SAKSI DAN KESAKSIAN
(Tanggapan Terhadap kasus Rahmat Hidayat dan Elza Syarief)
Luar biasa. Kata-kata ini penulis sampaikan terhadap persidangan Hutomo Mandala Putra atau yang lebih dikenal Tommy Soeharto.
Seorang putra kesayangan Soeharto mantan Presiden Indonesia yang ternyata mampu membuat ahli hukum berbeda pendapat dan menyadari bahwa hukum terlalu jauh dari ketinggalan percepatan penegakan hukum.
Mungkin masih ingat dibenak kita ketika persidangan terhadap Tommy Soeharto yang didakwa telah melakukan Buloggate dalam Ruislag dengan Goro Betara Sakti yang kemudian menyeret Tommy harus dihukum 1 tahun delapan bulan bersama Ricardo Gelael.
Pada saat itulah dunia hukum dikejutkan dengan kaburnya Tommya yang menolak menjalani eksekusi tersebut.
Ketika waktu yang bersamaan kemudian Tommy mengajukan grasi (yang secara harfiah mengaku dengan meminta keringanan hukuman) namun disaat yang lain Tommy juga mengajukan Peninjauan Kembali (yang lebih dikenal PK atau herzeining yang berarti secara harfiah menolak keputusan tersebut dan melakukan perlawanan luar biasa sebagaimana ditentukan KUHAP).
Walaupun tidak diatur bagaimana ketentuan apakah dibenarkandidalam KUHAP setelah seseorang mengajaukan graji kemudian mengajukan PK, namun dua aliran ahli hukum berdebat.
Aliran yang mengaku sebagai penegak ketentuan KUHAP menyatakan bahwa apabila tidak diatur didalam ketentuan KUHAP maka secara hukum pengajuan grasi dan PK tidaklah dilarang.
Sementara sebagian ahli hukum lain berpendapat bahwa secara prinsip apabila seseorang yang mengajukan grasi maka dapat ditafsirkan bahwa secara prinsip telah mengakui sehingga apabila pengajuan grasi telah dilakukan tidaklah tepat kemudian kemudian PK-nya diterima.
Perdebatan ini hingga sekarang belum berakhir. Bahkan didalam putusan PK-nya MA kemudian menimbulkan polemik semakin melebar setelah majelis hakim PK mengabulkan permohonan PK dengan alasan bahwa baik grasi maupun Peninjauan kembali adalah hak terpidana.
Bedanya “grasi” merupakan hak preogratif Presiden, sedangkan PK merupakan kewenangan MA.
Dan keduanya tidak ada korelasi hukum atas substansi putusan (lihat Putusan Mahkamah Agung No. 78 PK/Pid/2000 tanggal 1 Oktober 2001).
Bahkan kemudian putusan PK MA tersebut menyatakan bahwa Tommy Soeharto hanya berkedudukan sebagai komisaris, bahkan sejak tanggal 8 September 1996 tidak lagi menjadi komisaris sehingga segala perbuatan yang dilakukan dan diduga melawan hukum oleh Direktur Utama PT. Goro Betara Saksi adalah tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada Tommy Soeharto sesuai dengan pasal 100 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995.
Keputusan yang memancing reaksi publik, karena majelis hakim tidaklah berlatar belakang hakim pidana juga menganggap bahwa pengajuan PK tidaklah tepat disampaikan karena tidak adanya bukti baru (novum) sebagaimana didalam putusan PK tersebut.
Karena alasan tidaklah bertentangan dengan pasal 100 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995 tersebut telah disampaikan didalam persidangan di pengadilan pertama yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Apapun putusan PK tersebut ternyata juga menimbulkan perdebatan hukum terhadap status Tommya yang buron ketika putusan PK hendak dilaksanakan. Apakah Tommy harus menjalani dulu 1 tahun 6 bulan sebagaimana didalam putusan Kasasinya atau tidak perlu menjalani sebagaimana putusan bebas dari majelis Hakim PK.
Sementara di luar proses hukum tadi, hakim yang telah memberikan putusan akhir 1 tahun 6 bulan penjara kepada Tommy kemudian tewas ditembak oleh orang-orang yang mengaku disuruh Tommy.
Tuduhan ini jugalah yang kemudian menyeret Tommy hingga kita tunggu persidangannya.
Selain itu juga Rangkaian kejadian tersebut juga menyeret adanya insiden di Borobudur Hotel yang disebut-sebut adanya dugaaan “suap” milyaran rupiah dalam usaha memuluskan pengajuan grasi yang juga melibatkan tokoh penting di Indonesia.
Nah ketika rangkaian kejadian hukum itu silih berganti, terutama kemudian Tommy mulai disidangkan dalam beberapa tuduhan seperti kepemilikan senjata api illegal, pembunuhan hakim agung maka persidangan terhadap Tommy itu sendiri terlalu sayang untuk kita lewatkan.
Belum selesainya sidang tersebut ternyata mulai meminta korban yaitu Rahmat Hidayat dan Elza Syarief yang dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya dalam tuduhan suap dan keterangan palsu.
Dari kejadian inilah penulis hendak menawarkan pemikiran-pemikiran untuk kita diskusikan.
Menurut KUHAP Fakta-fakta persidangan adalah fakta-fakta berupa keterangan saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan di sidang pengadilan. Yang dimaksudkan dengan keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan di muka persidangan.
Harus diperhatikan apakah keterangan tersebut sama dengan keterangan yang diberikan di muka pejabat yang berwenang.
Apakah keterangan yang diberikan dihadapan Penyidik maupun keterangan di hadapan Jaksa Penuntut Umum. Keterangan tersebut dibuat dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Apabila saksi yang telah memberikan keterangan tersebut mencabut keterangannya, maka haruslah mempunyai alasan yang cukup untuk mencabut keterangan itu.
Sedangkan keterangan yang diberikan di muka persidangan itulah yang menjadi alat bukti sebagaimana ditentukan dalam pasal 184 KUHAP. Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan benar-benar mengalami, melihat dan mendengar sendiri. Keterangan itu adalah keterangan yang menjelaskan tentang peristiwa pidana. Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan keterangan saksi.
Sedangkan Keterangan yang didapat dari orang lain tidak dapat menjadi alat bukti yang sah (Testimonium de audito Penjelasan Pasal 185 KUHAP)
Satu orang yang menjadi saksi tidaklah dapat dijadikan alat bukti bagi majelis hakim untuk memutuskan tentang kebenaran peristiwa itu terjadi. Hakim haruslah mendengarkan mininal 2 (dua) orang saksi (Unus Testis Nullus Testis) sebagaimana diatur dalamPasal 185 ayat (2).
Namun berdasarkan Putusan MA register No. 81 K/Kr/1956 tanggal 9 November 1957, “Jika terdakwa di sidang pengadilan negeri telah mengaku atas segala yang didakwakan (dituduhkan) kepadanya, maka oleh karena itu hakim cukup mendengar seorang saksi saja”.
Kemudian haruslah diperhatikan tentang keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain. Apakah saling mendukung, berhubungan, mempunyai jalinan peristiwa yang terjadi dan apakah keterangan itu bertentangan satu dengan keterangan yang lain.
Hubungan antara keterangan saksi dengan keterangan terdakwa. Apabila keterangan itu berbeda, karena terdakwa mempunyai hak ingkar (hak untuk menolak keterangan saksi dan mengingkari tuduhan jaksa.
Dan juga tidak disumpah), maka hakim akan memperhatikan keterangan saksi. Berdasarkan atas pasal 47 jo pasal 52 Landgerecht Reglement keterangan dari seorang saksi yang diberikan di hadapan Magistrat Pembantu, yang dibacakan di sidang Pengadilan Negeri, adalah suatu alat pembuktian yang sah.
Putusan Mahkamah Agung No. 167 K/Kr/1956 tanggal 15 April 1957.
Kecuali Terdakwa mampu menghadirkan saksi yang meringankan (saksi ade charge).
Saksi memang penting.
Namun pertanyaannya, apakah aturan hukum di Indonesia dapat melindungi para saksi dari terdakwa atau petugas hukum yang merasa dirugikan ?.
Dalam KUHAP hak-hak saksi ternyata belum diakomodir secara serius. Memang ada delik-delik untuk melindungi saksi.
Tapi itu tersebar di berbagai pasal dan sebagian besar terkait dengan kewajiban seorang saksi dalam pemeriksaan di pengadilan. Pasal tentang saksi antara lain mengatur tatacara pemeriksaan saksi di persidangan, kualitas keterangan saksi dan saksi ahli.
Pasal 159 KUHAP misalnya sebelum hakim memeriksa saksi, ia harus lebih dulu meneliti apakah semua saksi sudah hadir di persidangan atau belum. Lalu hakim wajib menanyakan identitas saksi.
Tujuannya agar keaslian saksi bisa dipertanggungjawabkan, dan bukan kesaksian palsu. Secara sepintas, pasal 41 ayat 2 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang disinggung soal hak-hal perlindungan bagi pihak yang mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi.
Sayang, bentuk dan mekanisme perlindungan itu tidak dijelaskan secara lebih spesifik. Demikian pula yang terdapat di UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Bagaimanapun sejumlah aturan tersebut masih jauh dari memadai.
Lantas bagaimana dengan keterangan saksi yang diberikan oleh Rahmat Hidayat terhadap persidangan Tommy Soeharto.
Menurut penulis bahwa keterangan yang diberikan dipersidangan itulah yang dijadikan hakim untuk memberikan pertimbangan apakah keterangan itu palsu atau tidak.
Dan hakim mempertimbangkan keterangan tersebut untuk dianalisis melihat fakta-fakta persidangan. Dan hakim mempunyai wewenang untuk menentukan apakah kesaksian yang dianggap palsu tersebut kemudian dapat dilakukan delik sebagaimana diatur didalam KUHP.
Bukankah sebaiknya justru kesaksian di depan polisi itulah yang dianggap palsu sehingga polisi dapat melakukan penyidikan sebagaimana wewenangnya.
Lantas bagaimana dengan tuduhan bahwa Elza Syarief yang telah melakukan penyuapan terhadap saksi.
Menurut hemat penulis terhadap tuduhan tersebut, sudah saatnya kita serahkan kepada proses hukum yang ada.
Yang menjadi titik perhatian kita adalah bahwa sesuai dengan prinsip etika profesi Penasehat Hukum apabila seseorang Penasehat Hukum yang dituduh melakukan perbuatan pidana maka seluruh Penasehat Hukum haruslah membelanya (mendampingi) tanpa biaya. Inilah yang harus menjadi penghormatan kita terhadap penegakan hukum dan penghormatan profesi.
Tak usahlah kita berdebat tentang analisis hukumnya. Lebih baik kita tunggu di persidangan yang secara fair akan melihat bagaimana tuduhan polisi tersebut.
Justru penegak hukum termasuk penasehat hukum sendiri mendorong terhadap penegakan hukum tersebut.