“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”
Pada hari Senin dan selasa (9 – 10 Oktober 2006) yang lalu, Pengadilan Negeri Jambi telah memeriksa persidangan permohonan Peninjauan Kembali yang disampaikan oleh terdakwa dalam kasus Pidana Pembunuhan Suku anak dalam Akhir tahun 2000 yang lalu. Persidangan pemeriksaan peninjauan kembali (PK) termasuk persidangan yang langka. Sehingga menarik perhatian masyarakat. Peristiwa itu menarik perhatian selain karena korbannya adalah Suku Anak Dalam, hukumannya yang dijatuhkan kepada para pelaku adalah hukuman mati. Jenis bentuk hukuman yang secara normatif masih berlaku dan diatur didalam pasal 10 KUHP.
Permohonan PK yang disampaikan oleh terdakwa merupakan hak yang telah diatur didalam pasal 263 ayat (2) KUHAP. Diskusi tentang Peninjauan Kembali menarik untuk didiskusikan dimana latar belakang terhadap lahirnya dipengaruhi terhadap pembunuhan yang dilakukan oleh Sengkon dan Karta. Keduanya kemudian ternyata tidak terbukti membunuh namun dilakukan orang lain. Namun keduanya tidak dapat dibebaskan akibat hukuman mati.
Walaupun secara normatif, pengajuan PK merupakan Hak yang melekat pada diri terdakwa, namun dalam perkembangan selanjutnya, MA pernah menerima permohonan PK yang disampaikan oleh Jaksa Agung dalam perkara kerusuhan Medan dengan terdakwa Muchtar Pakpahan dan kasus Gandhi Memorial Schoool.
Dari perspektif Filosofi, bahwa kebenaran itu adalah penilaian atau kebenaran relatif. Karena kebenaran yang mutlak hanya milik yang kuasa.
Namun diskusi yang penulis tawarkan pada saat ini, bukanlah mengenai Peninjauan Kembali. Karena tema ini sebenarnya sudah termuat didalam berbagai ketentuan didalam KUHAP. Namun tema yang ditawarkan adalah mengenai hukuman mati.
Sebelum pemeriksaan persidangan pengajuan PK oleh pelaku pembunuhan Suku anak dalam, masih segar dalam ingatan kita, diskusi tentang hukuman mati. Belum hilang wacana hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva dalam kasus kerusuhan Poso dan eksekusi terhadap Amrozy dkk didalam peristiwa Bom Bali I, Mahkamah Agung memvonis mati enam anggota sindikat Bali Nine yakni Scott Anthony Rush (21), Myuran Sukumaran (24), Andrew Chan (21), Duch Than Nguyen (23) , Si Yi Chen (20 dan Mathew Norman (19). Sekali lagi kita mewacanakan hukuman mati menjadi persoalan pelik di Tanah Air.
Hukuman mati terlepas dari pro dan kontra, menjadi persoalan yang cukup hangat dibicarakan. Dari berbagai liputan media massa, hukuman mati telah banyak dibahas dari berbagai aspek. Baik itu aspek yuridis formil, sosiologis, ekonomis, budaya, agama dan berbagai aspek lainnya.
Namun dari berbagai kajian tersebut, wacana hukuman mati tetap hangat dibicarakan. Apabila kita mau sejenak menoleh ke belakang, Hukuman mati termasuk pidana pokok sebagaimana diatur didalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP). Sedangkan perbuatan pidana yang memuat ancaman hukuman mati dapat kita perhatikan didalam pasal-pasal di KUHP dan berbagai ketentuan yang tersebar di berbagai UU diluar KUHP.
Didalam KUHP dapat dilihat didalam Pasal 104, 111 ayat (2) , 124 Ayat (3), 140 ayat (3), 365 ayat (4), pasal 444, pasal 479 ayat (2) huruf k, dan pasal 479 ayat (2) huruf o, yang berkaitan dengna kejahatan terhadap negara atau makar yang biasa dikenal dengan tuduhan pasal Hatzakai Artikelen dan pasal 340 kejahatan terhadap nyawa.
Sedangkan diluar KUHP dapat dilihat didalam berbagai UU seperti Pasal 59 UU (1) UU. No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Pasal 80 (1), Pasal 82(1) UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. UU Korupsi juga mengatur tentang Hukuman mati sebagaimana diatur didalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Junto UU No. 20 Tahun 2001. Didalam tindak pidana terorisme juga mengatur tentang hukuman mati.
Apabila kita perhatian ketentuan normatif yang mengatur pidana mati, maka dapat dinyatakan, bahwa secara normatif, pidana mati masih menjadi bagian dari proses pemidanaan di Indonesia.
Namun yang dilupakan, bahwa walaupun secara normatif, hukuman mati masih diatur didalam KUHP dan diluar KUHP, secara prinsip hukuman mati tidak dapat dibenarkan apabila dilihat dari konteks HAM.
Sebelum penulis menguraikan ketentuan normatif HAM, didalam melihat konteks membicarakan HAM, kita dapat melihat prinsip dasar didalam UU No. 26 Tahun 2000. Prinsip dasar tersebut yaitu :
a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh penciptaNya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;
b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
c. bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;
Apabila kita lihat Pasal 1 ayat (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA menyatakan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Selanjutnya Pasal 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”
Sedangkan pasal 9 ayat (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”.
Begitu pentingnya, hak yang mendasar tentang “Hak untuk hidup”, maka “dengan alasan apapun dan oleh siapapun”, hak tersebut tidak dapat dikurangi apalagi dirampas. Dalam konteks ini, sudah semestinya, Pemerintah harus mampu membuktikan tekadnya menegakkan HAM dengan mengeliminir seluruh ketentuan yang masih mengatur tentang pidana mati.
Jambi Ekspres, 12 Oktober 2006