04 Maret 2009

opini musri nauli : Hukum Nasional vs hukum adat


Akhir-akhir ini kita diberitakan tentang persidangan terhadap Tumenggung Jelitai dan Mata Gunung. keduanya berasal dari Kejasung Besar Desa Sawah Batu, Kecamatan Muaro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari. Tuduhan terhadap keduanya cukup berat. Dimana keduanya dianggap ikut bertanggungjawab terhadap Tiga SAD Singosari tewas karena ditembak dengan kecepek (Infojambionline.com, 13 Desember 2008). Kejadian ini bermula sekitar pukul 08.00 WIB Jumat (12/12) kemarin di jalan Doho Desa Pematang Kebau Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, terjadi bentrok antara SAD (Suku Anak Dalam). Tiga SAD Singosari tewas karena ditembak dengan kecepek. Mereka adalah Nunas (30), Basilang (28) dan Melinting Laman (35). Selain itu, tiga SAD lainnya saat ini masih disandera adalah Melame, Doa dan Meletu. Sedangkan satu orang SAD luka berat, yakni Melantai. Kasus bentrok SAD Kadasung dengan Singosari ini diduga dipicu masalah hutang piutang. Jenazah ketiganya sempat divisum sekitar pukul 18.15 WIB, di Puskemas Air Hitam. Setelah divisum, sesuai kesepakatan Temenggung, jenazah ketiganya dibawa pulang untuk dikuburkan. Sampai dengan berita ini, sebenarnya hanya berita biasa yang hanya menghiasi media massa lokal dan nasional (Kompas, 3 Maret 2009, Hal 16)

Namun ternyata berita yang dimuat di berbagai media massa tersebut menjadikan berita ini kemudian terus bergulir. Keluarga terdakwa dan kelompok Orang rimba lainnya pada sidang perdana (Kamis, 26 Februari 2009) Sarolangun nyaris batal dilaksanakan. Pasalnya kedua terdakwa histeris. Suasana di PN mendadak gaduh karena keluarga terdakwa (istri,saudara, bapak dan anak) yang sengaja datang bersama Suku Anak Dalam (SAD) lain juga histeris sembari menangis dan berlari-lari. Kronologis kejadiannya bermula, ketika salah seorang terdakwa Mata Gunung (40) dibawa petugas memasuki ruang sidang. Tiba-tiba diserbu belasan keluarga korban yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak, dengan menjerit-jerit sambil memeluk Mata Gunung, meminta agar dibebaskan. Tentu saja, puluhan petugas kepolisian yang sudah berjaga-jaga sejak pagi dengan kedatang keluarga terdakwa jadi kewalahan. Bukan hanya itu para keluarga korban yang sebagian besar ibu-ibu yang datang –maaf—dengan pakaian bagian dada terbuka mengejar-ngejar petugas, baik aparat Kepolisian maupun Pengadilan, bahkan pengunjung sidang termasuk wartawan. Bagi yang tertangkap para ibu-ibu SAD tersebut langsung memluk dan menciuminya, sambil menangis mengucapkan ‘’Rajo, bebaskan keluarga kami dio dak besalah’’. Tentu saja melihat aksi itu, para petugas, dan pengunjung sidang lari terbirit-birit dikejar-kejar ibu-ibu SAD itu. Akibat dari kejadian tersebut, sidang yang dimulai sekitar pukul 13.00, sempat ditunda sekitar 1,5 jam. Hingga sekarang Keluarga dan Suku Anak Dalam (SAD) masih bertahan di Pengadilan Negeri Sarolangun.

Dua peristiwa yaitu sidang Pengadilan Negeri Sarolangun terhadap Tumenggung Jelitai dan Mata Gunung satu sisi dan histerisnya Keluarga SAD dan kelompok Orang Rimba lainnya disatu sisi lainnya menimbulkan persoalan bagi kita kita. Apakah kita tunduk kepada Hukum Nasional yang berpatokan kepada ketentuan normatif yuridis formil dengan Hukum Adat Orang Rimba. Dari titik inilah penulis akan mencoba menawarkan diskusi untuk mempertajam gagasan terhadap pandangan kita melihat persoalan hukum secara utuh.

Apabila kita melihat ketentuan normatif terhadap dakwaan atau tuduhan kepada para pelaku, maka terhadap pelaku haruslah dibuktikan kesalahannya. Terdakwa tidak dipersalahkan terhadap tindak pidana terhadap perbuatan apabila tidak terbukti di muka persidangan. Dari ranah ini, sebenarnya, penulis mempercayakan terhadap proses hukum yang tengah bergulir yang harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut umum dan Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini. Tentu saja argumentasi yang dipaparkan apakah para terdakwa telah terbukti atau tidak merupakan kewenangan hakim dalam melihat fakta-fakta hukum yang terjadi. Dari ranah yuridis formil, pembuktian terhadap kesalahan terdakwa menimbulkan problematika penegakan hukum. Apabila terdakwa dibebaskan karena dianggap tidak terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan, maka terdakwa haruslah dibebaskan demi hukum. Terhadap fakta ini tentu saja tidak akan menimbulkan persoalan dalam penegakan hukum. Namun apabila ternyata terdakwa secara hukum telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dituduhkan, maka secara hukum terdakwa dapat dipersalahkan dan diminta pertanggungjawaban secara hukum.

Dari titik ini sebenarnya menimbulkan problematika terhadap penegakan hukum. Apakah terhadap terdakwa yang terbukti bersalah melakukan perbuatan yang dituduhkan dapat dikenakan hukum nasional ? Pertanyaan ini sengaja penulis sampaikan untuk melihat dimensi penegakkan hukum dalam pertarungan penerapan hukum nasional vis hukum adat. Apabila pertanyaan normatif ini disampaikan kepada para praktisi, maka penulis merupakan barisan terdepan dalam menyatakan bahwa tidak ada perbedaan warganegara untuk dapat diterapkan hukum nasional. Dari ranah ini sebenarnya pertanyaan Keadilan lebih dititik beratkan kepada kepastian hukum. Bacaan tentang kepastian hukum tentu saja aturan atau norma yang telah diatur didalam perundang-undangan (dalam kasus ini tentu saja KUHP). Namun apabila konteks pertanyaan selanjutnya disampaikan tentang makna keadilan yaitu mencapai keadilan dalam bingkai sebagian masyarakat (terutama makna keadilan bagi Orang Rimba) tentu saja makna keadilan menjadi bias dan tidak mencapai keadilan. Dari titik inilah penulis sejenak mengajak kita mendiskusikan lebih lanjut.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia negara Hukum. Kita juga mengetahui bahwa berbagai produk hukum kita masih banyak peninggalan Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (termasuk KUHP). Dalam berbagai yurisprudensi makna Hukum tentu saja norma hukum. Artinya aturan tertulis yang ditetapkan oleh negara (tentu saja norma hukum dalam kasus ini hukum pidana). Tidak ada pembedaan antara warga negara satu dengan warga negara lain. (walaupun dalam beberapa peristiwa nasional, adanya istilah tebang pilih dalam penerapan kasus, namun untuk sementara bacaan kita tentu saja secara normatif, tidak ada perbedaan penerapan hukum). Bandingkan dengna sistem hukum yang mengadopsi dari putusan hakim/yurisprudensi. (Indonesia juga menganut beberapa prinsip sistem hukum Anglo Saxon terutama terhadap kejahatan lingkungan hidup, konsumen dan Kehutanan. Indonesia juga mengenal Class action dan Legal standing sebagaimana diatur diberbagai ketentuan seperti UU No. 23 Tahun 1997 dan sebagainya). Namun secara prinsip Indonesia masih menganut system hokum Eropa Kontinental. Dengan demikian terhadap kejahatan yang terjadi pada kasus ini masih mengadopsi system hokum Eropa Kontinental.

Didalam berbagai sistem hukum baik hukum yang dianut di Indonesia, sistem Eropa Kontinental maupun didalam sistem hukum anglo saxon, pemidanaan haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. (terjemahan bebas, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, Penerbit Prenada Media, Jakarta, 2006, Hal. 39)

Didalam KUHP, walaupun kita mengenal telah terpenuhinya unsur didalam pasal yang dituduhkan, maka ada dua alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden). Yang pertama adalah menghilangkan sifat melanggar hukum atau “wederrchtelijkheid” atau “onrechtmatigheid” yang terdiri dari (a) keperluan membela diri atau “nodweer” didalam pasal 49 ayat (1) KUHP; (b) orang yang menjalankan perintah UU (uitlovoering van een weetlijk voorschrift) didalam pasal 50; (c) dan orang yang menjalan perintah jabatan (“uitvoering van bevoegdelijk gegeven ambtelijk bevel”) didalam pasal 51 auat (1) KUHP. Sedangkan yang kedua adalah yang memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”) yang terdiri dari (a) orang yang dinyatakan tidak dapat dihukum berdasarkan kurang ingatan atau adanya ganggunan berfikir (Niet strafbaar is hij, die een feit begaat, dat hem wegeens de gebrekkige onstwikkeling of ziekelijke storing zijner verstande lijke vermogens niet kan worden toegerekend) didalam pasal 44 ayat (1) KUHP; (b) pasal 48 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seorang yang untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan karena adanya paksaan yang tidak dapat dilawan (“overmacht”); (c) pasal 49 ayat 2 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seorang yang melanggar karena membela diri (“overschrijding van noodweer” atau “nodweer exce”); (d) pasal 51 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa suatu perintah jabatan (onbevoegdelijk gegeven ambtelijk bevel)

Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem.

Dengan demikian untuk melihat kesalahan tentu saja apabila terdakwa telah memenuhi unsur pasal yang dituduhkan. Dengan demikian, maka dalam peristiwa persidangan terhadap Tumenggung Jelitai dan Mata Gunung tidak ada pembedaan sama sekali.

Namun yang sering dilupakan kita semua, bahwa tujuan hukum selain menciptakan ketertiban juga menciptakan keadilan. Dari ranah ini, maka pertanyaan selanjutnya apakah akan menimbulkan ketertiban dengan diterapkan hukum nasional terhadap pelaku yang berasal dari Orang Rimba ?. pertanyaan ini justru akan menimbulkan persoalan tersendiri bagi orang Rimba. Orang Rimba tentu saja bertanya-tanya, hukum mana yang mesti harus diikuti. Apakah hukum adat yang telah menjadi pegangan masyarakat sekitarnya atau hukum nasional yang mereka sendiri tidak paham dan mengerti. Secara jujur harus diakui, di komunitas Orang Rimba, Hukum adat telah menjadi pegangan bagi orang rimba itu sendiri ?. Banyak tulisan dan publikasi yang meletakkan orang rimba yang mempunyai aturan dan norma sendiri yang telah turun temurun diwariskan dan tetap dipatuhi masyarakat. Secara tegas, pembahasan tentang hukum adat di komunitas Orang Rimba telah menjadi pegangan dan panduan dalam kehidupan sehari-hari orang Rimba. Justru dengan hukum adat di komunitas Orang Rimba, ternyata orang Rimba lebih arif dalam mengelola alam dan mengatur kehidupannya. Orang Rimba mempunyai tata cara penerapan dan melaksanakan Orang Rimba. Baik didalam mengelola sumber daya alam maupun aturan sosial mereka sendiri. Orang Rimba tidak konflik dalam meletakkan batas tanah. Orang rimba tidak pernah membuka hutan dengan mengakibatkan kebakaran yang asapnya sampai di kota. Orang Rimba tidak pernah melakukan kejahatan yang justru dilakukan oleh masyarakat yang mengaku beradab. Artinya Orang Rimba lebih arif didalam mengatur kehidupan sosial dan menyelesaikan masalahnya.

Pertanyaan selanjutnya dapat kita sampaikan, apakah telah tercipta keadilan kepada para pelaku, kepada masyarakat dan orang rimba itu sendiri ?. apabila pertanyaan disampaikan untuk menyatakan keadilan yang hendak dicapai kepada para pelaku, maka makna keadilan dikongkritkan dengan kepastian hukum, maka terhadap pelaku hanya dilihat pembuktian apakah pelaku telah terbukti atau tidak melakukan perbuatan. Sedangkan apabila pernyataan keadilan dilihat keadilan hakiki sehingga pelaku diharapkan jera dan tidak mengulangi kesalahannya, maka dari ranah ini, keadilan masih jauh diharapkan. Pelaku sendiri pasti bingung bagaimana kesalahan yang dilakukan itu menimbulkan

Lantas dari bagaimana dengan penerapan KUHP apabila dilihat dari perspektif keadilan. Apakah adil memperlakukan para pelaku dengan pasal yang dituduhkan ? Apabila kita berangkat dari pemikiran konsepsi pemikiran “positivisme”, Pembuktian terhadap pasal ini dengan gampang dilakukan oleh hakim.

Dalam berbagai literatur yang menjadi sorotan penulis, bahwa sebagaimana diatur didalam Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dari segala tuduhan menurut penulis melambangkan alam berfikir hakim didalam memutuskan perkara. Namun didalam makna keadilan dilihat dari konteks tujuan pemidanaan, maka sesungguhnya tujuan pemidanaan tidak tercapai. Para pelaku tidak tepat dijerat dengan pasal-pasal tersebut. Para pelaku yang diadili karena keyakinan sungguh tidak tercapainya “efek jera” baik kepada para pelaku maupun kepada masyarakat. Justru pasal KUHP yang merupakan peninggalan kolonial Belanda haruslah digugat terhadap effektifannya pada zaman sekarang. Sudah saatnya pertanyaan ini senantiasa kita kemukakan bahwa KUHP sudah terlalu ketinggalan zaman dan tidak up to date dengan perkembangan zaman. Dan yang paling hakiki adalah, negara tidak dapat menjadi pihak yang bisa menentukan “kebenaran” terhadap suatu keyakinan. Dan moment ini dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan terhadap pasal ini di Mahkamah Konstitusi.

Lantas, apakah tujuan pemidanaan akan tercapai dengan diterapkan pasal tersebut. apakah para pelaku akan jera ? atau akan pura-pura jera agar tidak dihukum berat. Atau apakah pemidanaan akan effektif tidak terjadinya kasus-kasus ini di kemudian hari. Pertanyaan ini sengaja penulis sampaikan sebagai bentuk “gugat” penerapan pasal KUHP terhadap Orang Rimba. Tentu saja dengan gampang kita akan menemukan jawaban ternyata apabila pasal ini digunakan, tujuan pemidanaan tidak akan tercapai. Dalam kasus ini. Catatan ini sengaja penulis sampaikan, agar kita tidak sembarangan menggunakan hukum terhadap persoalan-persoalan yang seharusnya diselesaikan diluar koridor hukum. Dan tentu saja tidak menjadi urusan negara yang mengurusi hukum adat yang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Begitu banyak kewajiban negara didalam rumusan UUD 1945 yang belum terpenuhi sehingga, tidak pantas negara masih mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan hal itu.

Sudah seharusnya negara lebih mengutamakan penyelesaikan masalah kawasan orang rimba karena Disaat bersamaan, negara dengan kekuasaannya kemudian mempunyai program terhadap perluasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Program perluasan Taman Nasional dimulai saat Tahun 1984 Gubernur Jambi mengusulkan agar areal perbukitan Bukit 12 dijadikan kawasan pengembaraan Orang Rimba. Usulan itu diterima dalam RTRWP Jambi sebagai cagar biosfer dengan luas 29.485 ha. Tahun 1987 Cagar biosfer Bukit 12 berubah nama menjadi Hutan Suaka Alam. Tahun 1988 kawasan Bukit 12 direkomendasikan menjadi kawasan konservasi dengan nama Cagar Alam Bukit Kuaran. Tahun 1993, Bukit dua belas diusulkan oleh Dirjen PHPA sebagai areal konservasi berupa Suaka Margasatwa. Tahun1995, BKSDA Jambi mengusulkan penambahan areal menjadi 30.000. ha. Alasannya Suaka Margasatwa Bukit 12 mewakili hutan tropis dataran rendah. Tahun 2000 atas dorongan WARSI, Gubernur Jambi mengusulkan perluasan areal Cagar Biosfer menjadi 65.000 ha .Tahun 2000 tepatnya 23 Agustus 2000 Menteri kehutanan RI merubah status Cagar Biosfer Bukit 12 menjadi Taman Nasional Bukit 12 sekaligus menambah luas arealnya menjadi 60.500 ha. Tahun 2001, tepatnya 26 Januari 2001 Presiden RI Abdurahman Wahid mendeklarasikan terbentuknya Taman Nasional Bukit 12.Perubahan status dari Cagar Biosper menjadi Taman Nasional ternyata kelak dikemudian hari akan memunculkan banyak masalah

Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Dua Belas atau disingkat RPTNBD merupakan dokumen resmi negara yang dikeluarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi. Dokumen ini mereka perlukan sebagai acuan bagi terlaksananya visi dan misi pembentukan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Dokumen itu untuk pertama kalinya kira-kira bulan Agustus tahun 2005. Dokumen itu sendiri disahkan bulan Desember tahun 2004

Dampak terbesar akibat lahirnya RPTNBD adalah munculnya kekhawatiran yang melanda seluruh komunitas adat Orang Rimba. Bagaimana tidak khawatir karena BKSDA Jambi dapat melakukan apa saja untuk untuk mewujudkan rencana-rencananya. Termasuk menggunakan aparat keamanan. Kasus-kasus pengusiran masyarakat adat dari kawasan Taman Nasional, sudah banyak terjadi di negeri ini. Di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai masyarakat adat Moronene diusir dari kampung halamannya. Di Taman Nasional Lore Lindu masyarakat Dongi-Dongi mengalami hal serupa. Di Taman Nasional Pulau Komodo, nelayan-nelayan dari masyarakat adat Sape dilarang menangkap ikan. Di Taman Nasional Wakatobi masyarakat adatnya dilarang memasuki kawasan-kawasan yang secara sepihak ditetapkan sebagai zona inti dan zona riset, padahal sebelumnya tempat itu merupakan areal penangkapan ikan bagi nelayan-nelayan disana. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2002 Tentang TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMAMNFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN. Pasal 14 dari PP tersebut dengan tegas menyatakan bahwa” Rencana pengelolaan hutan disusun dengan memperhatikan aspirasi, partisipasi dan nilai budaya masyarakat serta kondisi lingkungan. Rencana perluasan Taman Nasional itu kemudian berdampak terhadap kehidupan orang Rimba. Perluasan Taman Nasional selain bertentangan dengan pola dan pandangan hidup orang Rimba berhadapan dengan negara dengan sistem penguasaan hutan melalui Taman Nasional kemudian berujung terhadap pola advokasi Walhi memainkan peran untuk menolak perluasan Taman Nasional. Secara prinsip, konsepsi Taman Nasional yang diakui oleh Negara, mengakibatkan tidak adanya aktivitas manusia didalamnya. Baik untuk mengelola sumber daya hutan baik kayu maupun non kayu juga tidak dibenarkan adanya aktivitas manusia lainnya. Konsepsi ini kemudian bertentangan dengan konsepsi orang rimba yang telah hadir dan lahir jauh sebelum Indonesia berdiri dan lahirnya taman nasional. Konsepsi ini kemudian mengakibatkan cara-cara penolakan kehadiran orang rimba dilegalkan dengan hukum administrasi negara melalui penetapan Taman Nasional. Artinya, orang rimba yang telah lama berada dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hutan harus dikeluarkan dan tidak boleh lagi berada di taman nasional. Konsepsi ini kemudian menjadi perdebatan nasional dan menjadi agenda nasional baik yang dilakukan oleh Walhi Jambi maupun cara-cara yang digunakan oleh aparat Taman nasional yang hendak mengusir keberadaan orang rimba. Di titik ini sebenarnya, advokasi orang rimba mutlak diperlukan dan menempatkan orang rimba pada konteksnya.

Dari berbagai kampanye penolakan RPTNBD, penulis sering menyadari, bahwa menggunakan kekuatan negara untuk “mengamankan” taman nasional dengan menggunakan hukum positif (menggunakan instrumen UU No. 5 tahun 1990) dalam kasus ini ada upaya sistematis untuk mengelimir orang rimba dari kawasan ternyata tidak sesuai dengan semangat dan menghargai komunitas adat yang sudah ada dalam kawasan. Pencitraan Orang Rimba sebagai kaum nomaden, dianggap sebagai “penetap sementara” dan berbagai stigma negatif lainnya yang bertujuan “mengusir” Orang Rimba dari alamnya, menurut penulis sama saja dengan mengeluarkan ikan dari airnya. Orang Rimba tidak dapat terpisahkan dan dipisahkan dari Hutan. Orang Rimba yang merupakan komunitas adat yang telah berada didalam kawasan Taman Nasional haruslah diakui keberadaannya. Justru memisahkan mereka dengan hutan yang merupakan hidup yang tidak terpisahkan justru bertentangna dengan nilai-nilai dasar perjuangan kemanusiaan.

iHingga

Dua peristiwa ini sengaja penulis kemukakan untuk menjadi bahan otorkritik kita tentang pertanyaan yang penulis sampaikan. Apakah peristiwa ini harus diterapkan hukum nasional atau hukum adat ?

Dimuat Di Jambi Ekspress Tanggal 6 dan 7 Maret 2009

http://202.152.33.84/new/index.php?option=com_content&view=article&id=122:hukum-nasional-v-hukum-adat&catid=9:opini&Itemid=5 http://202.152.33.84/new/index.php/opini/150-hukum-nasional-vis-hukum-adat-2