Akhir-akhir ini, entah mengapa berbagai Kebijakan negara yang kemudian menimbulkan polemik apabila tidak mau dikatakan sebagai kegemparan. Berbagai kebijakan yang kemudian menunjukkan bagaimana negara memperlakukan rakyat.
Didalam ilmu logika berbagai Kebijakan yang menimbulkan kegemparan menggambarkan “sesat pikir”. Biasa juga disebutkan dengan kesalahan logika atau falasi (logical fallacy). Falasi adalah kesalahan dalam penalaran yang membuat suatu argumen terlihat benar padahal sebenarnya tidak. Jika kesalahan berpikir ini merasuki pembuat kebijakan. Dampaknya bisa sangat luas, membingungkan masyarakatdan bahkan merusak tatanan sosial.
Rekening Mandeg dan Transaksi Mencurigakan - Kesalahan Berpikir Post Hoc Ergo Propter Hoc. Pemerintah atau sistem perbankan melihat adanya rekening yang mandeg dan, dalam banyak kasus, mengaitkannya dengan "transaksi mencurigakan." Padahal, belum tentu rekening tersebut mandeg karena adanya transaksi ilegal.
Didalam praktek sehari-hari, Bank Sudah ditetapkan sebagai penyimpan uang. Sebagai penyimpan uang, tentu saja transaksi dilakukan apabila adanya kebutuhan yang membutuhkan uang besar. Misalnya tabungan untuk persiapan perkawinan. Menyimpan untuk persiapan Anak kuliah. Menyimpan uang untuk naik haji. Namun kemudian negara kemudian menganggap “rekening mencurigakan (pencucian uang)
Sesat pikir ini kemudian dikenal Post Hoc Ergo Propter Hoc. Biasa diartikan "setelah ini, maka karena ini." Ini adalah kesalahan berpikir di mana seseorang mengasumsikan bahwa jika suatu peristiwa terjadi setelah peristiwa lain, maka peristiwa pertama adalah penyebab peristiwa kedua.
Sehingga tidak salah kemudian “masyarakat menjadi panik”. Mereka kemudian menarik dana besar-besaran yang kemudian dapat menurunkan kepercayaan publik.
Tentang Royalti Musik terhadap salah satu tempat makanan. Negara kemudian menetapkan denda dan sanksi pidana sudah menunggu karena memutar musik tanpa membayar royalti.
Cara pandang ini kemudian dikenal False Dilemma (False Dichotomy). False Dilemma adalah kesalahan berpikir di mana suatu isu dipresentasikan hanya dengan dua pilihan ekstrem, padahal sebenarnya ada banyak pilihan lain.
Kebijakan royalti musik seharusnya memberikan penghargaan kepada musisi. Namun, penerapannya menciptakan dikotomi yang salah: "Bayar royalti untuk lagu, atau jangan putar sama sekali.”
Kebijakan ini tidak membedakan antara lagu komersial (yang memang bertujuan untuk hiburan dan bisnis) dengan lagu nasional (yang memiliki fungsi sosial dan patriotik). Seharusnya ada pilihan ketiga: "Lagu-lagu nasional memiliki pengecualian karena fungsinya sebagai milik publik dan ekspresi kebangsaan.
Dampaknya, dengan memaksakan dilema yang keliru ini, pemerintah secara tidak langsung memaksa masyarakat untuk memilih. Karena pembayaran dianggap memberatkan atau tidak relevan untuk lagu nasional, banyak pihak memilih opsi kedua - tidak memutar lagu-lagu tersebut. Ini adalah hasil dari sebuah kebijakan yang gagal mempertimbangkan konteks dan nilai-nilai sosial yang lebih luas.
Contoh ketiga adalah pemasangan bendera one piece. Tuduhan bahwa penggemar One Piece tidak nasionalis adalah gabungan dari dua falasi ini. Pemerintah atau pihak terkait membangun argumen berargumen anak muda menyukai budaya global. Melainkan membuat argumen yang dilebih-lebihkan: "Anak muda lebih suka anime daripada budaya sendiri, maka mereka tidak mencintai negara." Argumen yang sebenarnya ("menyukai anime") disederhanakan menjadi argumen palsu yang mudah diserang ("tidak nasionalis”).
Tuduhan ini didasarkan pada pengamatan yang sangat terbatas. Mereka melihat beberapa anak muda yang menyukai anime dan langsung menyimpulkan bahwa seluruh generasi muda Indonesia telah kehilangan rasa nasionalisme. Kesimpulan ini mengabaikan bukti yang jauh lebih besar dan kuat, seperti penuhnya stadion saat Timnas bertanding. Dukungan massal terhadap Tim Garuda adalah bukti yang jauh lebih representatif mengenai semangat kebangsaan yang sayangnya diabaikan.
Sesat pikir ini kemudian dikenal Straw Man dan Hasty Generalization. Straw Man adalah kesalahan di mana seseorang menyederhanakan, melebih-lebihkan, atau bahkan memutarbalikkan argumen lawan sehingga mudah untuk diserang.
Sedangkan Falasi Hasty Generalization adalah kesalahan di mana seseorang menarik kesimpulan umum dari sampel yang terlalu kecil atau tidak representatif. Tuduhan bahwa penggemar One Piece tidak nasionalis adalah gabungan dari dua falasi ini.
Negara Merampas Tanah Menganggur dilihat Tipe Sesat Pikir. Fenomena negara merampas tanah yang dianggap "menganggur" atau tidak produktif sering kali terjadi, di mana negara mengambil alih kepemilikan.
Sesat pikir ini terjadi ketika negara tidak berfokus pada legalitas kepemilikan tanah, melainkan pada karakter atau kondisi pemiliknya. Misalnya, negara menganggap pemilik tanah sebagai "tidak produktif," "pemalas," atau "spekulan," sehingga berhak mengambil alih tanah tersebut. Argumen ini tidak berdasar pada hukum kepemilikan yang sah, melainkan pada penghakiman moral terhadap pemiliknya. Padahal, kepemilikan tanah di Indonesia dijamin oleh hukum dan sertifikat, terlepas dari apakah tanah tersebut digunakan secara produktif atau tidak. Biasa dikenal Argumen Ad Hominem (Menyerang Pribadi, Bukan Argumen)
Selain itu juga menggambarkan Sesat Pikir Bandwagon (Mengikuti Mayoritas). Negara seringkali membenarkan tindakannya dengan mengklaim bahwa "mayoritas rakyat" atau "kepentingan umum" membutuhkan tanah tersebut. Klaim ini menciptakan tekanan sosial seolah-olah penolakan terhadap perampasan tanah adalah tindakan anti-pembangunan. Padahal, kebenaran suatu tindakan tidak ditentukan oleh jumlah orang yang setuju. Argumen ini sering kali digunakan untuk membungkam kritik dan menjustifikasi tindakan yang mungkin melanggar hak asasi manusia dan hak kepemilikan.
Sesat pikir negara juga dikenal False Dichotomy (Dikotomi Palsu). Sesat pikir ini terjadi ketika negara memaksakan pilihan yang sempit: "tanah digunakan untuk pembangunan atau dibiarkan menganggur." Argumen ini mengabaikan opsi lain yang mungkin, seperti negosiasi, kerja sama dengan pemilik tanah, atau kompensasi yang adil. Negara menempatkan situasi seolah-olah tidak ada jalan lain selain merampas tanah, padahal banyak cara yang bisa ditempuh untuk mencapai pembangunan tanpa melanggar hak warga.
Dengan demikian maka "sesat pikir negara" bukan sekadar masalah teknis. Melainkan masalah mendasar dalam cara berpikir para pembuat kebijakan. Baik itu melalui asumsi sebab-akibat yang keliru (Post Hoc), penyempitan pilihan yang tidak tepat (False Dilemma), atau serangan terhadap argumen yang direkayasa (Straw Man dan Hasty Generalization).
Kesalahan-kesalahan ini secara kolektif merusak kepercayaan publik dan menciptakan masalah baru. Dan menimbulkan ketidakkepercayaan publik terhadap negara.
Advokat. Tinggal di Jambi