PENANGANAN KASUS KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN DALAM PRAKTEK PERADILAN (1)
Pendahuluan
Menurut Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(2), Total luas hutan di Indonesia sebanyak 128 juta ha.
Terdiri dari hutan konservasi (Kawasan Hutan Suaka Alam-Kawasan Hutan Pelestarian Alam) seluas 27,4 juta ha. Hutan lindung seluas 29,7 juta ha. Hutan produksi terbatas 26,8 juta ha. Hutan produksi 29,3 juta ha. Dan luas hutan yang bisa dikonversi 12,9 juta ha.
Di Jambi sendiri, kawasan luas hutan mencapai 2.103.103. ha(3). Namun menurut data dari berbagai sumber, kawasan hutan yang masih berupa tutupan hutan tinggal 800 ribu ha - 1 juta ha (4)
Tema kerusakan ekosistem hutan menjadi perhatian praktisi hukum. Kepolisian Daerah Jambi mencatat 57 kasus kebakaran hutan dan lahan sepanjang tahun 2021. Hingga awal Juli 2021 sudah tercatat tiga kejadian (karhutla) yang ditangani penyidikannya dengan empat tersangka (5)
Sementara itu, hingga akhir tahun 2020, Kejaksaan Tinggi sebagai Jaksa Pengacara Negara mendapatkan kuasa substitusi dari Jaksa Agung yang kemudian bertindak untuk dan atas nama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah berhasil memenangkan gugatan Perdata kasus kebakaran Hutan di Jambi. Melawan PT. Agro Tumbuh Gemilang Abadi.
Secara sekilas, konsentrasi kerusakan ekosistem hukum justru terjadi akibat kebakaran hutan. Walaupun konsentrasi tidak dapat dilepaskan dari kebakaran hutan dan lahan akibat kebakaran 2015 dan 2019, namun kasus yang kemudian disidangkan di Pengadilan masih berkutat di karhutla. Bukan menjadi rujukan didalam makalah ini.
Sudah jamak diketahui, kebakaran massif tahun 2013, 2015 dan 2019 memberikan konsentrasi terhadap kasus-kasus kebakaran.
Namun membicarakan ekosistem hutan dalam praktek tidak dapat dipungkiri dari berbagai sudut. Salah satu yang menjadi perhatian adalah cara pandang dari praktisi hukum.
Cara pandang
Sebagai pernyataan politik dan ikrar komitmen sebagai negara hukum (rechtstaat), maka redaksi kata “rechtstaat” adalah bentuk negara (Pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi.
Para ahli kemudian merumuskan negara hukum adalah tindakan Pemerintah berdasarkan Undang-undang. Asas ini mengandung pengerti “wetmatigheid” yang merupakan jaminan atas tindakan pemerintah. Untuk mewujudkannya maka pembentukan Undang-undang yang dirancang harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik.
Istilah “Rechtstaat” melambangkan ciri dari dari Negara Eropa Kontinental. Dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl. Berbanding dengan “Rule of law” yang dikembangkan di negara Inggeris dan jajahannya.
Negara hukum (Rechtstaat) mencakup elemen penting yaitu Perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, Pemerintahan berdasarkan Undang-undang dan Peradilan tata usaha negara. Sedangkan Rule of law disebutkan sebagai supremacy of law, Equalitity before the law dan Due Process of law.
Dalam lapangan hukum pidana, asas “rechtstaat” ditandai dengan asas seperti “tiada pidana tanpa kesalahan”. Bandingkan dengan asas “rule of law’ yang mengenal “pertanggungjawaban tanpa kesalahan”.
Di lapangan hukum perdata, berbagai asas seperti “siapa yang dirugikan maka berhak untuk mengguggat” dibandingkan dengan asas “rule of law” yang mengenal “gugatan organisasi (legal standing). Berbagai regulasi seperti UU Kehutanan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau UU Konsumen mengenal “gugatan organisasi (legal standing)”.
Namun disisi lain, Indonesia juga mengenal sistem hukum Islam. Peradilan Agama yang khusus mengatur sengketa yang pemeluknya adalah beragama Islam diatur didalam UU No. 8 Tahun 18989.
Walaupun asas Legal standing (Rule of law) sudah menjadi pengetahuan jamak yang telah diatur didalam berbagai regulasi, namun pada prinsipnya Indonesia menganut prinsip sistem hukum Eropa Kontinental.
Kejahatan Sektor Kehutanan
Apabila menyimak berbagai regulasi, kejahatan sektor Kehutanan berupa seperti Penambangan terbuka di Hutan Lindung (Pasal 38 ayat (4), Merusak sarana hutan (Pasal 50 ayat (1), Menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 ayat (2), Menggunakan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 50 ayat (3) huruf a), Merambah hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf b), Penebangan pohon di sekitar sungai, mata air, waduk, danau atau pantai (Pasal 50 ayat (3) huruf c), Membakar hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf d), Menebang pohon tanpa izin (Pasal 50 ayat 3 huruf e), menadah hasil kejahatan Kehutanan (Pasal 50 ayat (3) huruf f), Explorasi tambang (Pasal 50 ayat (3) huruf g), membawa hasil hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf h), Menggembala ternak (Pasal 50 ayat (3) huruf i), Membawa alat berat (Pasal 50 ayat (3) huruf j), membawa peralatan menebang (Pasal 50 ayat (3) huruf k) dan membuang benda penyebab kebakaran atau membahayakan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf i).
Sekedar catatan, berdasarkan riset ICW dan Walestra tahun 2013, konsentrasi kasus kejahatan Kehutanan di Jambi dapat dilihat dari kasus.
Seperti CV. Sengkati Jaya dengan dengan terdakwa S dan kasus CV. Riau Mandiri dengan terdakwa M (6)
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jambi yang menyebutkan (a) Menyatakan Terdakwa S terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Turut serta membeli hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil secara tidak sah “.
Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jambi.
Begitu juga putusan terhadap CV. Riau Mandiri dengan terdakwa M didalam putusan menyebutkan “Menyatakan terdakwa M terbukti bersalah melakukan tindak pidana: “Dengan sengaja mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan [SKSHH] secara bersama-sama “ berupa kayu gergajian/olahan sebanyak 11.387 keping = 233,9286 M3 jenis kelompok meranti sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat [3] huruf h jo pasal 78 ayat [7] UU RI Nomor : 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo pasal 55 ayat [1] ke.1 KUHPidana”.
Apabila kita telisik, berdasarkan Hasil Riset Kejahatan Korporasi di sektor Kehutanan, maka menarik untuk dilihat lebih jauh.
Didalam pertimbangannya, Hakim sama sekali kurang melihat pertanggungjawaban korporasi. Padahal menarik pertanggungjawaban korporasi adalah salah satu perkembangan didalam sistem hukum Anglo Saxon.
Sehingga kurang tepat meminta pertanggungjawaban pribadi (naturalijk persoon) justru mengaburkan pertanggungjawaban korporasi (rechtpersoon) dalam kejahatan sektor Kehutanan.
Berbeda dengan hukum perdata yang sejak awal telah menempatkan badan hukum sebagai subyek hukum perdata selain manusia, awalnya hukum pidana masih menempatkan manusia sebagai pembuat tindak pidana.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Namun pandangan white collar crime yang difokuskan pada kejahatan korporasi telah menumbangkan pandangan para ahli hukum yang menyatakan bahwa hanya manusia saja yang dapat menjadi pembuat tindak pidana.
Berbicara mengenai pembuat tindak pidana, tidak dapat dipisahkan dari unsur kesalahan sebagai syarat subyektif dalam pemidanaan. Berdasarkan pengertian tindak pidana yang disampaikan oleh Simon “kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab” dan van Hamel “kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan” , unsur kesalahan hanya dapat dimiliki oleh manusia sebagai subyek tindak pidana.
Lebih lanjut korporasi dipandang tidak dapat menjadi pembuat tindak pidana karena korporasi tidak memiliki unsur kesalahan. Oleh karena itu korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya. Hal ini sesuai dengan adigium actus non facit reum, nisi mens sit rea atau tidak pidana tanpa kesalahan.
Dengan demikian maka didalam pertimbangan yang mengabaikan korporasi yang tidak diminta pertanggungjawaban justru meminggirkan semangat pemberantasan sektor Kehutanan.
Kesalahan korporasi telah menjadi bagian tanggungjawab yang kolektif dari para pengurus korporasi.
Kesalahan ditandai dengan kehendak bersama dari sebagaian besar pengurus korporasi atau pengetahuan dan kehendak bersama dari individu-individu yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.
Korporasi atau badan hukum dalam hukum perdata merupakan manusia yang diciptakan oleh hukum yang terdiri atas kumpulan individu. Korporasi dapat melakukan perbuatan melalui individu-individu tersebut yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.
Menurut para Ahli seperti Suprapto, van Bemmelen dan Jan Remmelink kesalahan yang dibebankan kepada korporasi merupakan kesalahan yang dilakukan oleh para pengurus korporasi. Pandangan ini berasal dari pandangan hukum perdata.
Dalam hukum perdata terdapat perdebatan mengenai apakah badan hukum dapat melakukan perbuatan melawan hukum. Asas kepatutan dan keadilan dalam hukum perdata menerima pandangan yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pengurus badan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum tersebut karena pengurus tersebut bertindak atas hak dan kewenangan badan hukum tersebut. Dalam lingkup hukum pidana muncul perkembangan yang menyatakan bahwa tidak hanya kesalahan dari pengurus korporasi saja yang dapat dibebankan kepada korporasi tetapi juga kesalahan dari karyawan korporasi. Lebih lanjut hendaknya kesalahan pelaku fungsional lah yang dapat dibebankan kepada korporasi.
Sehingga korporasi sebagai subyek hukum ciptaan manusia memiliki kesalahan. Kesalahan tersebut adalah kesalahan kolektif yang berasal dari individu-individu baik yang merupakan pengurus ataupun karyawan korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi sehingga kesalahan tersebut dapat dianggap sebagai kesalahan dari korporasi. Oleh karena itu korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya seperti halnya manusia.
Menurut Mardjono Reksodiputro terdapat tiga bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi seperti (a) Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi lah yang bertanggungjawab secara pidana, (b) Korporasi sebagai pembuat tindak pidana namun pengurus korporasi lah yang bertanggungjawab secara pidana, (c) Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggungjawab secara pidana.
Sutan Remy Sjahdeini menambahkan satu bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Sehingga harus disebutkan sebagai tindak pidana korporasi memuat (a)Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi lah yang bertanggungjawab secara pidana, (b) Korporasi sebagai pembuat tindak pidana namun pengurus korporasi lah yang bertanggungjawab secara pidana, (c) Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggungjawab secara pidana, (4) Pengurus dan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan keduanya yang harus bertanggungjawab secara pidana.
Padahal melihat pasal 78 (14) Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan bahwa “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1),(2) dan ayat (3), apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ancaman pidana, masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan”.
Sehingga Pasal 78 ayat 14) UU Kehutanan mengakomodir terhadap pertanggungjawaban korporasi.
Pasal 78 ayat (14) UU Kehutanan juga harus dibaca sebagai syarat-syarat pemberatan dalam delik-delik kehutanan. Dari sudut pandang lain pidana memliki tujuan untuk mencegah terpidana (special prevention) dari kemungkinan mengulangi lagi tindak pidana dimasa datang dan mencegah masyarakat luas pada umumnya melakukan kejahatan serupa, di mana semua orientasi pemidanaan tersebut adalah dalam rangka menciptakan tata tertib hukum dalam masyarakat.
Dengan tidak digunakan Pasal 78 ayat (14) UU Kehutanan yang memuat pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek hukum maka menunjukkan adanya kesalahan pemahaman dari penegak hukum.
Sehingga tujuan pemidanaan dalam hukum kehutanan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Selain itu upaya hukum terhadap pelaku dan pengembalian kerugian negara tidak dapat di optimalkan.
Catatan Kaki
1. Disampaikan pada Seminar Nasional dan Konferensi Studi Regional (KSR) Komda Sumbagsel, PMKRI, Jambi, 16 September 2021
2. Statistik Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, 2015
3. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi
4. Istilah Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1 angka 2 UU No. 41 Tahun 1999).
Bandingkan dengan istilah kawasan hutan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999).
Sementara dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) yang dimaksud dengan tutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan
5. Webinar Isu Pencegahan Karhutla Provinsi Jambi, 5 Juli 2021
6. Laporan Penelitian Kejahatan Korporasi di Sektor Kehutanan Provinsi Jambi, ICW dan Walestra, 2013