Setelah didiskusikan pada edisi sebelumnya berkaitan dengan kesalahan dan pertanggungjawaban maka ada baiknya kita mulai menelaah bagaimana mekanisme kesalahan dan pertanggungjawaban diterapkan dalam praktek hukum pidana di Indonesia.
Didalam praktek hukum acara pidana, beban pembuktian kepada Jaksa penuntut umum maka setelah jaksa penuntut umum sudah membacakan dakwaan maka pembuktian kemudian merujuk kepada pemenuhan alat-alat bukti.
Setiap alat bukti ataupun fakta di persidangan kemudian dihubungan dengan unsur-unsur setiap pasal yang dituduhkan kepada terdakwa.
Apakah setiap unsur dapat memenuhi pasal yang dituduhkan.
Nah. Setelah setiap unsur dinyatakan telah terpenuhi maka kemudian dapat dinyatakan sebagai adanya kesalahan dari terdakwa.
Didalam mekanisme hukum acara pidana, pada prinsipnya setelah setiap unsur telah terpenuhi sekaligus terdakwa kemudian dinyatakan bersalah, barulah mekanisme “pertanggungjawaban” kemudian harus dilihat.
Apakah perbuatan terdakwa yang telah dinyatakan terbukti memenuhi unsur kemudian terdakwa dapat dibebani pertanggungjawaban ?
Sebagaimana telah dijelaskan didalam edisi selanjutnya, hakim kemudian akan memilah. Apakah terdakwa adanya sebab yang menyebabkan “alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden/wederrchtelijkheid”) atau memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”). Yang biasa dikenal sebagai alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Apabila adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf maka walaupun terdakwa dinyatakan bersalah memenuhi unsur didalam pasal-pasal yang dituduhkan, maka terdakwa dapat dinyatakan “lepas demi hukum”.
Namun apabila ternyata menurut pertimbangan hakim, tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf”, maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukan.
Demikianlah mekanisme hukum pidana di Indonesia.
Advokat. Tinggal di Jambi