18 Oktober 2025

opini musri nauli : Seloko Gajah: Mengurai Kekuatan, Sanksi, dan Kebersamaan dalam Kearifan Lokal Melayu Jambi


Di tengah hijaunya rimba yang memeluknya, kisah tentang Gajah bukan hanya sekadar catatan fauna, melainkan sebuah epik filosofis yang tersemat dalam denyut nadi masyarakat Melayu: Seloko Adat.


Gajah, dengan tubuhnya yang menjulang dan kekuatannya yang tak terbantahkan, telah diangkat dari sekadar penghuni hutan menjadi metafora hidup yang memegang peran sentral dalam sistem sosial, hukum, dan etika masyarakat Jambi. Bersama Harimau, ia berdiri sebagai simbol dwi-tunggal merepresentasikan kekuatan alam yang menjadi acuan bagi tata tertib manusia.

Ketika Gajah Menjadi Bayangan Hukuman


Dalam tradisi lisan Melayu Jambi, simbol Gajah memiliki wajah yang keras, mewakili ujung tombak sanksi adat. Puncak dari hukuman sosial tergambar jelas dalam seloko yang menusuk: Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah..."

 

Seloko ini bukan sekadar larangan, melainkan sebuah proklamasi pengucilan. Ia merujuk pada hukuman plali—penolakan untuk mematuhi putusan denda adat. Seseorang yang menerima hukuman ini secara harfiah dianggap "orang buangan". Mereka kehilangan seluruh perlindungan sosial, terputus dari jaring-jaring kekeluargaan dan kemasyarakatan.


Metafora "mencari perlindungan pada hewan buas" menggambarkan betapa gentingnya situasi ini. Tanpa pegangan adat, hidup seseorang menjadi sama berbahayanya dengan berjalan tanpa arah di rimba, perlindungannya kini hanya bisa dicari pada 'ayah' dan 'ibu' metaforis yang buas: Harimau dan Gajah. Inilah cerminan kekuatan hukum adat yang absolut: melanggarnya berarti memilih hidup tanpa kemanusiaan yang terorganisir.


Dari Kekuatan Menjadi Solidaritas: Hati Gajah dan Hati Tungau


Namun, keagungan Gajah tidak berhenti pada intimidasi hukum. Simbol ini juga membimbing masyarakat pada nilai-nilai kebersamaan dan keadilan yang paling fundamental. Seloko berikut menyingkap sisi Gajah yang penuh hikmah: "Hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicecah."


Sungguh sebuah pernyataan etika sosial yang mendalam. 'Hati gajah' melambangkan hasil yang besar dan melimpah, sementara 'hati tungau' mewakili rezeki atau usaha sekecil apa pun. Pesan ini tegas: baik hasil panen yang melimpah maupun rezeki yang seujung kuku, semuanya harus dibagi rata dan dinikmati bersama-sama (samo dilapah/dicecah).


Seloko ini adalah landasan filosofis bagi gotong royong dan kesetaraan dalam masyarakat Melayu Jambi. Ia menekankan solidaritas tidak mengenal ukuran materi; keadilan berarti pembagian yang merata, memastikan tidak ada yang merasa terlalu besar atau terlalu kecil di hadapan rezeki bersama.


Panggilan Kehormatan Sang "Datuk Gedang"


Kekuatan Gajah dan peranannya dalam menopang tatanan sosial diabadikan dalam panggilan penghormatan khusus: "Datuk Gedang".


Penggunaan gelar "Datuk" adalah sebuah tabu, sebuah pengakuan suci terhadap kedudukan Gajah dalam hierarki spiritual dan alam. Sama halnya dengan Harimau yang dipanggil "Datuk Belang", Gajah dihormati bukan hanya sebagai hewan, melainkan sebagai entitas memegang kekuatan alam—sebuah kekuatan yang diakui, dihormati, dan dijadikan patokan moral.


Cermin Filosofi Hidup


Secara keseluruhan, simbol Gajah dalam Seloko Adat Melayu Jambi bukan sekadar ornamen budaya. Ia adalah cermin multidimensi dari filosofi hidup masyarakatnya. Gajah mencerminkan:

 * Kekuasaan (Adat): Kekuatan tak tertandingi yang menjadi landasan sanksi dan tata hukum.

 * Keadilan dan Solidaritas: Prinsip fundamental pembagian hasil yang merata.

 * Kehormatan: Pengakuan spiritual terhadap kekuatan alam.


Melalui Seloko Gajah, kita disajikan sebuah kearifan lokal yang abadi: kekuatan terbesar harus selalu tunduk pada keadilan, dan kebersamaan adalah fondasi yang jauh lebih kokoh daripada kekuasaan individual semata. Di Jambi, Gajah mengajarkan kita hidup bermasyarakat adalah tarian abadi antara hukum yang keras dan hati yang lapang.

17 Oktober 2025

opini musri nauli : Amanat Reformasi TNI: Dari Dwifungsi Menuju Profesionalisme


 
Reformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dimulai setelah tahun 1998 merupakan salah satu agenda terpenting dalam transisi menuju demokrasi di Indonesia. Inti dari gerakan ini adalah mengakhiri konsep Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan mengembalikan militer ke fungsi tunggalnya sebagai alat pertahanan negara yang profesional, non-politik, serta tunduk pada prinsip supremasi sipil dan hukum.

Progres Historis Reformasi TNI (1998–2007)


Upaya reformasi TNI berfokus pada tiga pilar utama: doktrin, struktur, dan kultur. Secara kelembagaan, TNI menunjukkan progres yang signifikan pada fase awal. Pencapaian fundamental adalah pemisahan TNI dan Polri (didasarkan UU No. 2/2002 dan TAP MPR No. VII/MPR/2000), yang secara jelas membatasi TNI pada fungsi pertahanan dan Polri pada fungsi keamanan.


Secara politik, reformasi ini berhasil dalam menarik militer dari arena legislatif melalui penghapusan Fraksi TNI/Polri di DPR/MPR pada tahun 2004, menjadikan netralitas militer sebagai komitmen formal. Landasan hukum supremasi sipil pun diperkuat dengan disahkannya UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Secara struktural, organisasi internal telah disesuaikan dengan menghilangkan peran sosial politik, seperti likuidasi Staf Kekaryaan dan Sospoldam.

Meskipun demikian, ada dua area penting yang menunjukkan progres lambat dan belum tuntas. 


Pertama, reformasi peradilan militer. Meskipun TAP MPR No. VII/MPR/2000 mengamanatkan anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum, realitasnya mereka masih tunduk pada UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer, menghambat akuntabilitas publik, terutama dalam kasus HAM. Kedua, amanat penghapusan bisnis TNI (Pasal 76 UU 34/2004) berjalan sangat lambat, menghadapi tantangan besar terkait akuntabilitas dan transparansi.


Stagnasi dan Pergeseran ke Arah Kemunduran (Kondisi Saat Ini)


Jika dibandingkan dengan semangat reformasi awal, kondisi TNI saat ini menunjukkan adanya sinyal stagnasi dan bahkan kemunduran dalam beberapa aspek kunci, terutama terkait hubungan sipil-militer dan non-politik.


Residu Dwifungsi melalui Jabatan Sipil dan OMSP: Amanat reformasi tegas membatasi peran TNI pada pertahanan. Namun, saat ini, muncul kecenderungan perluasan peran militer aktif di ranah sipil. Hal ini diperkuat dengan revisi UU TNI dan beberapa kebijakan yang memungkinkan perwira aktif menduduki jabatan sipil. Perluasan ini, yang sering disebut sebagai "multifungsi TNI," secara efektif mengembalikan militer ke dalam urusan birokrasi dan politik sipil. 


Selain itu, perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) ke dalam program-program sipil seperti ketahanan pangan, dipertanyakan karena mengaburkan fungsi utama pertahanan dan mengintervensi ranah sipil.


Akuntabilitas yang Belum Tuntas: Isu peradilan militer yang belum direformasi tetap menjadi ganjalan. Pengadilan militer yang masih berkuasa penuh atas kasus pidana umum yang dilakukan prajurit aktif adalah pengingkaran terhadap mandat reformasi dan menghambat upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan akuntabel.


Ancaman terhadap Supremasi Sipil: Perluasan jabatan sipil untuk militer aktif merupakan ancaman nyata terhadap prinsip meritokrasi dalam birokrasi dan supremasi sipil. Ini adalah residu Dwifungsi dalam bentuk baru yang membahayakan konsolidasi demokrasi.


Apakah Amanat Reformasi Sudah Sesuai?


Secara formal dan struktural, langkah awal reformasi TNI telah berhasil dengan dicabutnya Dwifungsi dan dihapusnya fraksi militer di parlemen. Namun, secara substansial dan kultural, reformasi TNI belum tuntas dan cenderung mengalami kemunduran dalam aspek non-politik dan akuntabilitas.


Cita-cita mewujudkan TNI yang sepenuhnya profesional, berjarak dari politik, dan tunduk pada supremasi sipil dan hukum terancam oleh munculnya multifungsi TNI dan lambatnya penyelesaian reformasi peradilan militer. Oleh karena itu, tantangan utama ke depan adalah memastikan konsistensi implementasi dari semangat reformasi awal serta mencegah arus balik yang dapat membahayakan kemajuan demokrasi yang telah dicapai Indonesia

16 Oktober 2025

opini musri nauli : 45 Tahun Walhi - Usia matang untuk agenda Lingkungan Hidup

 


Memasuki usia 45 Tahun usia Walhi, tidak dapat dipungkiri, usia yang matang. Usia yang telah memasuki proses yang panjang. 


Hampir setiap tahun, saya menyempat menghadiri Ulang Tahun Walhi di Jakarta. Entah memang pas ada agenda sembari mampir di Jakarta, atau memang sengaja menghadiri acara Ultah. 


Sebagai usia yang telah melewati proses yang panjang, tidak dapat dipungkiri, Walhi salah satu Organisasi nasional yang paling tertib menjalankan agenda-agenda Organisasi. Agenda rutin seperti PNLH, KNLH, Raker, PDLH, KDLH tetap dijadwalkan sesuai jadwal. Relatif bisa dilaksanakan. Sehingga sebagai Organisasi yang Sehat, agenda Organisasi tetap dilaksanakan. Sebuah proses yang tidak Mudah dilaksanakan sebagai Organisasi besar. 


Dengan anggota mencapai 500-an, 29 Walhi daerah, Tanpa Sadar Walhi telah membangun sistem yang kuat dan kokoh. Berhasil melewati tantangan zaman. Berhasil melewati berbagai krisis. 


Isu panas menjelang pemilihan Direktur menjadi “kawah candradimuka” sekaligus mendidik seluruh anggota agar tertib didalam melakukan proses elektoral. Proses demokrasi yang matang dan rutin berhasil menempatkan Walhi sebagai rumah demokrasi yang baik. Saya menggunakan istilah “miniatur Indonesia”. 


Berbagai isu miring, tuduhan tanpa dasar berhasil dilewati dengan baik. Sepanas apapun proses elektoral, namun ketika usai agenda pemilihan, kembali rukun, guyub bahkan bisa bercengkrama didepan kopi panas. Itu proses demokrasi yang Sehat. 


Secara pribadi, saya sering berhadapan pilihan politik di proses elektoral di Walhi. Namun ketika usai prosesnya, kembali “kongkow-kongkow” sembari tertawa melihat kegelian suasana pemilihan. Itulah demokrasi. Pilihan ditentukan sebagai manifestasi aspirasi, namun suasana kekeluargan tidak mungkin putus. Karena proses jaringan, proses kekeluargaan yang telah terbangun tidak mungkin berakhir disebabkan adanya pilihan berbeda. 


Sebagaimana kata-kata bijak dari leluhur, melewati usia 40-an dan memasuki usia 45, yang harus dilahirkan adalah pengetahuan di Walhi yang telah teruji melewati zaman. Sembari menelorkan berbagai pengetahuan juga harus menjadi tanggungjawab melahirkan pemikiran. Terutama berkaitan dengan lingkungan hidup, Alam sekitarnya dan peradaban Nusantara. 


Berbeda dengan mainstream yang menjadi pembicaran di berbagai kalangan, sebagai Organisasi mengikrarkan Lingkungan hidup di Indonesia, maka Sudah saatnya “refleksi” maupun “standing position” Organisasi menjadi “penting” untuk dirumuskan kembali. 



Saya merumuskan dengan memulai makna-makna simbolik dari Lingkungan hidup Indonesia. Secara Harfiah, dokumen tentang lingkungan hidup mudah ditelusuri dari berbagai regulasi. Namun apabila ditelisik lebih dalam, memahami lingkungan hidup Indonesia adalah “lingkungan hidup “di” Indonesia”. Dapat juga ditelusuri “lingkungan hidup” orang “Indonesia”. 


Memahami “lingkungan hidup di Indonesia” atau “lingkungan hidup di Indonesia”, maka membicarakan lingkungan hidup di Indonesia atau lingkungan hidup di Indonesia harus diletakkan konteksnya “bagaimana lingkungan hidup di Indonesia”. Atau “bagaimana lingkungan hidup” orang Indonesia. 


Tentu saja memahaminya kemudian dengan cara kembali ke tingkat tapak. Atau kembali ke basis. Bagaimana sih “masyarakat Indonesia” melihat, memperlakukan ataupun menempatkan lingkungan hidup sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. 


Saya selalu mengajak berangkat dari cara pandang masyarakat itu sendiri. Bagaimana masyarakat yang tinggal di hutan Melihat dan memandang hutan itu sendiri. 


Tentu saja “Kajian” yang berpijakkan dari masyarakat itu sendiri. Sebagai”irisan” penting justru cara pandang yang melihat lingkungan hidup selalu berangkat dari cara pandang “akademis” maupun literatur yang tersedia. Bahkan tidak tanggung-tanggung. Literatur barat yang selalu disebutkan “pemikiran barat”. Sebuah konsepsi maupun cara pandang yang justru bertentangan dengan alam pemikiran masyarakat itu sendiri. 


Alangkah baiknya untuk memahami bagaimana pandangan masyarakat nusantara, justru harus tetap berangkat dari cara pandang masyarakat itu sendiri. Merekalah yang paling paham dan justru menempatkan alam sekitarnya sebagai satu kesatuan ekosisistem yang utuh. Sekali lagi ekosistem yang utuh. 


Bukan menempatkan alam sekitarnya sebagai asset. Sebuah pertentangan yang justru tidak menempatkan pengetahuan masyarakat itu sendiri. 


Kegelisan saya, baik melihat regulasi, literatur maupun cara pandang yang bertentangan dengan masyarakat itu sendiri, sekali lagi “tidak menempatkan” pengetahuan masyarakat sebagai “basis argumentasi” untuk menjawab berbagai keresahan saya. 


Sebagai Organisasi “lingkungan hidup di Indonesia” maupun Organisasi lingkugan hidup orang Indonesia”, Walhi harus kembali ke standing awal. Menempatkan pengetahuan masyarakat sebagai “sumber pengetahuan” yang harus diusung. Menempatkan pengetahuan masyarakat sebagai basis standing melihat lingkungan hidup di Indonesia. 


Apabila Walhi tidak memainkan posisi dan sumber pengetahuan sebagai “awal” melihat persoalan lingkungan hidup di Indonesia, maka posisnya hanya “speaker” maupun “amplifier” dari regulasi maupun literatur yang bersilewaran yang menghiasi wacana publik. 


Dalam rentang melewati usia 45 tahun, tidak salah kemudian harapan senantiasa saya lekatkan di bendera Walhi. 


Sebelum menutup ide awal di usia 45 tahun, alangkah baik dan bijaknya ingatan selalu saya sampaikan. 


Yang paling tahu lingkungan hidup adalah masyarakat itu sendiri. Dan janganlah sesekali “orang luar” yang paling tentang lingkungan hidup dari masyarakat itu sendiri. 


Happy Birthday”. Tetapkah berkibar panji-panji bendera Walhi.  









   

13 Oktober 2025

opini musri nauli : Prinsip-Prinsip Hukum Perdata

 


Hukum perdata adalah cabang hukum yang mengatur hubungan antara individu atau entitas hukum yang bersifat pribadi. Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai landasan filosofis yang memandu pembentukan, penegakan, dan penyelesaian sengketa hukum perdata. Dengan memahami prinsip-prinsip ini, kita dapat menganalisis bagaimana hukum perdata bekerja untuk melindungi hak dan kewajiban warga negara.


Prinsip-prinsip hukum perdata yang mendasar mencakup beberapa aspek penting. Seperti Prinsip Kebebasan Berkontrak (Asas Kebebasan Berkontrak), Prinsip Kepastian Hukum, Prinsip Keadilan dan Kesetaraan, Prinsip Perlindungan Hak Pribadi dan Kepemilikan, Prinsip Tanggung Jawab Hukum (Responsabilitas) dan  Prinsip Itikad Baik (Good Faith). 


Prinsip Kebebasan Berkontrak (Asas Kebebasan Berkontrak): Prinsip ini memberikan kebebasan penuh kepada individu untuk membuat perjanjian. Mereka dapat menentukan isi, bentuk, dan syarat-syarat perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, atau ketertiban umum. Ini adalah inti dari hukum perjanjian yang menekankan otonomi pribadi. 

opini musri nauli : Seloko Datuk Belang


Masyarakat Melayu Jambi memiliki seloko yang secara khusus merujuk pada harimau, sering kali dengan sebutan "Datuk belang" sebagai bentuk penghormatan. Panggilan ini digunakan karena nama asli harimau dianggap tabu.


Sistem kepercayaan masyarakat Melayu Jambi terhadap harimau tercermin dalam beberapa seloko, yang menunjukkan penghormatan dan pengakuan atas keberadaan hewan ini. Seloko tersebut memperlihatkan harimau sebagai simbol kekuatan dan figur yang dihormati, bahkan dihubungkan dengan konsep kepemimpinan dan sanksi adat.

opini musri nauli : Prinsip Hukum Pidana

 


Didalam hukum Pidana dikenal prinsip-prinsip hukum Pidana. Walaupun kadangkala prinsip bersinggungan dengan asas namun didalam penerapannya kemudian dikenal prinsip. 


Prinsip itu seperti prinsip legalitas, kesalahan, teritorial, nasional aktif/pasif, universal dan prinsip persamaan dimuka hukum. 


Prinsip Legalitas merupakan yang paling fundamental, menegaskan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali telah diatur dalam undang-undang yang berlaku sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Prinsip ini melindungi warga negara dari tindakan sewenang-wenang oleh negara dan menjamin kepastian hukum. Sehingga didalam penerapannya, Hukum pidana tidak dapat berlaku surut (non-retroaktif), dan hakim dilarang menggunakan analogi untuk mengkriminalisasi perbuatan baru.

12 Oktober 2025

opini musri nauli : Potensi yang Tersembunyi: Esensi Sejati Seorang Pemimpin

 


Setiap insan adalah harta karun. Jauh di dalam diri kita, terpendam mutiara potensi yang menunggu untuk ditemukan dan diasah. Seringkali, harta karun ini tersembunyi di balik rasa minder, ketidakpastian, atau bahkan ketidaksadaran akan kemampuan diri sendiri. Begitu banyak orang yang hidup dengan "rem tangan" terpasang, tanpa menyadari kekuatan luar biasa yang mereka miliki.


Di sinilah peran sejati seorang pemimpin hadir. Seorang pemimpin bukanlah sekadar figur yang memimpin sebuah tim atau organisasi, melainkan seorang pemburu potensi. Dengan mata yang tajam dan hati yang peka, ia mampu melihat kilau yang tersembunyi dalam diri setiap anggota timnya. Ia melihat bukan hanya apa yang ada, tetapi juga apa yang bisa mereka capai.


Seorang pemimpin sejati tidak akan membiarkan potensi itu terkubur. Ia akan menciptakan lingkungan yang subur untuk pertumbuhan. Ia memberikan kesempatan, bukan sebagai hadiah, melainkan sebagai lahan uji coba. Ia memberikan waktu untuk bereksperimen, gagal, dan bangkit kembali. Ia menguji batasan, mendorong setiap individu untuk melampaui zona nyaman mereka, dan menemukan kekuatan yang tidak pernah mereka bayangkan.