Akhir-akhir ini tema tambang menarik perhatian publik. Pemerintahan Jokowi-Makruf kemudian mengagendakan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan. Kemudian dikenal IUP Tambang.
Sikap ini kemudian dilakukan dengan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Diskusi kemudian memantik polemik. Berbagai alasan kemudian diantaranya eksploitasi itu telah menyebabkan kerusakan lingkungan hingga pemanasan bumi yang tak terbendung dan harus diatasi, mendorong mendorong tata kelola pembangunan yang sesuai prinsip berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup dan memiliki keterbatasan dalam pengelolaan IUP.
Ormas keagamaan kemudian memilih melaksanakan tugas-tugas lembaga keagamaan.
Namun yang menarik adalah argumentasi yang disampaikan oleh ULIL ABSHAR-ABDALLA (Ulil) didalam esai pendek yang berjudul “Isu Tambang, Antara Ideologi dan Fikih”.
Cara pandang Ulil menggunakan aspek epistemologis. Dengan menggunakan pendekatan aktor. Satu pihak aktivis lingkungan dan pendukungnya dari pendekatan ideologis. Dan pihak lain Komunitas NU dari pendekatan fikih.
Didalam uraiannya, Ulil kemudian menyebutkan pendekatan ideologi kemudian dikaitkan dengan isu utama seperti perubahan iklim. Dan menjadi rujukan untuk melihat tambang pendekatan epistemologi dari cara pandang aktor aktivis lingkungan.
Tidak dapat dipungkiri, pendekatan epistemologi isu tambang kemudian dihubungkan dengan perubahan iklim adalah cara pandang masyarakat Barat. Cara pandang masyarakat Barat juga menempatkan tambang sebagai asset yang bernilai ekonomi.
Fritjof Capra (Capra) seorang Filsuf kemudian menyebutkan pemikiran yang menempatkan alam sebagai asset bernilai ekonomi juga melambangkan cara pandang menempatkan manusia sebagai antrosentris.
Padahal tema tambang juga harus dilihat cara pandang aktivis lingkungan yang berangkat dari konsepsi alam masyarkat Nusantara. Lingkungan hidup adalah bagian tdk terpisahkan. Meminjam istilah Minangkabau “Alam takambang jadi guru”. Alam adalah guru terbaik.
Berbagai tempat yang dijadikan lokasi IUP tambang tidak hanya berkaitan dengan daya rusak yang sama sekali tidak mendukung lingkungan. Namun menghancurkan kehidupan masyarakat Nusantara.
Berbagai nama tempat kemudian diungkapkan didalam simbol maupun tutur seperti “rimbo larangan”, rimbo puyang”, “hutan keramat” yang merupakan perwujudan dari sikap agung masyarakat Nusantara terhadap lingkungan dan alam sekitarnya.
Setiap aturan didalam pengaturan lingkungan hidup juga diajarkan turun temurun. Diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Jangankan tema tambang, pengaturan tentang air saja mempunyai pedoman dan aturan sangat ketat. Ujaran ataupun ajaran leluhur yang melarang penebangan pohon di ulu sungai ditandai dengan “Kepala Sauk” atau “ulu air.
Pengaturan lingkungan hidup juga mengatur tata ruang. Areal khusus tanaman padi disebutkan “Peumoan” atau “umo genah” atau “genah umo”. Berbagai tradisi seperti “turun kesawah”, penentuan awal turun Benih padi melambangkan budaya yang dan bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara.
Sehingga lingkungan hidup juga bagian tidak terpisahkan sebagai nafas, kehidupan, denyut, roh, jiwa bahkan budaya. Suara protes masyarakat nusantara lebih membumi dari sekedar kajian lingkungan hidup.
Paradigma tentang alam sering disebut sebagai “Ecosentris”. Dimana alam adalah “pusat” dari alam cosmopolitan.
Cara pandang antrosentris sudah lama ditinggalkan. Capra justru “melompat jauh”. Manusia adalah kesatuan dengan alam. Alam kosmopolitan menempatkan manusia adalah bagian dari alam.
Lompatan besar didalam dipemikiran barat. Namun praktek yang sudah lama dilakukan dalam alam pemikiran Timur.