Dalam Acara KNLH Walhi (semacam Rapimnas) Para Pemimpin Walhi se Indonesia, setiap para pembicara selalu menyelipkan pantun-pantun.
Baik pantun yang disusun dan kemudian dibaca didalam kata sambutan. Maupun didalam dialog disela-sela kegiatan.
Harus diakui Negeri Jambi yang dikenal sebagai “Negeri Betuah”, kesaktian negeri Jambi yang kemudian disebutkan oleh Datuk Paduko Berhalo ternyata memberikan inspirasi kepada para pejabat yang memberikan kata sambutan.
“Ruh” pantun kemudian menginspirasi setiap pidato. Sekaligus memberikan penekanan pesan yang disampaikan.
Saya sendiri sedang membayangkan. Bagaimana kesulitan para pembicara yang tidak dibesarkan didalam tradisi “berpantun” mesti harus mengonsepkan pantun.
Mencocokkan kata-kata terakhir dari 4 penggalan kalimat. Sehingga peserta KNLH menjadi mengerti.
Tidak salah kemudian. Acara pembukaan dengan kata sambutan yang kemudian diselingi pantun menjadi gayeng. Lengkap dengan suara tertawa dan tepuk tangan dari seluruh peserta.
Sebenarnya “pantun” memang disampaikan didalam acara-acara formal, semi formal maupun dalam acara-acara canda ria ditengah masyarakat.
Ditengah masyarakat Melayu Jambi, tradisi berpantun juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Para tokoh adat didalam menyampaikan pesta adat atau Pergaulan muda-mudi memang tidak bisa dipisahkan dari tradisi berpantun.
Saya sendiri bukanlah “Ahli berpantun”. Tidak bisa spontan seperti tokoh-tokoh adat.
Namun kadangkala didalam setiap pembicaraan, yang sering saya uraikan bukanlah “tradisi berpantun”.
Tapi adalah seloko.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (online), pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Pantun juga dapat diartikan sebagai peribahasan sindiran.
Berbeda dengan pantun, Seloko Adat Jambi adalah ungkapan yang mengandung pesan, nasehat, pelajaran, moral, nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari.
Dia bukanlah percakapan yang disusun seperti pantun. Seperti prosa yang terdapat kata akhir seperti a-a ataupun a-b.
Seloko juga dapat diartikan sebagai “petatah-petitih”. Tidak terjebak dengan kata akhir seperti a-a ataupun a-b.
Lihatlah seloko tentang kepemimpinan yang sering disebutkan “Pohon Beringin ditengah dusun. Pohonnya Gedang tempat beteduh. Akarnya kuat tempat besilo. Dahannya kuat tempat begayut”.
Atau bentuk penghormatan kepada Pemimpin yang ditandai dengan “Berjenjang naik. Bertangga turun”, “alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin”.
Atau tentang hutan didalam seloko “Rimbo Sunyi. Tempat beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”.
Tempat-tempat dihormati seperti “teluk sakti, Rantau betuah. Gunung bedewo”.
Seloko seperti Rimbo Sunyi. Tempat beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”, “teluk sakti, Rantau betuah. Gunung bedewo” adalah bentuk penghormatan terhadap hutan.
Agar dijaga dan sama sekali tidak boleh diganggu.
Kehutanan sendiri menyebutkan sebagai “hutan lindung” atau hutan Konservasi.
Dengan demikian maka apabila dilihat dari setiap akhiran kata didalam seloko, sama sekali tidak ada hubungan antara struktur a-a ataupun a-b.
Pengungkapan seloko adalah pelajaran, nilai yang sering saya temukan didalam pembicaraan sehari-hari ditengah kampung.
Kadangkala seloko diperlukan untuk menjelaskan gagasan yang hendak disampaikan dengan memberikan perumpamaan seperti yang disebutkan didalam seloko.
Dengan memberikan perumpamaan didalam seloko maka “audience” menjadi mudah dimengerti.
Sebenarnya seloko juga terdapat didalam alam kosmopolitan masyarakat Jawa.
Seloko seperti “Padi Menjadi. Rumput Hijau. Kerbo gepok. Aek tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur yang menggambarkan “Negeri yang elok. Tenteram, damai, Sejahtera” sering juga disebutkan didalam istilah Jawa “Gemah ripah loh Jinawa Tata Tentram Kerto Raharjo.
Jadi kurang tepat kemudian apabila saya kemudian sering menyampaikan seloko kemudian sering ditangkap sebagai tradisi berpantun.
Tapi lebih tepat setiap pembicaraan selalu saya selipkan Seloko.
Namun terlepas daripada itu semua, kegembiraan saya yang mendengarkan setiap pidato kemudian menyelipkan pantun adalah “aroma” khas masyarakat Melayu Jambi.
Sehingga tidak salah kemudian, siapapun yang datang ke Jambi “padek-padek membawa diri”.
Sebagaimana sering disebutkan didalam Seloko “Dimana Bumi dipijak. Disitu Langit dijunjung. Dimana tembilan tecacak. Disitu tanaman tumbuh.