Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena asas hukum merupakan dasar lahirnya peraturan hukum.
Asas hukum merupakan ratio legisnya peraturan hukum. asas hukum (rechtsbeginsel) adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret (hukum positif) dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret.
Didalam Hukum Tanah Melayu Jambi dikenal asas-asas Hukum Tanah Melayu Jambi. Asas-asas ini diatur didalam UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) dan ditemukan baik didalam melihat seloko yang mengatur tentang Hukum Tanah Melayu Jambi maupun dalam praktek-praktek yang dilakukan.
Asas Pengakuan Hak
Asas ini mengakui terhadap hak komunal yang didapatkan melalui prosesi hukum Tanah Melayu Jambi. Didalam Pasal 3 UUPA disebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Asas ini berangkat dari penghormatan prosesi mendapatkan tanah dan penanda tanah.
Prosesi mendapatkan tanah dikenal “pamit ke penghulu. Prosesi dikenal seperti Setawar dingin seperti “rembug”, “nasi putih air jernih”, “betahun bersamo, Rapat kenduri, Melambas, Belukar tuo, Empang krenggong, Nasi putih air jernih, Kelapp Sekok, Selemak Semanis, “harta berat ditinggal, harta ringan dibawa. Selain penanda tanah seperti “takuk pohon”, “tuki”, “sak Sangkut” , “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”, Lambas berbanjar didaerah ulu Batanghari.
Di Marga Batang Asai Tengah dikenal pegang pakai. Di Desa Paniban Baru dikenal tatacara membuka hutan yang dimulai dari “Betaun bersamo, Rapat kenduri, melambas, Nasi putih Air jernih, Kelapa sekok, selemak semanis. Di Marga Serampas dikenal tanah ajun dan tanah arah.
Bagi masyarakat desa Renah Pelaan (Merangin), untuk membuka lahan pertanian baru, biasanya mereka meminta izin terlebih dahulu yang dikenal “puji perago”. Di Marga Sumay dikenal “Maro ladang/Maro Banjara”, “Behumo rimbo”, “behumo Ronah”. Prosesi yang dijalani berupa “lambas”, sak sangkut”, “Banjar bertindih galang”, “Bidang’, “pemarasan hutan”, “ Manugal-beselang”, Menanami”, “nyisip”, dan “beumo”.
Di Marga Batin II Ulu, Masyarakat menyebutkan istilah “kebun” untuk tanah yang sudah dibuka dan ditanami. Utamanya karet. Sedangkan terhadap tanah yang telah dibuka namun belum ditanami dikenal dengan istilah “sesap” atau “belukar”.
Di Marga Pelepat dikenal membuka hutan yang disebutkan didalam “mati tanah. buat tanaman”. Di Desa Baru Pelepat, Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau dikenal “tando kayu batakuk lopang, tando kulik kaliki aka”, “harus sompak, kompak, setumpak”, “umpang boleh disisip”, “bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali”, “lapuk pua jalipung tumbuh”, “kadarek babungo kayu, kayak babungo pasir”, “tanah lombang, umput layu”. Di Marga Pemayung Ilir terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman”.
Didaerah hilir seperti Di Desa Sungai Bungur, Desa Sponjen, Desa Sogo, Desa Sungai Beras dikenal istilah “pancung alas”. “Pancung alas” atau dengan penamaan lain adalah setiap kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa.
Diluar dari prosesi diatas maka dikenal “beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”. Terhadap kesalahan kemudian dijatuhi sanksi. Sedangkan apabila dijatuhi sanksi namun tidak dipatuhi dikenal “Plali”. Ditandai dengan Seloko ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo.
Selain itu pengakuan hak dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Atau sejarah pembukaan lahan yang umumnya diketahui oleh masyarakat (cencang latih) dan jambu keloko (tanaman yang ada dilahan tersebut) atau bedah nang berantai (saluran air persawahan) merupakan bukti legalitas klaim Selain itu juga dikenal Dendang kayu betakuk baris. Kayu belepang, takuk kayu, atau Dendang hutan besawa sulo.
Di Marga Pemayung Ilir terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman
Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”, “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” maka Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi sanksi adat. Bahkan hak milik terhadap tanah kemudian hapus.
Asas Tanah Terlantar
Apabila tanah yang kemudian tidak dirawat maka dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar. Kategori tanah terlantar kemudian dikenal seperti (1) Apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifatnya. (2).Apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. (3) Tanah tersebut tidak dipelihara dengan baik. (Pasal 3 dan pasal 4 PP No. 36 Tahun 1998 junto PP No. 11 Tahun 2010).
Dengan demikian apabila tanah kemudian tidak dirawat maka terhadap tanahnya menjadi hilang. Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat.
Di Marga Tenang dikenal “sesap rendah jerami tinggi”. Sedangkan di Marga Sumay dikenal “sesap rendah tunggul pemarasan”. Di Marga Pratin Tuo dikenal istilah “perimbun.
Di Marga Pelepat dikenal istilah “Mati tanah. Buat tanaman”. Di Marga Batang Asai Tengah dikenal “umbo rimbo”, “umo belukar tuo”, “uma belukar mudo dan “umo sesap.
Mahkamah Agung berdasarkan Yurisprudensi No. 329 K/Sip/1957 tanggal 24 September 1958 kemudian menyebutkan “di Tapanuli Selatan apabila sebidang tanah yang diperoleh secara merimba, maka hak atas tanah dapat dianggap dilepaskan dan tanah itu oleh Kepala Persekutuan kampong dapat diberikan kepada orang lain.
Begitu juga Yurusprudensi Mahkamah Agung Nomor 59 K/Sip/1958 tanggal 7 Februari 1959 kemudian menyebutkan “menurut adat Karo sebidang tanah “kesian” yaitu sebidang tanah kosong yang letaknya dalam kampong bisa menjadi hak milik perseorangan setelah tanah itu diusahai secara intensif oleh seorang penduduk kampong itu.
Putusan Mahkamah Agung No. 1192 K/Sip/1973 Tanggal 27 Maret 1975 menyebutkan “Menurut peraturan adat setempat, hak semula dari seseorang atas tanah usahanya gugur apabiia ia telah cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung untuk mengerjakannya, tetapi teguran itu tidak diindahkannya; dalam hal ini bolehlah tanah itu oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung diberikan kepada orang lain yang memerlukannya.
Putusan Mahkamah Agung No. 590 K/Sip/1974 tanggal 3 Desember 1975 menyebutkan “Menurut hukum, baik hukum adat maupun ketentuan-ketentuan U.U.P.A. tahun 1960 hapusnya hak atas tanah adalah antara lain karena diterlantarkan.
Data dari berbagai sumber