28 Mei 2022

opini musri nauli : Buya Syafii - Generasi Mengaji di Surau

 


Tiba-tiba Indonesia kehilangan “Guru Bangsa’. Sebuah keteladanan yang tiada putus disebutkan. 


Membicarakan Buya Syafii terbayang akan kesederhanaan, keteladanan bahkan rasa decak kagum atas semangat tentang Indonesia. 


Banyak sekali bagaimana Buya Syafii menempatkan sebagai manusia sederhana. Bagaimana kisahnya dia menolak menjadi komisaris BUMN. Namun malah sibuk mengurusi royalty bukunya yang sudah terbit. Yang mungkin nilai tidak seberapa dibandingkan dengan menjadi Komisaris BUMN. 


Beberapa penggalan kalimatnya memang menyentak. 


Kata-kata seperti “Kepala ini terlalu keras untuk membungkuk dengan kekuasaan”. Ataupun kata-katanya yang dalam “rancah dilabuh”. 


Sebuah kosakata yang dalam makna didalam alam pemikiran Minangkabau. 


Sebagai pemikir, tidak ada satupun menyangsingkan tulisannya. Entah berapa buku yang telah dihasilkan. 


Ataupun kolom opini yang rajin menghiasi media massa. 


Sebagai orang Pergerakan, idenya melintas batas. Organisasi “Maarif Institute”. 


Ikrar “sebagai gerakan kebudayaan dalam konteks keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan. Tiga area ini merupakan hal pokok dan terpenting dalam perjalanan intelektualisme dan aktivisme Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan mantan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).


Jelas terpatri di websitenya. 


“Kegelisahan” Buya Syafi’i jelas diwarnai tulisanya. Khas penulis Minangkabau yang detail dan kaya makna. Praktis, dibutuhkan “kejernihan” pemikiran untuk menghasilkan tulisannya. 


Tentu saja tradisi menulis khas Minangkabau menghasilkan pemikiran orang besar Minangkabau di Indonesia. Hatta, Tan Malaka, Syahrir adalah sekedar bagaimana orang Minangkabau menguasai pemikiran di Indonesia. 


Sekaligus menyumbang tokoh-tokoh di tingkat nasional. 


Sedikit sekali orang memperhatikan Buya “ketika mengaji malam” waktu Kecil. Tradisi mengaji malam memang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau. 


Biasa dikenal “mengaji di surau’. Surau adalah Mesjid Kecil. Bukan semata-mata tempat melaksanakan ritual agama secara rutin. 


Tapi juga menyelenggarakan pengajian. 


Anak-anak tingkat SD ataupun Sudah berusia 12 tahun, diperintahkan untuk mengaji di surau. Bahkan untuk anak-anak laki-laki sama sekali tidak dibenarkan pulang kerumah hingga usai atau tamat pengajian. 


Bung Hatta menuliskan tentang mengaji di Surau didalam bukunya “Untuk Negeri, Sebuah Otobiografi. Dijelaskan Hatta mendapatkan pendidikan agama dari dari Kakeknya Syekh Abdurrahman di Batuhampar dan di Surau Syekh Jambek di Bukittingi. 


Syekh Jambek kemudian dikenal sebagai ulama besar yang terkenal. 


Dalam tradisi panjang di Minangkabau, tradisi surau termasuk struktur sosial Penting ditengah masyarakat. Surau berfungsi sebagai Transformasi budaya dan agama dalam satu tarikan nafas masyarakat Minangkabau. 


Di Tengah surau, pelajaran tidak semata-mata diajarkan tentang mengaji. Teknik ceramah, berpidato, debat bahkan mengeluarkan argumentasi. 


Tidak salah kemudian hampir setiap pemuda Minangkabau “jago berdebat”. Kaya literasi sekaligus kaya makna. 


Selain mengaji dan berpidato, kurikulum Surau juga mengajarkan ilmu silat. Salah satu Olahraga beladiri yang melekat di pemuda Minang. 


Berbagai novel mengisahkan tentang kaum parewa. Kaum yang terkenal memiliki ilmu kesaktian yang bertugas menjaga kampung. 


Sebagai kaum parewa, mereka berpantang pulang. Sebagaimana sering diucapkan didalam Seloko Minangkabau “Lalok di surau. Makan di lapau”. 


Lalok adalah “tidur”. Sedangkan “lapau” adalah warung. Jadi sejak masa Kecil hingga menjadi Pemuda, Pemuda mInangkabau pantang berpulang. 


Saya tidak mengikuti perkembangan tradisi mengaji di Surau. Namun saya kemudian teringat dengan perkataan Buya Syafi’i. 


“Saya adalah generasi terakhir yang mengaji di Surau”, Katanya di suatu kesempatan. 


Kisah tentang Surau juga dituliskan oleh A.A Navis didalam bukunya “Robohnya Surau Kami”. Pertama kali terbit 1955. 


Berkat cerpennya, Navis kemudian terkenal di kalangan sastra Indonesia. 


Kisah terinspirasi dari cerita Syekh Ahmad Surkati, ulama Pakistan Pendiri Al-Irsyad. Sambil merenungkan ceritanya, dia berjalan dan melewati sebuah surau yang hampir rubuh. Tempat dia dulu mengaji. 


Dari seorang Perempuan yang tinggal di dekat surau, diketahui sang penjaga suraunya sudah meninggal. Dan tidak ada lagi yang mengurus surau. 


Dalam sebuah artikel, keengganan orang tua yang rela melepaskan anaknya “lalok” di surau dan makan “dilapau” yang menyebabkan surau tidak menjadi lagi tempat “bersemayam” penggajian sekaligus “kawah candradimuka” para pendekar Minangkabau. 


Atau sebagian anak-anak yang tidak rela “orangnya yang sudah renta” kemudian tidur di “surau’. 


Tradisi yang Kuat membuat Minangkabau menjadi salah satu pusat perkembangan islam. Terutama di Sumatera. 


Mungkin diperlukan “cara kreasi” untuk mengembalikan fungsi surau sebagai “pusat pendidikan agama” sekaligus tempat mendidik pemuda belajar ilmu silat. 


Tradisi “mengaji” di surau adalah tradisi panjang. Sekaligus menempatkan ilmu agama sebagai pondasi awal anak-anak “surau”. 


Apakah pernyataan Buya Syafi’i yang mengatakan “Saya adalah generasi terakhir yang mengaji di Surau”, kemudian dibawa pergi oleh Almarhum ? 


Selamat jalan, Buya. Kisah keteladananmu memberikan arti didalam memandang hidup ini.