” dengan klien, persepsi publik terhadap para pelaku memang sudah dibentuk.

Dari kesempatan ini saya mengutip kata-kata penting didalam UU Advokat. “Advokat tidak dapat disamakan dengan klien”. Kalimat lengkapnya menyebutkan “Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

Makna kata-kata ini memang harus disampaikan. Selain “memastikan” profesi advokat tidak menjadi bagian dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, fungsi advokat itu sendiri juga “menegakkan hukum” dengan “itikad baik”. Dalam rumusan kalimat “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.

Dengan penjelasan ini, maka diharapkan, profesi advokat dapat menjadi bagian dari tegaknya hukum dan terjaminnya pelaksanaan HAM.

Lantas apakah saya bisa bersikap obyektif.

Dalam perjalanan saya, saat putusan dijatuhkan kepada terdakwa, saya mempelajari pertimbangan hukum hakim. Apabila putusan didasarkan kepada pertimbangan yang baik, malah justru saya “mendesak” kepada terdakwa agar menerima putusan dan tidak perlu mengajukan banding.

Dengan memberikan alasan dan argumentasi hukum, biasanya terdakwa bersedia mengikuti nasehat hukum saya.

Dalam catatan saya, malah lebih banyak perkara yang tidak diajukan banding daripada mengajukan banding atau kasasi.

Sehingga saya tetap mengedepankan sikap obyektif, melihat fakta persidangan daripada mengajukan banding/kasasi tapi tidak mempunyai dasar hukum.

Konflik interest

Bagaimana dengan praktek yang terjadi selama ini.

Saya juga tidak menutup mata terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi.

Dalam catatan saya, dalam periode 4 tahun terakhir, di Jambi sendiri masih banyak laporan yang masuk ke PERADI terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan. Laporan yang masuk telah diproses dan mekanisme tindakan telah dilakukan oleh PERADI itu sendiri.

Di tingkat nasional sendiri, kita masih ingat ketika Todung Mulya Lubis sendiri kemudian “diberhentikan” berdasarkan keputusan Dewan Kehormatan DPC Jakarta Selatan. Putusan itu geger. Selain Todung Mulya Lubis dalam kiprah nasional, ada tuduhan “Todung Mulya Lubis” berselisih pahama dengan pengacara lawan.

Di kalangan internal PERADI sendiri, keputusan pemberhentian terhadap Todung Mulya Lubis memang diakui sebagai kesalahan fatal.

Dari berbagai sumber disebutkan, kasus ini adalah buntut dari gugatan Sugar Group Companies terhadap Grup Salim yang diajukan ke Pengadilan Negeri Lampung pada 2006. Saat itu Hotman tampil sebagai pengacara Gunawan Yusuf, bos Makindo Group, pemilik Sugar Group. Sementara Todung mewakili Group Salim.

Di Pengadilan inilah Hotman berkali-kali mempersoalkan status Todung yang pernah bergabung dalam tim bantuan hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan.

April 2002 Departemen Keuangan memang meminta Todung melakukan audit hukum terhadap ratusan perusahaan “pasien” Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pekerjaan besar itu dilakukan Mulya beserta sejumlah pengacara yakni Arief T. Surowidjojo, Frans Hendra Winarta, dan Abdul Hakim Garuda Nusantara. BPPN sendiri mengutus dua ahli hukumnya, Robertus Bilitea dan Taufik Ma’roef, untuk membantu. Tim yang bekerja di bawah  komando Arief T. Surowidjojo ini bertugas Maret-Desember 2002. “Tujuannya untuk memastikan hak dan kewajiban masing-masing obligor dalam perjanjian itu.

Arief, yang mendapat jatah mengaudit Salim Group, menemukan ada dugaan pelanggaran yang dilakukan perusahaan milik Liem Sioe Liong itu. Semua laporan tim bantuan hukum itu bersifat rahasia. “Hanya BPPN dan kami yang memilikinya,” kata Todung. Tapi, belakangan Salim kemudian menyelesaikan semua kewajibannya. Pada Maret 2004 Salim mendapat surat keterangan lunas dari Badan Penyehatan.

Dengan bekal “amunisi” status Todung yang pernah mengaudit para obligor plus dokumen hasil kerja tim hukum itu, Hotman “memborbardir” Mulya di pengadilan. Hotman menuntut Todung mengundurkan diri sebagai pengacara Salim. Todung sudah dianggap konflik interes dan melakukan kebohongan.

Menurut Hotman, saat menjadi tim hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Mulya menyatakan Salim Group melanggar Master of Settlement and Acquisition Agreement – kesepakatan penyerahan aset obligor kakap kepada pemerintah. Salim misalnya dituding tidak menghapus seluruh liens (utang dan jaminan) kepada pihak ke tiga.

Soal menjadi pembela Salim, Todung menyatakan ada perjanjian pihaknya dengan Badan Penyehatan yang menyatakan dirinya tidak akan melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan benturan kepentingan sepanjang dua tahun usai mengaudit aset obligor itu. Todung sendiri menjadi pengacara Salim pada 2006, persis dua tahun setelah audit terhadap aset obligor rampung.

Sudah tahu hasil legal audit terhadap kekayaan Salim Group terjadi pelanggaran, tetapi Todung berkelit bahwa hasil legal audit tersebut tidak terjadi pelanggaran serta pendapat hukum terhadap kasus tersebut dapat berubah sewaktu – waktu. Pernyataan seperti itu sunggu tidak masuk akal. Sejak kapan pendapat hukum bersifat dinamis. Jika hukum bersifat dinamis, maka keadilan tidak akan bisa ditegakkan.

Sudah terpampang jelas bahwa tindakan yang telah dilakukan jelas melanggar Kode Etik Advokat Indonesia ( KEAI ) Pasal 3 huruf a, b dan c serta Pasal 4 huruf g dan j. Selain itu, Todung mulya Lubis jelas tidak melaksanakan KEAI Pasal 3 huruf g. Todung dianggap mempunyai konflk interest. Padahal rumusan didalam UU Advokat menegaskan “Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Dalam putusannya, PERADI kemudian menegaskan “Pendapat hukum seorang pengacara harus konsisten. Sebagai pengacara yang pernah diminta negara mengaudit Salim dan pernah menyatakan Salim bersalah, tidak patut Todung berbalik menjadi pengacara Salim.

Dengan memberikan contoh yang telah disampaikan, apakah saya akan terlibat “konflik interest” ?

Ukuran mudah. Melihat kasus yang melilit petinggi negeri, maka harusnya dilihat apakah saya pernah bicara kasus Pramuka dan Perkempinas ?. Apakah saya pernah memberikan pertimbangan hukum dalam kasus ini ? Atau apakah saya pernah memberikan pendapat dalam kasus ini.

Dengan demikian, maka saya harus “memastikan” tidak terlibat konflik interest dalam kasus ini.

Tidak membeda-bedakan

Dalam rumusan filosofi UU Advokat, Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum.

Selain itu “Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.

Dengan dua nilai itulah, maka saya kemudian menjalankan tugas sebagai advokat dan harus tetap “memastikan” agar tidak terjebak “konflik interest” dan tetap bersikap obyektif.

Tentu saja hal ini tidak mudah.

Ketika tahun 1998 saya kemudian memutuskan untuk terjun ke dunia hukum, sebagian kalangan justru pesimis. Ada ketakutan, saya kemudian “mengikuti arus' dan terjebak dalam dunia hukum.

Saya menghormati pemikiran itu. Selain memang dunia hukum penuh dengan misteri, tipu-tipu, suap dan kekuasaan, kekuatan yang merubah dunia hukum tidak mungkin bisa saya lakukan.

Namun saya percaya. Indonesia ke depan sedang menata dan saya harus ikut “merasakan” dunia hukum semakin baik.

Waktu kemudian berjalan.

Saya kemudian “mempersiapkan diri” memasuki dunia hukum. Berbagai ilmu dasar hukum dikuasai. Strategi dan skill di persidangan terus menerus diasah. Perkembangan ilmu hukum terus diikuti.

Dalam perjalanan itulah saya menemukan “orang” yang juga gelisah dan ingin “memperbaiki keadaan”.

Saya kemudian “menemukan teman”. Bersama-sama dengan komponen hukum lainnya (kepolisian, kejaksaan dan Pengadilan), kami berdiskusi dan terus menerus untuk memperbaiki hukum.

Di tingkat kepolisian, saya terus menerus mendorong terhadap kasus-kasus berat harus didampingi advokat. Di tingkat kejaksaan, saya selalu mengajak agar memberikan hukuman yang pantas terhadap terdakwa apabila mengakui dan tidak mempersulit pemeriksaan.

Bahkan sebelum membuat tuntutan, saya mengedepankan hati nurani dan mengetuk hati jaksa penuntut umum agar memberikan yang pantas kepada terdakwa.

Dan alhamdulilah, 16 tahun saya sudah menjalaninya. Saya masih tetap berfikir dan selalu “gelisah” terhadap praktek ketidakadilan.

Sehingga dalam persidangan yang hadiri, saya merasakan “dunia hukum” adalah “pertarungan” pemikiran dan terus menerus “mempersoalkan ketidakadilan'.

Saya “merasa” tidak tenggelam dalam hiruk pikuk dunia hukum.

Memang saya tidak bisa merubahnya. Namun saya “mencoba” untuk mewarnai persidangan.

Memastikan itu semuanya harus saya lakukan, apabila saya harus selalu dekat dengan mereka yang diperlakukan tidak adil.

Saya harus diluar pengadilan. Saya harus di jalanan. Saya harus menemukan denyut nadi rakyat. Saya harus memasuki pemikiran kaum terpelajar.

Saya harus menemukan keadilan di relung rakyat banyak. Bukan di ruang pengadilan yang sunyi.

Dengan semangat itulah saya kemudian memasuki pengadilan. Entah kalah atau menang bagi saya tidak penting lagi.

Namun saya tidak boleh “menyerah” dan saya harus terus “bertarung'.

Sekali lagi waktu yang akan menjawabnya.