Peristiwa aksi mahasiswa 11 April 2022 (April Kelabu) tidak dapat dihindarkan dari peristiwa “pengeroyokkan” dan pemukulan Ade Armando (akademisi UI) yang tanpa “ba-bi-bu”.
Berita ini kemudian menenggelamkan tuntutan aksi april Kelabu. Menenggelamkan isu penolakan “tiga periode Presiden” atau penundaan Pemilu. Bahkan malah berita April kelabu malah menjauhkan dari substansi “protes” dan teriakkan mahasiswa.
Tidak dapat dipungkiri, cara membaca “April Kelabu” tidak dapat dilepaskan dari cara-cara menghadapi massa yang “tidak terkendali”.
Meminjam istilah dan teriakkan yang sering disuarakkan “satu komando”.
Sayapun kemudian Melihat “April Kelabu” sebagai noda hitam yang justru melumuri aksi April Kelabu itu sendiri.
Sebagai “demonstran”, cara membaca aksi-aksi mahasiswa maka saya kemudian teringat dengan Soe Hok Gie. Seorang pejuang sunyi melawan kediktatoran Orde Lama. Dan kemudian menumbangkannya didalam bukunya “Catatan Seorang Demonstran”.
Buku ini menambah kekayaan membaca peristiwa dan suasana politik menjelang keruntuhan orde lama. Sekaligus catatan kritis dari sang demonstran.
Buku ini sungguh kaya ketika didalamnya, Soe Hok Gie justru menawarkan agar didalam menyuarakan aspirasi haruslah didukung dengan pematangan pemikiran, dialektika yang terus dibangun dan pilihan-pilihan strategi.
Buku ini adalah satu “maqom” sekaligus menjadi irisan didalam melihat peristiwa demonstran.
Sebelum kita mengiris peristiwa yang terjadi, banyak sekali “kepentingan” dan “tungganggan” yang menumpang aksi-aksi mahasiswa.
Entah bertujuan untuk “mengeruhkan”, menjauhkan issu-isu aktual yang disampaikan oleh mahasiswa maupun upaya sistematis yang justru mengaburkan pesan yang disampaikan.
Terlepas dari “ketidaksetujuan” aksi mahasiswa yang kemudian “terjebak” dalam isu-isu politik ataupun tuntutan yang disampaikan menjadi tidak relevan setelah Jokowi menolak jabatan tiga periode ataupun penundaan Pemilu, namun sebagai aksi-aksi mahasiswa terlalu sayang untuk dilewatkan.
Pertama. Tentu saja peristiwa “pengeroyokkan” dan pemukulan Ade Armando (akademisi UI) harus diletakkan dalam konteks hukum. Para pelaku harus “diseret” ke muka persidangan. Tanpa kecuali. Sekaligus membongkar siapa “aktor utama” ataupun “otak pelaku”.
Dan tidak perlu ada lagi perdebatan “Mengapa dia disana ?”. “Mengapa ada kekerasan ?”.
Membenarkan kekerasan dengan alasan apapun ataupun kemudian menggunakan kekerasan untuk berbeda pandangan adalah cara masyarakat yang barbar. Menjauhkan dari semangat demokrasi yang sedang tumbuh.
Kedua. Terhadap tema “tiga periode” baik yang setuju maupun yang menolak harus diletakkan sebagai “suara” yang harus didengarkan.
Aspirasi Para Kades se-Nusantara yang menghendaki Jokowi tiga periode-walaupun Jokowi menolaknya-harus diletakkan seimbang dengan aspirasi “penolakkan” terhadap amandemen konstitusi.
Keduanya harus seimbang. Keduanya harus diletakkan sebagai wacana demokrasi dalam bingkai negara yang menghormati “kebebasan” menyampaikan pendapat dan aspirasi.
Makna yang jelas terpatri didalam konstitusi.
Ketiga. Namun terhadap aksi-aksi April Kelabu juga harus diletakkan dalam konteks dinamika demokrasi.
Agenda yang mendesak dan disampaikan oleh mahasiswa-terlepas dari ketidaksetujuan- adalah bagian dari dinamika demokrasi.
Tentu saja sebagai bagian dari demokrasi yang tegas diatur didalam konstitusi, suara-suara mahasiswa adalah “cerminan” dari hati yang jujur melihat nasib kebangsaan dan politik yang terjadi.
Jadi. Meminggirkan ataupun mengeruhkan sikap yang disampaikan oleh mahasiswa maka justru akan “melawan kodrat sejarah”.
Dan saya menolak untuk kemudian “meminggirkan suara nurani mahasiswa”. Baik dengan cara Membangun “meme” ataupun Membangun “image”, Gerakan mahasiswa menjadi tidak perlu ataupun kurang relevan.
Keempat. Sudah saatnya, dialog kebangsaan didudukkan. Mendengarkan argumentasi dari kedua belah. Terlepas rangkaian panjang kalaupun tidak dikatakan “belum memungkinkan” dari sudut pandang konstitusi, namun suara yang disampaikan hendaklah bagian dari proses pendewasaan berbangsa-bernegara.
Saya kemudian memilih. Menolak penggunaan cara kekerasan didalam menyelesaikan perbedaan pandangan. Sekaligus juga menolak kemudian “mengaburkan” aksi-aksi yang disampaikan oleh mahasiswa.
Advokat. Tinggal di Jambi