Ketika saya melihat tayangan peristiwa “penggebrekkan” istri ke hotel dan menangkap basah sang suami dengan seorang Perempuan bukan istrinya di media sosial, suara kemudian menjerit-jerit melihat kelakuan sang suami.
Suara “Selingkuh” terdengar nyaring disela-sela tayangan video.
Sang suami yang kebetulan menjadi seorang pilot dari sebuah maskapai sedang berduaan di kamar sebuah hotel dengan seorang pramugari.
Melihat tanggapan dari netizen, sebagian besar mengutuk keras terhadap kelakuan sang suami. Mereka mendesak agar dapat diproses di Kepolisian. Agar memberikan efek jera.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (online), Istilah “selingkuh” dapat diartikan “menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur dan serong.
Istilah lain juga digunakan untuk menggambarkan “menggelapkan uang” atau korupsi. Juga dapat diartikan “menyeleweng”.
Jadi Selingkuh makna dasarnya “tidak jujur”, “tidak berterus terang” dan “Korupsi”. Sebuah kata yang netral untuk menggambarkan kepribadian yang tidak baik.
Namun kata “selingkuh” justru lebih sering digunakan untuk “serong” atau “menyeleweng”. Sebuah makna yang justru jauh dari semangat asal kata tersebut.
Lalu bagaimana menurut ketentuan hukum mengenai “perselingkuhan” ?.
Secara harfiah, makna kata “selingkuh” sulit ditemukan didalam Hukum Pidana.
Namun apabila melihat peristiwa yang terjadi, sang istri kemudian “memergoki” sang suami maka dapat dikategorikan sebagai “perzinahan”. KUHP menyebutkan “gendak” atau “Overspel”.
Gendak atau “overspel” lebih sering dilekatkan dengan istilah “kumpul kebo”.
Menggunakan istilah “perzinahan” juga menimbulkan persoalan di mata hukum.
Ditengah masyarakat, baik hukum adat maupun hukum agama, perzinahan dikategorikan sebagai perbuatan “bukan suami istri’. Jadi yang “diutamakan” hubungan bukan “suami istri”.
Berbeda dengan definisi “zinah” menurut Hukum Pidana. Hukum Pidana menitikberatkan, hubungan “bak” suami istri, kemudian dipenuhi persyaratan ketat.
Hubungan itu kemudian harus salah satunya kemudian terikat perkawinan.
Lalu bagaimana dengan hubungan “bak” suami istri namun keduanya ternyata belum terikat perkawinan ?
Menurut Hukum Pidana, maka tidak dapat dikategorikan sebagai “zinah”.
Ini menurut KUHP ya. Bukan menurut definisi ditengah masyararakat, hukum adat maupun hukum agama.
Melihat peristiwa yang terjadi, maka Sudah dapat dikategorikan sebagai “zinah”. Karena yang menggebrek adalah sang istri terhadap kelakuan sang suami.
Sang istri dapat melaporkan kepada penegak hukum agar dapat diproses secara hukum. Sebagai “korban”, sang istri dapat bertindak sebagai korban untuk melaporkan kepada penegak hukum menurut hukum pidana.
Advokat. Tinggal di Jambi