30 Juli 2022

opini musri nauli : HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

 



Pengantar


Sebagai pelaksanaan HAM di Indonesia, Indonesia kemudian membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur didalam UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU HAM). 


Pengadilan HAM kemudian menjadi Pengadilan Khusus (Pengadilan Ad hock) dalam lingkup Peradilan Umum (Pengadilan Ad hock HAM). 


Menurut UU HAM, Pengadilan Ad hock HAM berwenang untuk mengadili terhadap perkara pelanggaran HAM berat yang terdiri dari kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Kejahatan Genosida terdiri dari membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

 



Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan diantaranya pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan orang secara paksa dan kejahatan apartheid. 


Secara prinsip pelaksanaan Pengadilan HAM tetap merujuk kedalam KUHAP. 


Di Indonesia, Pengadilan HAM pernah memeriksa dan mengadili perkara Tiga kasus lain yang sudah selesai yakni kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura 2000 dari 15 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat berada di bawah penanganan Kejaksaan Agung. 


12 Perkara yang belum diselesaikan, 8 kasus terjadi sebelum adanya UU HAM.  Kedelapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Oeristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.


Sedangkan empat kasus lainnya yang terjadi setelah terbitnya UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.


Problema yuridis Pelaksanaan Pengadilan HAM


Didalam Pasal 11 dan Pasal 12 UU Pengadilan Ad Hock HAM, memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung Sebagai penyidik. Baik didalam proses penangkapan dan penahanan. Jaksa Agung juga bertindak sebagai penuntut umum. Walaupun UU Pengadilan Ad Hock HAM memberikan wewenang kepada Jaksa Agung sebagai penyidik 


UU Kejaksaan kemudian menempatkan Kejaksaan untuk berwenang untuk melakukan penyidikan. Makna ini kemudian dipertegas didalam UU No. 11 Tahun 2021. 


Penerapan asas ini kemudian dikenal asas Lex Specialis derogate Lex Generalis terhadap hukum acara yang menempatkan Polisi sebagai Penyidik sebagaimana diatur didalam KUHAP. 


Namun apabila ditelisik lebih jauh, wewenang Jaksa Agung sama sekali tidak mencantumkan wewenang berkaitan sebagai penyidik


Disisi lain, UU Pengadilan ad hock HAM yang menempatkan Jaksa Agung sebagai penyidik sekaligus Penuntut Umum kemudian menimbulkan problematika didalam penegakkan sistem Hukum pidana(Sistem Peradilan Pidana Terpadu/ integrated criminal justice system)


Padahal apabila secara prinsip pelaksanaan Pengadilan HAM tetap merujuk kedalam KUHAP, maka menjadi pengetahuan jamak dikalangan Hukum, KUHAP kemudian ditemtpatkan sebagai Integrated Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system)


Lihatlah bagaimana ketentuan didalam KUHAP yang tegas mengatur Hubungan Penyidik POLRI Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Seperti. PPNS dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinator dan pengawasan Penyidik POLRI , Untuk kepentingan penyidikan, penyidik memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan, PPNS melaporkan tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidik POLRI, PPNS menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI. 


Tentu saja menempatkan Jaksa Agung sebagai penyidik sekaligus Penuntut umum sebagaimana diatur didalam UU Pengadilan Ad Hock HAM bertentangan dengan penegakkan sistem Hukum pidana (Sistem Peradilan Pidana Terpadu/ integrated criminal justice system)


Pelaksanaan Hukuman Mati


Didalam UU Pengadilan Ad Hock HAM, terhadap kejahatan genosida maka dapat diterapkan hukuman mati. Walaupun dapat diterapkan didalam genus yang sama seperti pidana seumur hidup dan penjara 25 tahun. Serta dapat diterapkan 10 tahun. 


Walaupun UU Pengadilan Ad Hock merupakan “lex specialis derogate lex generalis” dari pidana pokok diatur didalam KUHP, namun menerapkan “pidana mati” merupakan pertentangan dari semangat “hak hidup” yang didalam konsitusi dan UU HAM. 


Menempatkan “hak hidup” sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non- derogable rights). 


Menurut kajian HAM, “hak hidup” yang kemudian ditempatkan non- derogable rights mengandung makna Hak yang hakiki sebagai manusi, Melekat terhadap diri manusia, Bersifat tetap


Dengan demikian maka ketika hak hidup kemudian ditempatkan sebagai “non- derogable rights”


Kemudian disandingkan dengan “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”, maka “hak hidup” tidak dapat dijadikan dasar untuk dilakukan penghukuman terhadap kejahatan apapun. Termasuk kejahatan HAM.  


Dengan masih dicantumkan “pidana mati” didalam pengaturan UU Pengadilan Ad Hock HAM justru menimbulkan ambigu terhadap proses penegakkan HAM di Indonesia. 


Yang sungguh lebih menyedihkan, walaupun Indonesia sudah mencantumkan tegas didalam konstitusi dan masih terdapatnya penerapan hukuman mati didalam berbagai regulasi, namun masih menempatkan “pidana mati” didalam UU Pengadilan ad hock HAM justru menempatkan Indonesia mengabaikan penghormatan dan Perlindungan HAM di Indonesia. 


Catatan Kaki


Dengan masih dicantumkan “pidana mati” didalam pengaturan UU Pengadilan Ad Hock HAM justru menimbulkan ambigu terhadap proses penegakkan HAM di Indonesia. 


  1. PKPA DPC PERADI Jambi, Mendalo, 30 Juli 202
  2. Advokat. Tinggal di Jambi 
  3. Pasal 2 UU No. 26 Tahun 2000
  4. Pasal 7 UU Pengadilan Adhock HAM 
  5. Dari 15 Kasus Pelanggaran HAM Berat, Hanya 3 Perkara yang Tuntas, Kompas, 7 November 2019. 
  6. Pasal 11 ayat (1) UU Pengadilan Ad Hock HAM “Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 
  7. Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
  8. Pasal 30C UU No. 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia “Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 3OB Kejaksaan: a. menyelenggarakan kegiatan statistik kriminal dan kesehatan yustisial Kej aksaan ; b. turut serta dan aktif dalam pencarian kebenaran atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan konflik sosial tertentu demi terwujudnya 
  9. Pasal 1 angka (1) KUHAP “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Lihat juga didalam pasal 6 ayat (1) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan Pasal 6 ayat (2) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
  10. Pasal 35 UU Kejaksaan “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: a. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; b. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara; e. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; f. mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-
  11. Pasal 11 (1) UU Pengadilan HAM “Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang 
  12. Pasal 12 (1) UU Pengadilan HAM “Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan 
  13. Integrated criminal justice system adalah sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan. Sistem tersebut mengatur bagaimana proses berjalannya suatu perkara mulai dari penyelidikan sampai 
  14. Pasal 10 UU Pengadilan 
  15. Integrated criminal justice system adalah sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan. Sistem tersebut mengatur bagaimana proses berjalannya suatu perkara mulai dari penyelidikan sampai 
  16. Pasal 7 ayat 2 
  17. Pasal 107 ayat 1 
  18. Pasal 107 ayat 2 
  19. Pasal 107 ayat 3 
  20. Pasal 8 UU Pengadilan 
  21. Pasal 36 UU Pengadilan HAM “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) 
  22. Bandingkan dengan pengaturan pidana pokok yang diatur didalam Pasal 10 
  23. Pasal 28 A UUD 1945 “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan 
  24. Pasal 4 UU HAMHak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh 
  25. Pasal 2 UU HAM “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta 
  26. Walaupun secara konstitusi Indonesia menempatkan “hak hidup” sebagai asas non derogable right” dan kemudian menolak Hukuman mati, namun berbagai regulasi masih menempatkan hukuman mati (Baca UU Korupsi, UU Terorisme, UU Narkoba dan didalam KUHP seperti Pasal pembunuhan