22 November 2020

opini musri nauli : Pemimpin Betuah

 



Ketika Abdullah Sani (sering dipanggil Yai Sani) menyebutkan berbagai seloko seperti “"Seciap bak ayam. Sedenting bak logam. Adat bersendi syara’. Syara’ bersendikan kitabullah. Syara’ mengatokan, adat memakai", yang kemudian ditutup didalam pidato penutupannya (Closing statement), “Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”, tiba-tiba saya tersentak. Kaget. Sekaligus kagum dengan kelihaian Yai Sani membangkitkan pengetahuan Melayu Jambi. 


Tidak lupa kemudian Yai Sani menambahkan dengan filosofi Jawa “gemah repah. Loh Jinawi. Tata tentrem kerto Raharjo”. 


Berbagai seloko Jambi kemudian dijelaskan dengan filosofi Jambi sekaligus membuktikan Yai Sani bukanlah sekedar tokoh politik semata. 


Kematangan Yai Sani didalam mengucapkan sekali lagi membuktikan, Yai Sani sudah lama menjadi bagian dari masyarakat Melayu Jambi. Yai Sani tidak berjarak sekaligus mampu menggali nilai-nilai yang agung yang menjadi pedoman, tuntutan dan filosofi masyarakat Melayu Jambi. 


Namun disisi lain dengan mengucapkan Filosofi “gemah repah. Loh Jinawi. Tata tentrem kerto Raharjo” sekaligus juga membuktikan, Yai Sani yang berasal dari Jawa yang paham alam cosmopolitan Jawa. Termasuk memandang alam dan cara pandangnya terhadap Jambi. 


Tidak salah kemudian Yai Sani mendapatkan tempat di masyarakat Jambi dan masyarakat Jawa. Latar belakang ulama, dosen dan birokrat membuat Yai Sani begitu luwes bergaul dengan siapapun. Termasuk juga menanamkan budi pekerti ditengah masyarakat. 


Sebelum memahami makna tersirat dari berbagai seloko dan fiolosofi masyarakat Jawa, alangkah baiknya kita sejenak memahami makna yang telah disampaikan oleh Yai Sani. 


Seloko "Seciap bak ayam. Sedenting bak logam” adalah ungkapan kebersamaan dalam satu rumpun masyarakat Melayu Jambi. 


Ditengah masyarakat seloko ini dapat dilihat dari ujaran seperti “Ke langit sama dikadah. Ke bumi sama dikutungkan. Darah samo dikacau, daging samo dikimpal”. Atau juga sering disebut ”ada samo dimakan. Dak ado samo ditelan”. 


Sebagai ikrar kesetiaan “sepenasib-sepenanggungan” sering disampaikan “ke bukit samo mendaki. Ke lurah samo menurun”. “Seiring-sejalan


Di Marga Batang Asai Tengah dikenal Bak aur dengan tebing, tebing sayang ke aur, aur sayang dek tebing, tebing runtuh aur tebawo”.  


Di Marga Kasang Melintang Desa Sungai Baung dikenal “karang Setio” dengan Seloko Sebingkah Tanah. Sekaki Payung. Ke aek Samo-samo di perikan. Ke darat samo-samo di paumo”. 


Di Marga Sungai Tenang Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai. Ditandai dengan “Ke langit sama dikadah Ke bumi sama dikutungkan, Darah samo dikacau, daging samo dikimpal, Kehilir serentak dayung, kemudik sehentak satang, Kebukit samo mendaki, kelurah samo menurun, Tegak sama tinggi, duduk sama rendah, serumpun bak serai, seinduk bak ayam, Tolong menolong bagai aur dengan tebing, Tudung menudung bagai daun sirih, samo-samo berbenteng dado berkuto betis beranjau, tunjuk menunjuk menghadapi musuh, Tidak boleh pepat diluar rencong didalam, tidak boleh budi menyuruk akal merangkak, Menggunting dalam lipatan, tidak boleh membohong kawan seiring, harus sesopan semalu, Dapat samo belabo hilang samo merugi. Samo makan tanah bila telungkup, samo minum air bila telentang. 


Di Bungo dikenal hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicecah. Bak “saluko adat Berat samo dipikul ringan samo dijinjing, kebukit samo mendaki kelurah samo menurun.  ado samo dimakan idak samo dicari, seciap bak ayam. sedencing bak besi, kok malang samo merugi.  bak balado samo mendapat. serta terendam samo basah.  terampai samo kering.


Kesemuanya melambangkan kesatuan masyarakat antara satu dengan yang lain. Tidak terpisahkan. Bak “serumpun”. 


Ikrar ini juga dapat dilihat dari berbagai simbol-simbol lambing kabupaten/Kota. Lihatlah Di Kabupaten Sarolangun kemudian berikrar “"Sepucuk Adat Serumpun Pseko". Kabupaten Bungo kemudian ditandai dengan "Langkah Serentak Limbai Seayun". Kabupaten Tebo “Bumi Serentak Galah Serengkuh Dayung”. Kabupaten Batanghari “Serentak Bak Regam”. Kabupaten Muara Jambi “Sailun Salimbai”. Kabupaten Tanjung Jabung Timur “Sepucuk Nipah Serumpun Nibung. Kabupaten Tanjung Jabung Barat “Serengkuh Dayung Serentak Ketujuan”. Kotamadya Sungai Penuh “Sahalun Suhak Salatuh Bdei”. 


Sedangkan Kabupaten Kerinci mengusung Motto “Sakti Alam Kerinci”. Kabupaten Merangin “Tali Undang Tambang Teliti. Dan Kotamadya Jambi “Tanah Pilih Pesako Betuah. Keseluruhan Kabupaten di Jambi kemudian mengilir ke Sungai Batanghari yang kemudian dikenal “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah’. Motto yang kemudian terdapat di Lambang Provinsi Jambi.


Sedangkan Seloko seperti Adat bersendi syara’. Syara’ bersendikan kitabullah. Syara’ mengatokan, adat memakai"  adalah menempatkan Hukum Agama sebagai padanan hukum adat. 


Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Namun apabila hukum adat diterapkan maka dapat dilaksanakan. 


Hukum Agama sebagai inspirasi dan menjadi sumber penegakkan hukum adat sering juga disebutkan “Tali Undang Tambang Teliti”. Seloko “Tali Undang Tambang Teliti” kemudian menempatkan Hukum Adat kemudian menyaring berdasarkan Hukum Agama. Sehingga Hukum adat yang kemudian berlaku merupakan sumber hukum yang digunakan ditengah masyarakat. 


Seloko “Tali Undang Tambang Teliti”, terpatri jelas di panji Kabupaten Merangin. 


Ketika ada kebersamaan, senasib sepenanggungan, kemudian menerapkan hukum adat yang tidak bertentangan dengan hukum agama, maka kemudian membuat bumi Jambi menjadi sejahtera, aman, Makmur dan dilindungi oleh Tuhan yang Maha esa. 


Sehingga ketika Yai Sani kemudian ditutup didalam pidato penutupannya (Closing statement), “Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur” adalah lambing dari alam kemudian merestui terhadap cara kepemimpinan di Jambi. 


Makna “Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur” tepat dalam perumpamaan filosofi Jawa, “gemah repah. Loh Jinawi. Tata tentrem kerto Raharjo”. 


Sebagai ulama, Yai Sani kemudian menerjemahkan seluruh seloko Melayu Jambi Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur” dan filosofi Jawa, “gemah repah. Loh Jinawi. Tata tentrem kerto Raharjo” dalam makna Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur.


Sehingga lengkaplah sudah kapasitas Yai Sani. Menguasai Hukum Adat Jambi, memahami filosofi Jawa. Dan tidak lupa mengutip ayat-ayat dalam Al Qur’an untuk menerjamahkan gagasan. 


Tidak salah kemudian Al Haris mengajak Yai Sani sebagai pasangan calon wakil Gubernur Jambi 2024. 


Sebagai orang dusun, Al Haris tentu saja mempunyai pengetahuan tentang Jambi. Sehingga dengan menempatkan Yai Sani sebagai paslon menyebabkan keduanya paham terhadap dinamika masyarakat Jambi. Termasuk juga cara pandang dan upaya penyelesaian. 


Modal sosial ini tidak mungkin ditemukan oleh kandidat lain. Selain keduanya sudah lama di Jambi maka keduanya diharapkan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi ditengah masyarakat. Termasuk juga mempersiapkan berbagai program yang tepat sasaran. 


Pencarian Terkait : opini musri nauli, musri nauli, hukum adat jambi, jambi, jambi dalam hukum