CATATAN HUKUM PUTUSAN MA TERHADAP POLLYCARPUS
STAR Batanghari, 11 Oktober 2006
Dalam beberapa hari terakhir ini, Indonesia “dikejutkan” dengan berita “MA menjatuhkan penjara 2 tahun terhadap Pollycarpus”.
Makna kata “dikejutkan” dapat diterjemahkan secara hukum dan akal sehat (human sence).
Secara hukum, putusan tersebut tentunya sudah dikaji oleh Hakim Agung yang telah memeriksa dan mengadili perkara itu di tingkat Kasasi.
Walaupun dalam ranah ini, penulis membuka ruang untuk membahasnya dari perspektif hukum (baik itu hukum pidana, hukum acara pidana dan tentu saja dari kajian normatif yang melatar belakangi terjadinya putusan tersebut). Namun dari akal sehat, putusan itu tidak usah penulis komentari karena selain penulis tidak ingin masuk kedalam ranah tersebut, akal sehat kita hanya berucap “Memang Munir telah mati”.
Dan akal sehat juga menyatakan pasti “ada Pembunuhnya”.
Hampir 2 tahun yang lalu, penulis pernah menulis opini yang dimuat di Jambi Ekspress tanggal 9 Desember 2004 yang berjudul “KEMATIAN MUNIR, KEMATIAN HAM ?.
Otokritik Pengungkapan kasus HAM di Indonesia.
Kiprah Munir berangkat dari investigasi “hilangnya” aktivis pro demokrasi. Investigasi yang mencoba menyusuri jejak aktivis pro demokrasi tersebut, ternyata menuai dan membentur tembok. Investigasi yang dilakukan Munir cs merekomendasikan titik balik yang tak pernah terpikirkan oleh Munir sendiri dengan berhadapan pasukan elite militer di Indonesia, Kopassus.
Rekomendasi ini ternyata memberikan amunisi baru kepada investigasi yang dilakukan oleh Munir.
Ternyata hilangnya aktivis prodemokrasi merupakan persoalan politik yang langsung berhadapan dengan penguasa tertinggi dan jajaran elite disekitarnya. Kasus ini kemudian terbongkar, dan jajaran yang selama ini tidak tersentuh dengan hukum diseret ke Pengadilan Militer dan kemudian dipecat.
Nama Munir kemudian melambung dan menyentak perhatian publik yang selama ini tidak yakin upaya investigasi yang dilakukan oleh Munir. Munir-pun kemudian menjadi sorotan nasional bahkan internasional. Foto-fotonya terpampang di berbagai media elite dunia.
Dunia-pun mengakuinya dengan penghargaan Award right. Tiba-tiba dunia mengubahnya dan Munir-pun menjadi Ikon gerakan HAM di Indonesia. Julukan-pun diberikan.
Tokoh muda yang akan memimpin masa depan, tokoh yang mengubah sejarah. Dan berbagai harapan dunia terhadap kiprah Munir. Pergulatan Munir-pun melampaui pendahulu-nya, Generasi intelektual HAM seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Maka satu demi satupun, kasus HAM mulai disoroti publik. Pelanggaran HAM Tim-tim, pelanggaran HAM Tanjung Priok, pelanggaran 30 September 1965 dan pelanggaran HAM lainnya.
Publik-pun berharap agar kasus ini dapat terkuak.
Peran yang dilakukan Munir-pun kemudian membuat wacana dikalangan intelektual hukum mengakui adanya dimensi baru sehingga pelanggaran HAM diberi ruang didalam sistem hukum Indonesia dengan adanya Peradilan HAM dan mulai disidangkannya berbagai kasus pelanggaran HAM.
Semangat untuk melihat dimensi HAM-pun merebak kemana-mana. Pendidikan baik di Kepolisian dan militer diberi muatan HAM.
Berbagai persoalan politik tidak dapat dipisahkan dari wacana HAM. Setiap tindakan aparat hukum menggunakan alas dasar HAM. Tiba-tba semua rakyat merasakan mendapatkan perlindungan langsung dari penegakan HAM. Semua dapat berbicara kritis dan berorganisasi dan hak-hak sebagaimana diatur didalam prinsip dasar.
2 tahun pula berlalu kematian Munir.
Selama 2 tahun, penulis berharap adanya kepastian terhadap pembunuh Munir. Selama 2 tahun penulis juga berharap misteri ini bisa terungkap.
Namun yang menjadi harapan penulispun menjadi sirna.
Putusan MA yang menjatuhkan putusan 2 tahun kepada Pollycarpus bermula dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 20 Desember 2005 “menyatakan Pollycarpus melakukan perbuatan pidana turut melakukan pembunuhan berencana” yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain”.
Hukuman seumur hiduppun dijatuhkan kepada Pollycarpus. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian menguatkan dalil namun hanya menghukum selama 14 tahun. MA hanya mampu membuktikan terjadinya memalsukan surat dinas dan menjadi 2 tahun penjara.
Terlepas dari putusan MA tersebut, ada beberapa catatan yang dapat menambah kekayaan khazanah kasus terbunuhnya Munir dari perspektif Hukum.
Pertama, bahwa MA telah membuat putusan yang tidak termasuk dalam ruang lingkup untuk kasasi. Sebagaimana diatur dalam pasal 253 ayat (1) KUHAP, bahwa MA hanya menentukan (a) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan sebagaimana mestinya; (b) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; (c) apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya;
Untuk memperkuat analisis yang disampaikan, berdasarkan yurisprudensi No. 108 K/Kr/1974 Tanggal 26 Oktober 1976, menyatakan “Penilaian relevansi dari pada saksi-saksi yang akan didengar adalah wewenang judex facti. (Judex factie adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).
Dengan demikian MA tidak berwenang untuk menilai tentang fakta persidangan. Selain itu Yurisprudensi No. 75 K/Kr/1975 Tanggal 30 Juni 1976 menyatakan, “karena pada hakekatnya mengenai hasil pembuktian, jadi mengenai penghargaan dari suatu kenya¬taan dan keberatan serupa itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksa¬an pada tingkat kasasi”. (i.c. perkara pasal 418 K.U.H.P.).
Kedua. Bahwa disenting opinion yang disampaikan Hakim Agung Artidjo Alkostar menarik untuk didiskusikan dalam rangka membuka tirai misteri kematian Munir.
Paparan yang disampaikan bahwa “mengapa Pollycarpus memalsukan surat perjalanannya, memberikan tempat duduk kepada Munir”, menurut pendapat penulis belum memberikan petunjuk apalagi bukti tentang adanya kesalahan yang dilakukan oleh Pollycarpus.
Selain itu juga paparan yang disampaikan oleh Hakim Agung Artidjo termasuk ruang lingkup penilaian dari fakta persidangan yang tidak termasuk didalam pembahasan di tingkat kasasi.
Asumsi-asumsi ini tentu saja memberikan ruang untuk mengorek terhadap kematian Munir.
Yang pasti ditemukan jawabannya adalah bahwa Munir telah ditemukan mati didalam tubuhnya ditemukan Arsenik.
Pertanyaan sederhana sebenarnya untuk ditemukan jawaban. Yang menjadi sulit pembuktiannnya adalah siapa yang menjadi pembunuhnya. Apakah asumsi-asumsi yang disampaikan oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar dapat memperkuat terhadap peran Pollycarpus.
Asumsi-asumsi yang disampaikan oleh Hakim Agung Artidjo sebenarnya merupakan pertanyaan-pertanyaan umum yang memerlukan jawaban hukum, bukan pula jawaban-jawaban asumsi-asumsi. Hukum itu harus pasti (setidak-tidaknya dari sudut pandang ketentuan).
Hakim yang mengadili di tingkat kasasi, sebenarnya tidak menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Maka terhadap putusan tersebut setidak-tidaknya hakim masih meyakini terhadap suatu adagium ‘LEBIH BAIK MEMBEBASKAN SERIBU ORANG YANG BERSALAH DARIPADA MENGHUKUM ORANG YANG TIDAK BERSALAH”.
Atau menggunakan dalil yang masih menjadi taraf minimal dalam penghukuman yaitu “apabila ragu-ragu terhadap fakta kesalahan seseorang, maka lebih baik dibebaskan.
Yang pasti terhadap kematian Munir tidak ada saksi yang melihat terhadap perbuatan pelaku. Dan tentu saja pembuktian ini tidak dapat memenuhi alat bukti sebagaimana diatur didalam pasal 184 KUHAP.
Dengan pemikiran inilah sebenarnya hakim di tingkat kasasi sulit untuk menerima pendapat dari Hakim agung Artidjo. Atau dengan kata lain disenting opinion yang disampaikan oleh Artidjo Alkostar,
Fakta-fakta yang disampaikan di muka persidangan tersebut Lemah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dari perspektif ini, penulis lebih meyakini bahwa Hakim Agung yang mengadili di tingkat kasasi tunduk kepada konsep pemikiran positivisme, artinya apa yang diatur didalam UU maka itulah yang menjadi hukum.
Ketiga.
Terhadap upaya yang mesti dilakukan, menurut penulis kita kembali Pemeriksaan terhadap kematian Munir haruslah jauh dari interpretasi politik ataupun intervensi diluar konteks pembuktian pelaku kematian Munir. Sudah seharusnya pemeriksaan terhadap kematian Munir dimulai dari awal.
Penulis masih meyakini bahwa Polri mampu mengungkapkan kematian Munir. Upaya-upaya lain seperti Peninjauan Kembali walaupun masih dimungkinkan (dalam berbagai pendapat, ada yang setuju namun sebagian besar menolak), selain menyita energi, juga tidak mendidik ke masyarakat.
Upaya Peninjauan Kembali merupakan hak terdakwa. Maka sudah semestinya, hak tersebut tidak dirampas dengan dalih apapun.