JANGAN
MENYERAH
Ketika
nama saya diumumkan sebagai Advokat dari petinggi negeri di media
online, reaksi bermunculan. Sebagian berpendapat, profesi advokat
memang mengharuskan “memberikan bantuan hukum” kepada siapapun.
Sebagian ada yang berpendapat lain. Mulai mempertanyakan “sikap
kritis” saya. Ataupun mulai meragukan sikap saya.
Saya
menghormati berbagai pendapat. Pendapat yang muncul tentu saja
dilatarbelakangi berbagai faktor. Baik karena melihat berbagai
tingkah laku advokat itu sendiri yang sering dilihat di berbagai
tayangan televisi, pandangan maupun pengalaman pribadi. Semua sah
memberikan penilaian.
Tapi
memberikan penilaian yang keliru terhadap semua advokat memang harus
diluruskan. Selain akan memberikan dampak yang buruk yang berangkat
dari asumsi semata, kita juga harus melihat secara utuh dan lebih
komprehensif sehingga asumsi yang dibangun dapat dinilai secara
jernih.
Saya
menyadari berbagai penilaian juga dipengaruhi pengetahuan tentang
profesi advokat itu sendiri. Masih banyak pemahaman dan informasi
yang salah menempatkan persoalan sehingga profesi advokat kemudian
“merasakan getahnya”. Advokat kemudian dituding “melindungi”
kejahatan. Bahkan yang lebih menyedihkan, advokat disamakan dengan
klien.
Namun
sebelum memberikan penilaian tersendiri ada baiknya kita sedikit
mengenal sehingga informasi advokat dapat dilihat secara utuh.
Obyektif
Saya
tertarik dengan pemikiran yang disampaikan Navarim Karim, petinggi
perguruan tinggi di Jambi. “Saya yakin bung Musri akan menjadi
pengacara yang obyektif”. Ungkapan yang disampaikan merupakan
bentuk penghormatan dan kontrol Navarim Karim itu sendiri kepada
saya. Ungkapan itu harus saya syukuri.
Namun
memberikan pemahaman kepada khayalak apakah seorang advokat akan
obyektif tentu akan sulit. Selain karena memang persepsi publik
“advokat disamakan” dengan klien, persepsi publik terhadap para
pelaku memang sudah dibentuk.
Dari
kesempatan ini saya mengutip kata-kata penting didalam UU Advokat.
“Advokat tidak dapat disamakan dengan klien”. Kalimat lengkapnya
menyebutkan “Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam
membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
Makna
kata-kata ini memang harus disampaikan. Selain “memastikan”
profesi advokat tidak menjadi bagian dari tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku, fungsi advokat itu sendiri juga “menegakkan
hukum” dengan “itikad baik”. Dalam rumusan kalimat “iktikad
baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan
berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.
Dengan
penjelasan ini, maka diharapkan, profesi advokat dapat menjadi bagian
dari tegaknya hukum dan terjaminnya pelaksanaan HAM.
Lantas
apakah saya bisa bersikap obyektif.
Dalam
perjalanan saya, saat putusan dijatuhkan kepada terdakwa, saya
mempelajari pertimbangan hukum hakim. Apabila putusan didasarkan
kepada pertimbangan yang baik, malah justru saya “mendesak”
kepada terdakwa agar menerima putusan dan tidak perlu mengajukan
banding.
Dengan
memberikan alasan dan argumentasi hukum, biasanya terdakwa bersedia
mengikuti nasehat hukum saya.
Dalam
catatan saya, malah lebih banyak perkara yang tidak diajukan banding
daripada mengajukan banding atau kasasi.
Sehingga
saya tetap mengedepankan sikap obyektif, melihat fakta persidangan
daripada mengajukan banding/kasasi tapi tidak mempunyai dasar hukum.
Konflik
interest
Bagaimana
dengan praktek yang terjadi selama ini.
Saya
juga tidak menutup mata terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi.
Dalam
catatan saya, dalam periode 4 tahun terakhir, di Jambi sendiri masih
banyak laporan yang masuk ke PERADI terhadap berbagai penyimpangan
yang dilakukan. Laporan yang masuk telah diproses dan mekanisme
tindakan telah dilakukan oleh PERADI itu sendiri.
Di
tingkat nasional sendiri, kita masih ingat ketika Todung Mulya Lubis
sendiri kemudian “diberhentikan” berdasarkan keputusan Dewan
Kehormatan DPC Jakarta Selatan. Putusan itu geger. Selain Todung
Mulya Lubis dalam kiprah nasional, ada tuduhan “Todung Mulya Lubis”
berselisih pahama dengan pengacara lawan.
Di
kalangan internal PERADI sendiri, keputusan pemberhentian terhadap
Todung Mulya Lubis memang diakui sebagai kesalahan fatal.
Dari
berbagai sumber disebutkan, kasus ini adalah buntut dari gugatan
Sugar Group Companies terhadap Grup Salim yang diajukan ke Pengadilan
Negeri Lampung pada 2006. Saat itu Hotman tampil sebagai pengacara
Gunawan Yusuf, bos Makindo Group, pemilik Sugar Group. Sementara
Todung mewakili Group Salim.
Di
Pengadilan inilah Hotman berkali-kali mempersoalkan status Todung
yang pernah bergabung dalam tim bantuan hukum Komite Kebijakan Sektor
Keuangan.
April
2002 Departemen Keuangan memang meminta Todung melakukan audit hukum
terhadap ratusan perusahaan “pasien” Badan Penyehatan Perbankan
Nasional. Pekerjaan besar itu dilakukan Mulya beserta sejumlah
pengacara yakni Arief T. Surowidjojo, Frans Hendra Winarta, dan Abdul
Hakim Garuda Nusantara. BPPN sendiri mengutus dua ahli hukumnya,
Robertus Bilitea dan Taufik Ma’roef, untuk membantu. Tim yang
bekerja di bawah komando Arief T. Surowidjojo ini bertugas
Maret-Desember 2002. “Tujuannya untuk memastikan hak dan kewajiban
masing-masing obligor dalam perjanjian itu.
Arief,
yang mendapat jatah mengaudit Salim Group, menemukan ada dugaan
pelanggaran yang dilakukan perusahaan milik Liem Sioe Liong itu.
Semua laporan tim bantuan hukum itu bersifat rahasia. “Hanya BPPN
dan kami yang memilikinya,” kata Todung. Tapi, belakangan Salim
kemudian menyelesaikan semua kewajibannya. Pada Maret 2004 Salim
mendapat surat keterangan lunas dari Badan Penyehatan.
Dengan
bekal “amunisi” status Todung yang pernah mengaudit para obligor
plus dokumen hasil kerja tim hukum itu, Hotman “memborbardir”
Mulya di pengadilan. Hotman menuntut Todung mengundurkan diri sebagai
pengacara Salim. Todung sudah dianggap konflik interes dan melakukan
kebohongan.
Menurut
Hotman, saat menjadi tim hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan,
Mulya menyatakan Salim Group melanggar Master of Settlement and
Acquisition Agreement – kesepakatan penyerahan aset obligor kakap
kepada pemerintah. Salim misalnya dituding tidak menghapus seluruh
liens (utang dan jaminan) kepada pihak ke tiga.
Soal
menjadi pembela Salim, Todung menyatakan ada perjanjian pihaknya
dengan Badan Penyehatan yang menyatakan dirinya tidak akan melakukan
sesuatu yang bisa menimbulkan benturan kepentingan sepanjang dua
tahun usai mengaudit aset obligor itu. Todung sendiri menjadi
pengacara Salim pada 2006, persis dua tahun setelah audit terhadap
aset obligor rampung.
Sudah
tahu hasil legal audit terhadap kekayaan Salim Group terjadi
pelanggaran, tetapi Todung berkelit bahwa hasil legal audit tersebut
tidak terjadi pelanggaran serta pendapat hukum terhadap kasus
tersebut dapat berubah sewaktu – waktu. Pernyataan seperti itu
sunggu tidak masuk akal. Sejak kapan pendapat hukum bersifat dinamis.
Jika hukum bersifat dinamis, maka keadilan tidak akan bisa
ditegakkan.
Sudah
terpampang jelas bahwa tindakan yang telah dilakukan jelas melanggar
Kode Etik Advokat Indonesia ( KEAI ) Pasal 3 huruf a, b dan c serta
Pasal 4 huruf g dan j. Selain itu, Todung mulya Lubis jelas tidak
melaksanakan KEAI Pasal 3 huruf g. Todung dianggap mempunyai konflk
interest. Padahal rumusan didalam UU Advokat menegaskan “Advokat
yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus
mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan
tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam
putusannya, PERADI kemudian menegaskan “Pendapat hukum
seorang pengacara harus konsisten. Sebagai pengacara yang pernah
diminta negara mengaudit Salim dan pernah menyatakan Salim bersalah,
tidak patut Todung berbalik menjadi pengacara Salim.
Dengan
memberikan contoh yang telah disampaikan, apakah saya akan terlibat
“konflik interest” ?
Ukuran
mudah. Melihat kasus yang melilit petinggi negeri, maka harusnya
dilihat apakah saya pernah bicara kasus Pramuka dan Perkempinas ?.
Apakah saya pernah memberikan pertimbangan hukum dalam kasus ini ?
Atau apakah saya pernah memberikan pendapat dalam kasus ini.
Dengan
demikian, maka saya harus “memastikan” tidak terlibat konflik
interest dalam kasus ini.
Tidak
membeda-bedakan
Dalam
rumusan filosofi UU Advokat, Advokat sebagai profesi yang
bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum demi
terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum.
Selain
itu “Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang
membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama,
politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
Dengan
dua nilai itulah, maka saya kemudian menjalankan tugas sebagai
advokat dan harus tetap “memastikan” agar tidak terjebak “konflik
interest” dan tetap bersikap obyektif.
Tentu
saja hal ini tidak mudah.
Ketika
tahun 1998 saya kemudian memutuskan untuk terjun ke dunia hukum,
sebagian kalangan justru pesimis. Ada ketakutan, saya kemudian
“mengikuti arus' dan terjebak dalam dunia hukum.
Saya
menghormati pemikiran itu. Selain memang dunia hukum penuh dengan
misteri, tipu-tipu, suap dan kekuasaan, kekuatan yang merubah dunia
hukum tidak mungkin bisa saya lakukan.
Namun
saya percaya. Indonesia ke depan sedang menata dan saya harus ikut
“merasakan” dunia hukum semakin baik.
Waktu
kemudian berjalan.
Saya
kemudian “mempersiapkan diri” memasuki dunia hukum. Berbagai ilmu
dasar hukum dikuasai. Strategi dan skill di persidangan terus menerus
diasah. Perkembangan ilmu hukum terus diikuti.
Dalam
perjalanan itulah saya menemukan “orang” yang juga gelisah dan
ingin “memperbaiki keadaan”.
Saya
kemudian “menemukan teman”. Bersama-sama dengan komponen hukum
lainnya (kepolisian, kejaksaan dan Pengadilan), kami berdiskusi dan
terus menerus untuk memperbaiki hukum.
Di
tingkat kepolisian, saya terus menerus mendorong terhadap kasus-kasus
berat harus didampingi advokat. Di tingkat kejaksaan, saya selalu
mengajak agar memberikan hukuman yang pantas terhadap terdakwa
apabila mengakui dan tidak mempersulit pemeriksaan.
Bahkan
sebelum membuat tuntutan, saya mengedepankan hati nurani dan mengetuk
hati jaksa penuntut umum agar memberikan yang pantas kepada terdakwa.
Dan
alhamdulilah, 16 tahun saya sudah menjalaninya. Saya masih tetap
berfikir dan selalu “gelisah” terhadap praktek ketidakadilan.
Sehingga
dalam persidangan yang hadiri, saya merasakan “dunia hukum”
adalah “pertarungan” pemikiran dan terus menerus “mempersoalkan
ketidakadilan'.
Saya
“merasa” tidak tenggelam dalam hiruk pikuk dunia hukum.
Memang
saya tidak bisa merubahnya. Namun saya “mencoba” untuk mewarnai
persidangan.
Memastikan
itu semuanya harus saya lakukan, apabila saya harus selalu dekat
dengan mereka yang diperlakukan tidak adil.
Saya
harus diluar pengadilan. Saya harus di jalanan. Saya harus menemukan
denyut nadi rakyat. Saya harus memasuki pemikiran kaum terpelajar.
Saya
harus menemukan keadilan di relung rakyat banyak. Bukan di ruang
pengadilan yang sunyi.
Dengan
semangat itulah saya kemudian memasuki pengadilan. Entah kalah atau
menang bagi saya tidak penting lagi.
Namun
saya tidak boleh “menyerah” dan saya harus terus “bertarung'.
Sekali
lagi waktu yang akan menjawabnya.