Di sebuah ruang tamu sederhana di Jakarta, aroma kopi tubruk menyeruak. Hari itu, bukan hanya kemerdekaan yang dirayakan, tapi juga kenyataan pahit yang dihadapi. Lima tokoh bangsa duduk melingkar: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan Agus Salim. Mata mereka menatap satu sama lain, penuh gairah dan keprihatinan. Topik utama mereka adalah satu: mengapa rakyat Indonesia, setelah merdeka, masih hidup dalam kemiskinan?
Soekarno: Sang Orator yang Berapi-api
Soekarno membuka perdebatan dengan suara menggelegar, penuh semangat yang membakar. "Saudara-saudaraku! Kemerdekaan ini adalah jembatan emas! Jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur!" Ucapnya sambil mengepalkan tangan. "Kita harus membangun jiwa rakyat! Mentalitas bangsa harus kita ubah! Dari mental inlander, menjadi mental pejuang! Kita harus bersatu, bergotong royong, untuk mencapai cita-cita ini! Kekayaan alam kita melimpah, dan itu adalah modal utama kita!"
Mohammad Hatta: Sang Ekonom yang Pragmatis
Hatta, dengan kacamata khasnya dan gaya bicara yang tenang namun tajam, membalas. "Bung Karno, semangat saja tidak cukup." Hatta menegaskan dengan nada logis. "Persatuan adalah modal, itu benar. Tapi tanpa rencana ekonomi yang matang, kita hanya akan jalan di tempat. Kita harus fokus pada pembangunan koperasi! Koperasi adalah soko guru ekonomi kita. Dengan koperasi, rakyat bisa mengelola sumber daya mereka sendiri, tanpa harus bergantung pada kapitalisme yang eksploitatif. Kita harus membangun fondasi ekonomi yang kuat dari desa, dari rakyat paling bawah."
Sutan Sjahrir: Sang Idealis yang Berwawasan Luas
Sjahrir, yang tampak lebih muda dan tenang, menyela. "Rekan-rekan sekalian, kita tidak bisa hanya bicara tentang semangat dan ekonomi." Sjahrir berbicara dengan nada intelektual yang lembut. "Akar masalahnya lebih dalam. Penjajahan Belanda telah menancapkan sistem feodal dan paternalistik yang membuat rakyat terbelakang. Kita harus mencerdaskan rakyat! Pendidikan adalah kunci! Kita harus membangun sekolah-sekolah di setiap desa. Dengan pendidikan, rakyat akan memiliki kesadaran kritis, mereka akan tahu hak-hak mereka, dan mereka akan tahu bagaimana cara memajukan diri mereka sendiri."
Tan Malaka: Sang Revolusioner yang Radikal
Tan Malaka, yang berpenampilan sederhana namun tatapannya tajam, mendengarkan dengan seksama sebelum akhirnya berbicara. "Saudara-saudara! Semua yang kalian katakan ada benarnya, tapi kurang radikal!" Suaranya berat dan penuh dengan keyakinan yang membara. "Pendidikan, koperasi, dan persatuan itu penting, tapi semua itu tidak akan berhasil jika alat-alat produksi masih dikuasai oleh segelintir elit dan feodal. Kita harus melakukan revolusi total! Tanah, pabrik, dan sumber daya alam harus diambil alih oleh rakyat! Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat! Hanya dengan sistem sosialis-komunis yang sejati, kita bisa menghapus kemiskinan dan ketidakadilan!"
Haji Agus Salim: Sang Diplomat Ulung yang Bijaksana
Agus Salim, dengan janggut putih dan sorot mata yang penuh kearifan, menghela napas panjang sebelum berbicara. "Maafkan saya, Saudara-saudara. Saya kira kita lupa satu hal. Kita tidak bisa melupakan moral dan etika." Agus Salim menasihati dengan suara lembut dan bijaksana. "Kemiskinan bukan hanya masalah ekonomi. Ini adalah masalah moral. Kekuasaan dan kekayaan sering kali membuat manusia buta. Pemimpin harus menjadi teladan. Kita harus mengajarkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan pengabdian. Tanpa pemimpin yang berakhlak, semua rencana kita akan sia-sia. Kemerdekaan harus disertai dengan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan rasa peduli yang tinggi kepada sesama."
Perdebatan ini berlanjut hingga malam larut. Kelima tokoh bangsa ini, dengan segala perbedaan pandangan mereka, memiliki satu tujuan yang sama: mewujudkan Indonesia yang makmur dan adil bagi seluruh rakyatnya. Masing-masing dari mereka memiliki jalan yang berbeda, namun semangat untuk membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan adalah semangat yang sama. Perdebatan ini menjadi cermin betapa kompleksnya masalah yang dihadapi bangsa Indonesia, bahkan sejak awal kemerdekaannya.