Beberapa waktu yang lalu, tema jumlah perguruan tinggi di berbagai negara menarik untuk ditelusuri. Tentu saja jumlah perguruan tinggi juga harus dikomparasikan dengan jumlah penduduk di negara itu.
Menurut data berbagai sumber, jumlah penduduk India (1,4 m), Tiongkok (1,430 m), Amerika Serikat (343 juta) dan Indonesia (279 juta) maka dapat dilihat bagaimana jumlah perguruan tingginya.
India mencatat jumlah kampus 5,349, Cina hanya 2.495 kampus dan Amerika jumlah kampus 3.180. Lalu bagaimana dengan Indonesia.
Luar biasa. Ternyata Indonesia mempunyai jumlah kampus 3.277. Walaupun menurut Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PPDikti) tahun 2023 mencapai 4.523. Jauh melampau Amerika. Apalagi Tiongkok.
Sayapun terkaget-kaget. Bagaimana kampus Indonesia hanya sedikit dibawah India. Namun jauh melampau Tiongkok dan Amerika.
Sehingga tidak salah kemudian Indonesia dilimpahkan ledakan demografi mahasiswa dan sarjana untuk mengisi kehidupan sehari-hari. Sehingga tidak salah kemudian berbagai gelar akademik menjadi pemandangan sehari-hari di kehidupan kita.
Namun melihat data dan angka tentu saja kita tidak boleh silau. Banyaknya kampus, mahasiswa dan sarjana tentu saja harus seimbang dengan tingkat literasi maupun produksi pengetahuan.
Tingkat literasi Indonesia justru menempati peringkat 70 dari 80 negara. UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan. Hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Bahkan sumber lain malah menyebutkan tingkat literasi digital di Indonesia hanya sebesar 62%. Jumlah tersebut paling rendah jika dibandingkan negara di ASEAN lainnya yang rata-rata mencapai 70%.
Sedangkan jurnal yang terindek dengan scopus dapat dilihat angka-angka sebagai berikut. Amerika Serikat sebanyak 6.116 jurnal. Inggeris 5.412 jurnal. Untuk wilayah Asia, terbitan terbanyak berasal dari negara China, disusul oleh India dan Jepang.
Lantas dimana posisi Indonesia? Ternyata baru 30 jurnal dari Indonesia yang terindex Scopus. Kita masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara tetangga. Untuk wilayah Asia Tenggara, terbitan terbanyak berasal dari negara Singapura dengan 113 jurnal, disusul oleh Malaysia 80 jurnal. Kita hanya sedikit unggul dari Thailand yang baru 27 jurnalnya terindex Scopus.
Sebagian besar jurnal terbitan Indonesia berasal dari perguruan tinggi ternama di pulau Jawa, seperti ITB, UI, UGM dan IPB, serta IAES (Institute of Advanced Engineering and Science), komunitas peneliti perguruan tinggi dan lembaga riset yang berkolaborasi dalam melakukan penelitian. Sedangkan untuk perguruan tinggi di luar pulau Jawa belum ada satupun jurnalnya yang terindex scopus.
Melihat jumlah penduduk, jumlah kampus, tingkat literasi maupun produksi pengetahuan maka dapat dilihat hanya jurnal perguruan ternama di Jawa saja yang paling rajin dan terindek dengan scopus. Yang lain belum ada kabarnya.
Lalu apa pesan dari data dan angka yang telah dipaparkan. Pertama. Semangat sekolah, menuntut ilmu bagi masyarakat Indonesia cukup tinggi. Banyaknya kampus yang menghasilkan sarjana justru harus diberikan apresiasi.
Kedua. Namun berbanding terbalik dengan kemampuan menghasilkan sarjana (intelektual). Minat membaca yang masih rendah (0,001%) yang hanya seribu orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca harus menjadi “alarm” membahayakan bagi perkembangan ilmu di Indonesia.
Sehingga tidak salah kemudian ketika selesai meninggalkan kampus, minat membaca menjadi tidak menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari. Dan itu kemudian menjadikan ilmu pengetahuan yang telah didapatkannya menjadi terhenti. Bahkan praktis tidak dapat dijadikan panduan didalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga. Masih banyak kampus-kampus yang mendiskusikan di kampus tema-tema yang jauh dari prinsip-prinsip ilmu yang menjadi landasan cara berfikir. Kampus umum mendiskusikan tentang tema agama. Kampus berorientasi agama malah membahas aliran-aliran agama. Dialektika tidak jalan. Bahkan justru meminggirkan ilmu pengetahuan yang harus memproduksi pengetahuan.
Sangat sedikit sekali kampus-kampus mendiskusikan ilmu pengetahuan, kemajuan ilmu pengetahuan, aplikasi internet, robot ataupun teknologi-teknologi yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat. Ketika seorang sarjana dihasilkan maka kaidah dan prinsip dasar yang berangkat dari Logis-sistematis justru ditinggalkan ketika sudah selesai dari kampus. Banyak sekali peristiwa yang terjadi bagaimana korban-korban peristiwa pidana seperti penipuan, penggelapan ataupun korban-korban dari mafia, korbannya adalah yang mempunyai background sarjana.
Kelima. Sudah sangat jarang ketika seorang sarjana dihasilkan kemudian tetap menggunakan kaidah-kaidah ilmu yang didapatkan dari kampus . Justru tidak menjadi cara pandang melihat kehidupan sehari-hari ditengah masyarakat. Sehingga ketika menghadapi persoalan ditengah masyarakat, background ilmunya sudah tidak dapat diandalkan lagi.
Keenam. Seorang sarjana adalah salah satu struktur sosial yang dihormati ditengah masyarakat. Menjadi salah satu Tolak ukur didalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian ketika struktur sosial telah didapatkan maka tugasnya menjadi telah selesai.
Sehingga ketika telah menyelesaikan tugasnya di kampus, struktur sosial yang telah didapatkan tidak diimbangi dengan tanggungjawab ditengah masyarakat.
Ketujuh. Masih terdengar keluhan kawan-kawan media massa (termasuk media massa online) yang mengeluh sedikitnya mengisi kolom opini yang disediakan. Kalaupun ada yang menulis, dipastikan hanya orang-orang itu saja.
Saya teringat dengan Soe Hok Gie. Aktivis 66 yang melengserkan Soekarno. Banyak sekali aktivits 66 yang terlibat di peristiwa ini. Lalu mengapa orang hanya mengenal Soe Hok Gie. Karena ia rutin menulis opini. Mengirimkannya ke surat kabar.
Lalu mengapa Gusdur begitu dikenal ? Yap. Publik mengenal sebagai sebagai komentator sepak bola. Jauh sebelum menjadi Ketua Umum PBNU. Atau mengenal Emha Ainun Nadjib justru dapat dilihat didalam bukunya Slilit Sang Kiai dan Markesot Bertutur.
Daftar ini tentu akan panjang seperti HAMKA, Goenawan Muhammad, Dahlan Iskan (walaupun Sudah menjadi milyuner namun rutin mengisi kolom) atau Buya Syafii Maarif.
Padahal seorang sarjana harus berfikir dan bertindak sebagai intelektual. Tertib dengan disiplin ilmunya. Menjunjung tinggi kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Menempatkan cara pandang logis-sistematis sebagai landasan berfikir. Sekaligus menempatkan cara berpandangan yang tetap menjunjung tinggi kaidah ilmu pengetahuan.
Namun apabila yang menjadi cara pandang dan kemudian cara berfikir yang ditinggalkan sebagai esensi dari intektual saatnya kita mengirim “alarm”. Intelektual telah mati.
Dan kita hanya bisa menghasilkan gelar akademik. Namun tidak mampu menghasilkan intelektual yang dibutuhkan ditengah masyarakat.