Ribut-ribut kedua daerah yang sebenarnya merupakan satu rumpun Melayu itu sempat menarik perhatian masyarakat baik Indonesia maupun di Pulau Sumatera.
Ini penulis rasakan ketika mengikuti “Seminar anti KKN Regional” di Medan beberapa waktu yang lalu. Hampir seluruh peserta dari daerah-daerah lain ingin mengetahui bagaimana posisi Jambi sehingga berhak sebagai ahli waris sah dari Pulau Berhala.
Selain karena penulis tidak mempunyai kapasitas untuk menjelaskan, juga penulis sendiri tidak tertarik dengan perdebatan itu.
Terlepas benar atau tidak, penulis tak mempunyai energi untuk menbahas sengketa itu.
Sekarang Propinsi Jambi kembali “ribut” dengan Sumatera Selatan dalam menentukan posisi kayu yang telah berhasil ditemukan tim rasia terhadap penebangan yang diduga dilakukan di hutan Taman Nasional Berbak.
Walaupun ribut-ribut ini sebenarnya penulis tidak juga ingin ikut nimbrung, namun ada hal yang menggelitik penulis untuk memberikan tanggapan dalam rangka menyelesaikan sengketa ini dari sudut hukum.
Ketertarikan penulis adalah bermula ketika Kapolda Jambi yang mengeluarkan statement bahwa akan “mengusut pelaku illegal logging di TNB” sebagaimana telah dimuat di Tanjab Post, tanggal 3-9 Juni 2002, Edisi No. 39/Tahun 1.
Sebagai sebuah pernyataan aparat penegak hukum, sudah semestinya statement itu haruslah didukung oleh kita semuanya. Didalam penjelasannya, Kapolda Jambi berpendapat bahwa Kapolda Jambi bersama dengan Gubernur Jambi tidak akan mempermasalahkan dimana kayu itu ditebang dan ditangani di Palembang atau di Jambi.
Catatan penting ini sengaja penulis sampaikan sebagai sebuah perhatian untuk membuktikan kinerja Polda Jambi nantinya.
Didalam hukum, waktu (tempus dictie) dan tempat (locus) mempunyai posisi yang akan menimbulkan akibat hukum. Pasal 143 (2) KUHAP yang berbunyi : Surat dakwaan berisi uraian mengenai perbuatan yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat perbuatan itu dilakukan yang apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum.
Sudah tentu pembuat UU menghendaki supaya tindak pidana yang dituduhkan terhadap seseorang tidak hanya diuraikan unsur-unsurnya akan tetapi juga harus dinyatakan waktu dan tempat perbuatan itu dilakukan (tempus et locus dictie).
Untuk pembelaan, penting sekali terdakwa mengetahui prbuatan apa yang dituntutkan dan dimana dan kapan perbuatan itu dilakukan. Juga dalam putusan pengadilan kedua fakta itu harus dicantumkan dalam keterangan pembuktian (pasal 359 ayat (1) KUHAP).
Akan tetapi di samping itu untuk beberapa persoalan hukum pidana, penting sekali bahwa tempat dan waktu delik dilakukan sedapat mungkin dipastikan.
Waktu delik dilakukan penting antara lain
1. berlakunya pasal 1ayat (1) dan (2) KUHP;
2. semua peristiwa dalam mana umur si pelaku atau si korban memainkan peranan pada waktu melakukan perbuatan itu.
Misalnya dalam hukum pidana anak-anak mengenai persoalan apakah si pelaku sudah dewasa atau belum, dan dalam delik pelanggaran kesusilaan mengenai umur si korban;
3. Daluarsa dari perbuatan dan kewenangan menjalankan pidana (pasal 78 – 85 KUHP);
4. semua peristiwa, di mana perbuatan itu dapat dipidana jika dilakukan pada waktu perang, misalnya pasal 100 ayat (2) dan 102 – 105jis 87 ayat (3) KUHP;
5. pertanyaan apakah berurusan dengan pengulangan melakukan tindak pidana (pasal 421 – 423 KUHP);
6. penentuan tentang recidive (pasal 486 – 488 KUHP);
7. apakah si pelaku waktu melakukan perbuatan menderita gangguan jiwanya cacat daalam pertumbuhannya (pasal 37 dan 37 a KUHP);
8. apakah misalnya pencurian dan mengganggu ketentraman tetangga pada waktu yang ditentukan untuk tidur malam atau hal yang memberatkan (pasal 363 KUHP misalnya);
Tempat dimana perbuatan dilakukan sangat penting diperhatikan antara lain untuk :
1. kewenangan relatif hakim (pasal 137, 148 dan 149 jo pasal 84 KUHAP);
2. ruang lingkup berlakunya undang-undang pidana (pasal 2- 9 KUHP);
3. terhadap siapa berlakunya hukum KUHP.
Misalnya tempat perbuatan itu dilakukan, diatas kapal perang;
4. semua peristiwa dimana perbuatan dilakukan di tempat yang terlarang, misalnya pasal 80, 98c ayat (1) 3e dan 429 KUHP;
5. peristiwa dimana untuk dapat dipidana suatu perbuatan diperlukan bahwa perbuatan itu dilakukan “dimuka umum (pasal 154, 156, 156a, 160, dan pasal 170 KUHP);
6. peristiwa dimana untuk dapat dipidana suatu perbuatan diperlukan bahwa tindakan itu dilakukan ditempat seorang pejabat pemerintah didepan umum menjalankan tugasnya yang sah;
7. semua peristiwa dimana suatu perbuatan dari suatu korporasi rendahan hanya meliputi daerah yang terbatas.
Kesalahan Penyidik di awal pemeriksaan terhadap tersangka yang kemudian diteruskan oleh Jaksa Penuntut Umum didalam uraian dakwaannya dalam menentukan waktu dan tempat terhadap perbuatan itu dituduhkan terhadap terdakwa mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum dan terdakwa bebas demi hukum (Vrijpaark). Karena dengan penentuan posisi hukum menentukan waktu dan tempat itulah yang menjadi dasar terhadap pemeriksaan terdakwa di persidangan. '
Penentuan waktu dan tempat itulah yang menjadi dasar pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum, menjadikan dasar kepada terdakwa atau Penasehat Hukum ataupun hakim didalam memeriksa perkara dan memutuskan perkara tersebut.
Dari penjelasan sebelumnya, maka merupakan pertanyaan yang harus dijawab pula secara hukum pengadilan negeri mana pula yang berwenang akan mengadili perkara ini.
Apakah pengadilan negeri Kuala Tungkal ataukah pengadilan negeri Musi Banyu Asin.
Apabila perkara ini kemudian masuk ke pengadilan yang dianggap tempat terjadinya perbuatan pidana itu ternyata pengadilan itu kemudian memutuskan tidak berwenang mengadili karena berdasarkan pasal 143 ayat (2) KUHAP, maka pelaku bebas.
Berdasarkan uraian sebelumnya maka penulis berpendapat bahwa ketentuan waktu dan tempat terjadinya perbuatan pidana haruslah dirumuskan dengan tegas berdasarkan fakta-fakta kejadian dilapangan.
Dari analisa dilapangan itulah instansi Kehutanan sebagai aparatur Penyidik dapat menentukan bahwa waktu dan tempat kejadian itu yang kemudian dirumuskan secara hukum sehingga pernyataan Kapolda Jambi didukung pula secara hukum.