Padal pukul 00.20 malam, Ketika masih didepan laptop, mencari file yang dibutuhkan, Tiba-tiba sebuah gambar WA masuk. Sebuah ucapan dukacita. “KELUARGA BESAR AMAN WILAYAH BENGKULU. Mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya NAHADIN bin SATUN. Pejuang Masyarakat Adat”.
Waduh. Akupun tersentak. Benar-benar kaget. Nama yang sangat kukenal.
Teringat belasan tahun yang lalu. Saat itu masih nongkrong di Walhi Jambi. Mendapatkan kabar adanya penangkapan masyarakat yang menolak keberadaan perusahaan sawit.
Namun bukan hanya masyarakat yang ditangkap. Dua orang Staf Walhi Bengkulu. Dwi Nanto dan Firman.
Malam itu juga diputuskan. Aku berangkat. Dengan Direktur Walhi Jambi (alm Arief Munandar). Dengan menggunakan fasilitas mobil Feri Irawan (Mantan Direktur Walhi Jambi. Waktu itu masih Dewan Nasional. Semacam Parlemen tingkat nasional di Walhi).
Kami kemudian langsung ke Bengkulu. Waktu itu, beban psikologi terbayang di wajah Zenzi Suhadi (Direktur Walhi Bengkulu. Sekarang Direktur Walhi Nasional). Dengan beban begitu besar. Selain mengadvokasi masyarakat, ditangkapnya dua orang staf Walhi Bengkul menambah beban yang besar.
Setelah koordinasi di Bengkulu, kamipun meluncur ke Polda Bengkulu. Bertemu dengan masyarakat yang telah “diangkut” dari Seluma. Kabupatan Pemekaran Bengkulu Selatan. Sekitar satu jam perjalanan.
Namun bukan advokasi ataupun penangkapan yang menarik perhatian saya. Namun seorang pejuang rakyat yang termasuk ditangkap.
Pak Nahadin. Memiliki perawakan kekar dan berkulit gelap. Mencerminkan kekuatan ototnya. Meski pendiam, kalem dan lebih sering tersenyum, Pak Nahadin menunjukkan kekuatan luar biasa. Menunjukkan kekuatan otot
Pak Nahadin memilih cara yang unik dan tak terduga untuk melawan. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia memagut atau mengunci leher salah satu anggota polisi menggunakan tangannya.
Cengkeraman ini begitu kuat sehingga anggota polisi lain yang mencoba melepaskannya tidak berhasil.
Pertarungan tidak berhenti di situ. Bahkan saat para polisi beramai-ramai mengangkatnya ke dalam mobil truk, pegangan Pak Nahadin tidak terlepas sedikit pun.
Para polisi berjuang mati-matian untuk memasukkannya ke dalam mobil, namun pagutan di leher polisi tersebut tidak pernah terlepas, menunjukkan kekuatan dan keteguhan Pak Nahadin yang luar biasa. Aksi ini mengubah penangkapan menjadi sebuah pertarungan dramatis yang penuh dengan perlawanan fisik yang intens dan pantang menyerah.
Aksi ini mengubah penangkapan menjadi sebuah pertarungan dramatis yang diwarnai dengan perlawanan fisik yang tak kenal menyerah.
Kisah penangkapan dan cerita “memagut” dari Pak Nahadin menggambarkan kegigihan didalam menolak penangkapan.
Perlawanan yang tidak biasa ini membuatnya menonjol dan menjadi momen yang paling berkesan.
Mendengar cerita proses penangkapan Pak Nahadin, saya kemudian tertawa lepas. Dan ketika saya bertemu dengan seluruh masyarakat, cerita itu lebih seru diceritakan daripada proses penangkapan.
Sejak itu kekaguman saya lebih ditujukan kepada perjuangan dan konsistensi rakyat. Saya percaya. Mereka mempunyai “daya tarung” tersendiri. Dan itu lebih meyakini.
Ketika tanah dirampas maka bukan semata-mata hanya obyek yang bisa ditanami.
Tapi harga diri yang diinjak-injak. Sehingga cara perlawanan itu yang selalu menggelora dan sikap tarungnya.
Tidak salah kemudian ketika proses pendampingan hingga di persidangan, salah satu cerita dari Bengkulu dan kemudian disidangkan di Seluma begitu berbekas.
Dan kenangan itu lebih diingat daripada berbagai cerita yang lain.
Innalilahi, Pak nahadin.
Selamat jalan, pejuang rakyat.