17 Maret 2008

opini musri nauli : Analisis Kewenangan jaksa dan Polisi




ANALISIS KEWENANGAN JAKSA DAN POLISI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Perspektif Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia) 

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Selasa (12/02), di ruang sidang Pleno Gedung MK. 


Sidang ini mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah, Ahli masing-masing dari Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait (Kepolisian) serta mendengar keterangan Pihak Terkait (Kejaksaan). 

Perkara No. 28/PUU-V/2007 ini dimohonkan oleh Ny. A. Nuraini dan suaminya, Mayjen. TNI (Purn) Subarda Midjaja dengan kuasa hukum Ahmad Bay Lubis, S.H., A.H. Wakil Kamal, S.H., dan Yanrino H.B. Sibuea, S.H. 

Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. 

Menurut Pemohon, fungsi dan kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan RI yang diatur dalam pasal tersebut sangat tidak lazim karena Kejaksaan memiliki wewenang ganda dalam suatu proses hukum pidana yaitu bisa menyidik dan menuntut. Pasal 30 Ayat (1) huruf d menyatakan: “Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.” 

Di dalam legal standing-nya, Subarda memaparkan pada tahun 2004 dirinya telah diperiksa sebagai tersangka dan menjalani proses penyidikan di Mabes Polri menyangkut dugaan perbuatan penggelapan atau penipuan uang PT. ASABRI. 

Setelah itu, POLRI menetapkan penghentian penyidikan (SP3) pada perkara ini. 

Namun, sejak 6 Agustus 2007, Kejaksaan Agung RI memanggil, memeriksa, dan menyidik ulang Pemohon Subarda sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi dalam penyalahgunaan dana PT. ASABRI (Persero). 

Kejaksaan Agung selaku penyidik kemudian melakukan penahanan atas diri Subarda dan sejak 8 November 2007, penahanan Subarda dilanjutkan Kejaksaan Negeri Jakarta Timur selaku Penuntut Umum. 

Wewenang Kejaksaan untuk menyidik dan menuntut inilah yang dianggap para Pemohon berlebihan dan tanpa kontrol. 

Kewenangan rangkap ini oleh para Pemohon dianggap menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum. 

Selain itu, para Pemohon merasa akibat penerapan Pasal 30 ini pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarganya terhalang karena si suami ditahan Kejaksaan Agung. “Akibat tindakan ini, selain menderita tekanan psikologis, tindakan Kejaksaan ini menyebabkan beberapa usaha bisnis yang telah dirintis dengan susah payah oleh Pemohon menjadi hancur berantakan dan tak terurus,” jelas Kuasa Hukum Pemohon pada persidangan sebelumnya. 

Dalam Petitum yang dibacakan oleh Kuasa Hukumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Menanggapi hal di atas, pada persidangan ini, Pemerintah yang diwakili oleh Jamdatun, Untung Uji Santoso, mengatakan bahwa MK sebenarnya tidak berwenang memeriksa perkara ini karena penyidikan Jaksa terhadap Pemohon dilakukan untuk perkara korupsi setelah turunnya SP3 bagi Pemohon untuk perkara penggelapan. “Untuk itu, jika Pemohon ingin menyelesaikan permasalahan ini seharusnya di peradilan umum, bukan di MK,” papar Untung. 

Permohonan Pemohon, tambah Untung, juga dinilai kabur karena tidak menjelaskan dengan baik kontradiksi antara Pasal 30 Ayat (1) huruf d dengan UUD 1945. “Bahkan, tak hanya Jaksa, KPK pun punya kewenangan terkait untuk memeriksa tindak pidana korupsi,” tambahnya. Pihak Terkait Kejaksaan, Jamintel, Wisnu Subroto, menjelaskan bahwa kewenangan menyidik perkara korupsi oleh Jaksa adalah wewenang yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. 

Justru, menurut Wisnu, upaya pemberantasan korupsi oleh beragam instansi adalah sebagai upaya checks and balances, yaitu bila ada instansi yang kurang optimal dalam penanganannya, maka bisa di-back up oleh instansi lainnya. “Di Indonesia, selain Jaksa, masih ada KPK yang bisa melakukan penyidikan dan kewenangan ini tidak pernah dipermasalahkan,” jelas Wisnu. 

Sementara itu, Ahli Pemohon, Marojahan Jalfiner Saud Panjaitan, mengatakan bahwa selama ini para pembuat undang-undang tidak menerapkan ilmu perundang-undangan dengan baik yang mengamanahkan kepastian hukum di dalam rumusan peraturan perundang-undangan. “Kata “tertentu” dalam Pasal tersebut justru menimbulkan multitafsir. 

Seharusnya tertera dengan jelas apakah yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi atau ekonomi,” jelas Pengajar Ilmu Perundang-undangan ini. 

Sebelum KUHAP diberlakukan, wilayah tersebut secara tradisional "dikuasai" oleh kejaksaan. 

Dengan kata lain, bidang penyidikan adalah kewenangan pihak kejaksaan (Satriyo, 1996). 

Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi "mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinir alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara". 

Penjelasan pasal tersebut menyatakan, untuk kesempurnaan tugas penuntutan, jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir yang seluruhnya itu harus dilakukan atas dasar hukum. 

Perbedaan kewenangan penyi-dikan sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP akan jelas sekali terlihat dengan mengetahui siapa yang dimaksud dengan penyidik menurut ketentuan acara pidana sebelum KUHAP. 

Menurut Reglement Indonesia yang dibaharui (S.1941 No. 44) Pasal 53 (1) yang dimaksud penyidik ialah Kepala Distrik, Kepala Onderdistrik, polisi umum yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu inspektur polisi dan pegawai polisi yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Jadi sangat jelas bahwa pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, jaksa mempunyai bidang kewenangan yang luas sebagai berikut. 1. Di bidang penuntutan dilakukan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang. 2. Di bidang penyidikan diadakan lanjutan serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik dalam hal ini termasuk penyidik dari kepolisian. 

Dengan demikian, pimpinan dalam penyidikan pada periode sebelum berlakunya KUHAP adalah kejaksaan yang bertugas mengawasi dan mengkoordinasikan penyidikan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain, termasuk polisi. 

Berbeda dengan kondisi tersebut, setelah berlakunya KUHAP terjadi perubahan yang sangat penting. 

Perubahan yang dibawa oleh KUHAP mengakibatkan pembagian kewenangan sebagai berikut, a. Kepolisian 1. Di bidang penyidikan kepolisian mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana umum. 2. Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tambahan. 3. Kepolisian berperan sebagai koordinator dan pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil. b. Kejaksaan 1. Di bidang penyidikan kejaksaan mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana khusus yang meliputi tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi, walaupun ini sifatnya sementara. 2. Untuk penyidikan tindak pidana umum, polisi memegang kewenangan penyidikan penuh, sedangkan jaksa tidak berwenang. 

Dari ranah ini, maka membicarakan dan melihat kewenangan Polisi dan Kejaksaan didalam tindak pidana di Indonesia dapat dilihat dari berbagai ketentuan yang berkaitan. 

Untuk memudahkan pemahaman kita, maka rujukan Hukum Acara UU No. 8 Tahun 1981 adalah bentuk sikap yang paling jelas. 

Didalam KUHAP, secara fundamental, bahwa yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah Polisi. Penyidik selain Polri adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). 

Untuk menentukan siapa saja yang berwenang untuk melakukan penyidikan selain Polri harus melihat ketentuan hukum yang mengaturnya (penulis memberikan istilah payung hukum). 

Penyidik selain Polri dapat dilihat didalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. 

Dan berbagai tindak pidana lainnya seperti institusi pajak, institusi bea cukai dan sebagainya. 

Sedangkan didalam pelanggaran HAM, Jaksa bertindak sebagai penyidik setelah mendapatkan hasil dari penyelidikan dari Komnas HAM (UU No. 26 Tahun 2000) 

Dari ketentuan tersebut, apabila kita sejenak melihat, maka selain daripada pelanggaran HAM, Jaksa tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Apabila jaksa mendalilkan kepada ketentuan pasal 284 KUHAP dan pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, maka sebenarnya wewenang itu hanya melihat kepada turunan dari UU yang diatas mengaturnya (tindak pidana apa dimana wewenang Jaksa untuk melakukan penyidikan). 

Pasal 284 KUHAP dan pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 harus mempunyai cantolan hukumnya. 

Pasal ini akan berguna apabila ada UU yang memberikan perintah kepada Jaksa untuk melakukan penyididkan. 

Dengan demikian, pasal 284 KUHAP dan pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004, hanyalah dapat dilihat dari wewenang jaksa didalam melakukan penyidikan pelanggaran HAM. 

Sedangkan didalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur didalam UU No. 31 Tahun 1999 maupun UU No. 20 Tahun 2001, ataupun UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK tidak ada satupun perintah UU yang memberikan kewenangan jaksa untuk melakukan penyidikan. 

Dengan demikian, kewenangan Jaksa didalam tindak pidana korupsi tidak ada. 

Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan dari istri Subardja Midjaja ? 

Terlepas dari hasil putusan Mahkamah Konstitusi, penulis memberikan pendapat terhadap permohonan yang disampaikan. 

Pertama, bahwa Mahkamah Konstitusi tidak akan mengabulkan permohonan dari pemohon dengan alasan-alasan. 

Bahwa untuk melihat apakah jaksa mempunyai kewenangan atau tidak didalam tindak pidana korupsi, tidak dapad dijadikan dasar permohonan untuk diperiksa di MK. 

MK hanya melihat dari ranah, apakah UU tersebut bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945). 

Benturan kewenangan antara berbagai UU (UU Kejaksaan, UU Kepolisian, KUHAP) merupakan penilaian dari sistem pidana yang sebenarnya dapat dilihat dari putusan-putusan pengadilan (yurisprudensi). 

Walaupun disisi ini, penulis belum menemukan catatan penting, apakah Hakim telah sepakat kepada penulis, bahwa Jaksa tidak berwenang didalam tindak pidana korupsi. 

Alasan lain sebenarnya merupakan dasar untuk mengajukan eksepsi (tangkisan) para lawyer untuk melihat perkara ini. 

Kedua. Bahwa melihat dua benturan kepentingan dari lapangan hukum pidana didalam melihat kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi, maka sebenarnya dapat melihat dari berbagai peraturan yang berkaitan. 

Didalam KUHAP sendiri, secara tegas, penyidik adalah Polri. (PPNS dapat dilakukan, apabila ada UU yang mengaturnya. 

Misalnya PPNS didalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dsb) Didalam lapangan tindak pidana korupsi, UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 20 Tahun 2001 maupun UU No. 30 Tahun 2002 bahkan PP No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP, maupun Keppres No. 86 Tahun 1999 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI tidak ada satupun pasal yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. 

Dengna demikian, maka menurut penulis, Jaksa tidak mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. 

Terlepas dari apapun putusan MK, penulis berkeyakinan, bahwa tulisan yang dipaparkan ini dapat memperkaya pemahaman kita didalam melihat issu hukum yang menghangat di Nasional.