15 Desember 2007

opini musri nauli : Issu Daging Babi dalam Bingkai Islah




Jambi Ekspres, 15 Desember 2007 


Dalam kolom Opini yang berjudul ‘KERANCUAN ISLAH BAKSO BABI” disampaikan oleh Hermanto Harun, Jambi Ekspress 15 Desember 2007, penulis ingin rembug untuk menanggapinya. 


Keinginan penulis didasarkan dari beberapa pemahaman yang keliru didalam kita melihat kasus ini. 


Tentu saja tidak meletakkan posisi kasus ini dalam posisi yyang menentukan salah atau benar para pihak yang sedang disorot publik. Dari tulisan yang disampaikan, “kesan” yang penulis rasakan, kata-kata “kesan” sengaja penulis sampaikan, sebagai bentuk penghormatan terhadap tulisan yang telah dipaparkan, 


Hermanto Harun mencoba melakukan justifikasi (penghukuman tanpa melalui proses pembuktian terhadap peristiwa yang terjadi) terhadap para pedagang bakso Lihat alinea 4, “kerancuan islah, Pencampuran daging babi”.. dan seterusnya). 


Kesan yang penulis rasakan, sekali lagi membuktikan asumsi yang penulis, bahwa Hermanto Harun telah melakukan upaya justifikasi. 


Dari alasan inilah, penulis merasa bertanggungjawab untuk urun rembug terhadap persoalan ini agar terhadap issu ini tetap pada bingkai yang sebenarnya. 


Tulisan yang disampaikan oleh Hermanto Harun menurut penulis, tidak menghormati asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence. 


Menurut saya, presumption of innocent adalah hak tersangka sebagai manusia). Sebagai negara hukum, hak ini merupakan hak yang fundamental dan mendasar sebagaimana didalam rurmusan UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, berbagai ketentuan lainnya bahkan secara tegas telah lama dinyatakan didalam KUHAP. 


Hermanto Harun tidak memberikan ruang kepada aparatur penegak hukum untuk membuktikan apakah “daging tersebut mengandung babi” dan siapa saja yang harus bertanggungjawab terjadinya peristiwa tersebut. 


Dengan alasan ini juga penulis harus menyampaikan pokok-pokok pikiran penulis didalam menyikapi issu daging yang mengandung “unsur daging babi”. (untuk memberikan ruang pembuktian terhadap persoalan ini, penulis sengaja memberikan kata-kata “daging mengandung unsur babi”) 


Dari bacaan media massa yang penulis temukan, maka berdasarkan kronologis dapat diuraikan sebagai berikut. 


Bahwa pihak Dinas Peternakan melakukan penelitian terhadap sampel dan menemukan adanya unsur yang mengandung daging babi. Pihak Dinas Peternakan kemudian melakukan konferensi Pers untuk melaporkan temuan tersebut. 


Pedagang bako kemudian tidak merasa melakukan perbuatan yang disampaikan oleh Dinas Peternakan kemudian menolak dan melaporkan pihak Dinas Peternakan kepada Kepolisian. Sebenarnya penulis menunggu langkah-langkah positif dalam penangann issu daging bercampur babi. 


Tentu saja langkah ini diharapkan dalam membongkar misteri dan pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya kasus ini dapat dipertanggungjawabkan dimuka persidangan. Namun kemudian, issu ini kemudian berdampak luas. Issu daging babi yang merupakan hal yang sensitif bagi umat Islam, telah bergeser dari pembuktian “apakah daging yang dikonsumsi” oleh pelanggan pedagang bakso telah terbukti atau tidak, namun issu ini kemudian menjadi issu yang berpotensi SARA. 


Peristiwa pengrusakan terhadap toko pedagang bakso merupakan sikap dari issu yang berpotensi SARA tersebut. 


Didalam paparan yang telah disampaikan oleh Hermanto Harun, penulis sepakat terhadap daging babi yang merupakan ajaran agama islam dilarang sebagaimana didalam tulisan yang disampaikan. 


Namun apabila kita perhatikan secara seksama, tentu saja ada beberapa pertanyaan kunci untuk menguraikan persoalan ini. Yang pertama, harus ditentukan apakah para pedagang bakso tersebut telah melakukan perbuatan yang “disengaja” sebagaimana dalam rumusan Hukum Pidana. Ataukah para pedagang bakso tersebut hanya melakukan “kelalaian” yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawabkan kepada para pelaku (baca pedagang bakso). 


 Dan yang paling penting, siapa yang meletakkan daging yang mengandung “unsur babi”, apakah adanya faktor kesengajaan atau faktor kelalaian. Didalam pembuktian terjadinya peristiwa tindak pidana, unsur “kesengajaan” dan “kelalaian”, mempunyai dampak hukum yang berbeda. 


Didalam ilmu hukum, terutama hukum pidana materiil, pembuktian kesalahan (sculd) dapat dilihat apakah perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja (dolus) atau lalai/ketidaksengajan (culpa. Didalam berbagai literatur, banyak penulis menyatakan kelalaian. 


Sedangkan Lamintang menggunakan istilah Ketidaksengajaan. Lihat Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Lamintang, Hal. 275). 


Secara tegas, banyak pasal-pasal yang mencantumkan kata-kata “Sengaja”, seperti pasal 191 KUHP “Barang siapa dengan sengaja merusak suatu bangunan listrik, pasal 191 ter “Barang siapa yang karena salahnya telah menyebabkan suatu bangunan listrik menjadi rusak”, pasal 338 KUHP “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain dan sebagainya. 


Sedangkan pasal yang memuat kelalaian seperti pasal 359 KUHP “Barang siapa yang karena salahnya telah menyebabkan matinya orang lain” dan sebagainya. Dari tafsiran yang disampaikan tersebut, maka untuk melihat kesalahan seseorang, maka adanya perbuatan yang disengaja (dolus) tentu saja mempunyai akibat hukum yang lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan karena kelalaian seseorang (culpa). 


Begitu pentingnya pembahasan tentang kesengajaan dan kelalaian, maka terhadap setiap peristiwa pidana, pembuktian tentang kesengajaan dan kelalaian mendapat porsi yang cukup besar didalam persidangan. Sehingga pembahasan tersebut tidak dapat serta merta dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman. 


Dari deskripsi yang telah penulis uraikan tersebut, maka terhadap peristiwa yang terjadi, penulis cukup memahami apabila pihak aparatur penegak hukum sangat hati-hati sekali untuk menyikapi. Langkah Polda Jambi yang sangat hati-hati ini tentu saja didasarkan kepada pembuktian dimana “daging babi” tersebut ditemukan. 


Apakah memang “disengaja”oleh pedagang bakso, atau adanya kelalaian ketika menggiling daging bakso dan ‘tercampurnya” dengan daging yang mengandung unsur “babi”. 


Asumsi-asumsi ini tentu saja memerlukan kehati-hatian dari Polda Jambi, karena apabila tidak hati-hati, pembuktian dimuka persidangan menjadi lemah dan tentu saja para pelaku yang diseret dimuka persidangan tidak dapat dipertanggungjawabkan. 


 Maka berdasarkan kepada unsur yang telah penulis sampaikan tersebut, apabila terhadap unsur “kesengajaan” atau “kelalaian” tentu saja tidak terpenuhi didalam perbuatan yang dilakukan oleh pedagang bakso, maka terhadap para pedagang bakso tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Namun pembuktian selanjutnya tidak berhenti sampai disini saja. 


Tugas selanjutnya untuk mencari siapa yang meletakkan daging yang mengandung unsur babi tersebut. apakah perbuatan itu dilakukan secara sengaja atau adanya kelalaian. Pernyataan pedagang bakso yang mengatakan bahwa mereka “membeli” dari pedagang di pasar, lebih mudah membuktikannya. 


 Apabila pembuktian terhadap “siapa” yang telah melakukan perbuatan “membuat” daging babi, apakah “sengaja” atau “lalai”, telah selesai dilakukan, maka terhadap upaya “islah” dapat dibenarkan. Islah dilakukan apabila telah ditentukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Islah adalah kerelaan dari pihak yang dirugikan terhadap pelaku yang melakukan perbuatan tersebut. Islah dilakukan agar tidak ada dendam dari kedua belah pihak. 


Islah yang telah dilakukan tersebut, tidak memenuhi makna “Islah” itu sendiri. Sampai sekarangpun, kita belum dapat menentukan duduk perkara, pelaku yang sebenarnya, kerugian dan pihak yang dapat dipertanggungjawabkan. Islah justru mengaburkan pokok-pokok yang sebenarnya. 


Namun terhadap upaya yang dilakukan oleh DPRD Propinsi Jambi didalam menyikapi persoalan ini, penulis memberikan apresiasi yang baik. Terlepas dari pembuktian apakah para pedagang bakso telah melakukan upaya “kesengajaan” atau kelalaian”, dampak yang ditimbulkan dari issu ‘daging babi” sebenarnya telah melebarkan dari persoalan pokok yang sebenarnya. 


Selain daripada “ruginya ekonomi pedagang bakso akibat pemberitaan di media massa, issu ini juga berpotensi mengandung SARA”. Oleh karena itu terhadap upaya yang telah dilakukan oleh DPRD Propinsi Jambi haruslah diberikan dukungan yang baik didalam menciptakan iklim yang kondusif di tengah masyarakat. 


Dalam hal ini penulis berbeda pandangan dengan Hermanto Harun didalam melihat bingkai islah. Berdasarkan kepada paparan yang telah penulis sampaikan, penulis berharap agar kita menghormati proses hukum dan memberikan kesempatan kepada aparatur penegak hukum untuk menjalankan fungsinya. Sehingga kita dapat melihat persoalan ini tidak berprasangka dan bertindak secara jernih.