30 Oktober 2021

opini musri nauli : Tanah Terlantar

 


Beberapa waktu yang lalu tepatnya tanggal 2 Februari 2021, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Penerbitan Kawasan dan Tanah Terlantar (PP Tanah Terlantar). 


Dengan diterbitkannya PP Tanah Terlantar maka kemudian mencabut PP Nomor 11 Tahun 2010. PP Nomor 11 Tahun 2010 juga telah mencabut PP Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. 

Semangat diterbitkannya PP Tanah Terlantar untuk memenuhi ketentuan Pasal 180 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Dan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. 


Apabila ditelisik, maka PP Tanah Terlantar kemudian menetapkan terhadap “setiap pemegang izin terhadap kawasan” atau “hak atas Tanah yang tidak dimanfaatkan” atau “Tanah yang telah terdaftar atau belum terdaftar yang sengaja tidak diusahakan”  maka “Obyek Tanah terlantar”. 


Dengan demikian maka terhadap obye Tanah terlantar juga termasuk hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak Pakai, hak pengelolaan sebagaimana diatur didalam Pasal Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA).


Sebagaimana diketahui, Pasal 27 UUPA memang mencantumkan “hak milik hapus apabila karena ditelantarkan”. Pasal 7 ayat 2 UU Cipta kerja justru menegaskan “hak milik yang menjadi Obyek penerbitan Tanah terlantar jikga dengan sengaja tidak dipergunakan, sehingga tidak dapat dimanfaatkan atau tidak dipelihara sehingga “dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan,  dikuasai oleh pihak lain secara terus menerus selama 20 tahun tanpa adanya hubungan hukum dengan pemegang hak atau fungsi sosial atas Tanah tidak terpenuhi lagi. 


Sedangkan Pasal 34 UUPA tegas mencantumkan “Hak guna usaha hapus karena ditelantarkan”. Atau Pasal 40 UUPA menyebutkan “Hak guna bangunan karena ditelantarkan”. 


Namun Pasal 7 ayat (3) PP Tanah Terlantar malah menegaskan, terhadap “Tanah hak guna bangunan, hak pakai, dan Hak Pengelolaan menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak.  


Begitu juga Pasal 7 ayat (4) PP Tanah Terlantar menyebutkan “Tanah hak guna usaha menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak. 


Berdasarkan PP Tanah Terlantar yang telah menetapkan “Tanah terlantar” maka mulai dilakukan penertiban dengan tahap-tahap seperti a. evaluasi Kawasan Telantar, b. peringatan Kawasan Telantar; dan c penetapan Kawasan Telantar. 


Evaluasi dilakukan  untuk memastikan Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai. 


Setelah dilakukan penetapan “obyek tanah terlantar”, evaluasi, peringatan maka terhadap “tanah terlantar” tidak dibenarkan lagi melakukan “perbuatan hukum”. 


Perbuatan hukum tidak dapat dibenarkan disebabkan telah hapusnya Hak Atas Tanah atau Hak Pengelolaan, putusnya hubungan hukum; dan dikuasai oleh negara.

Semangat diterbitkannya PP Tanah Terlantar untuk memenuhi ketentuan Pasal 180 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Dan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.


Secara sekilas semangat PP Tanah Terlantar adalah implementasi dari UU Ciptakerja. 


Namun apabila ditelisik lebih jauh, praktek “penertiban tanah” terlantar sudah lama diatur didalam Hukum Adat Jambi. 


Berbagai seloko seperti “Ayam Benci disangkak. Tinggal telur. Merayang buah di kebango. Harta Jauh diulang-ulang. Harta Dekat disenano”, “Jauh tidak dipenano. Dekat tidak disiang”, harta jauh tidak dipenano. Harta Dekat tidak disiang”, “Sosok jerami, tunggul pamareh”, Sosok jerami, tunggul pemareh. Kalah durian dek benalu. Ilang Mentaro hilang tanah. Ilang tutur ilang penano”, “Sesap rendah. Tunggul pemarasan”. Atau “sesap rendah. Jerami tinggi”, “sesap mudo”, sesap tuo”, belukar mudo, belukar tuo, belukar lasah, “perimbun”, “hilang celak jambu klelo” adalah kategori sebagai “Tanah terlantar”. 


Dengan demikian apabila tanah kemudian tidak dirawat maka terhadap tanahnya menjadi hilang. Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat. 


Sehingga Hukum Adat Melayu Jambi yang sudah lama mengatur tentang “tanah terlantar” justru membuktikan Hukum Adat justru lebih unggul daripada Hukum Nasional. 


Dengan demikian, semangat penertibatan “tanah terlantar” yang sudah lama diatur didalam hukum adat kemudian diadopsi menjadi Hukum Nasional haruslah diberi ruang apresiasi.