Dalam hitung-hitungan politik di Indonesia, posisi Partai Golkar begitu signifikan dalam mempengaruhi politik di Indonesia. Sejarah mencatat posisi partai Golkar menarik untuk dibicarakan.
Sejarah Partai Golkar tidak dapat dipisahkan dari orde baru. Dalam kurun sejarah perjalanan orde baru, Partai Golkar merupakan pondasi penting selain daripada posisi Soeharto dan ABRI.
Slogan ABG (ABRI Birokrat dan Golkar) merupakan pondasi penting selain juga terjemahan dari ABS (ABRI Birokrat dan Soeharto).
Tumbangnya Soeharto merupakan pukulan balik terhadap perkembangan orde baru.
Tumbangnya Soeharto memberikan catatan penting terhadap keberadaan Partai Golkar. Partai Golkar kemudian dihujat disana sini. Riak-riak didaerah yang menghendaki bubarnya Partai Golkar memantik peristiwa didaerah. Berbagai Kantor Partai Golkar di daerah didemo.
Bahkan ada terjadinya pembakaran Kantor Partai Golkar. Pada masa itu, Partai Golkar merupakan masa titik genting. Hampir praktis posisi Partai Golkar diujung tanduk.
Pada masa kritis, kepemimpinan Akbar Tanjung diuji. Partai Golkar memasuki Pemilu 1999 dengan ujian berat. Pada masa itu, walaupun Partai Golkar meraih suara yang turun setelah PDI-P, namun Pemilu 1999 memberikan catatan sejarah terhadap keberadaan Partai Golkar.
Publik masih menerima dan memberikan suara kepada Partai Golkar (Partai Golkar menjadi pemenang setelah PDIP). Partai Golkar kemudian berhasil memainkan peran di Parlemen.
Akbar tanjung kemudian berhasil menjadi ketua DPR dan peran Partai Golkar memainkan peran penting dalam mendorong Abdurrahman Wahid (baca Gusdur) menjadi Presiden setelah Habibie dan juga menggulingkan dan menggantikan dengan Megawati Soekarnoputri (baca Megawati)
Berangkat dari Pemilu 1999, Partai Golkar memasuki pemilu tahun 2004 dengan keyakinan penuh.
Di saat penghitungan suara Pemilu 2004 belum selesai (partai Golkar kemudian berhasil menjadi pemenang Pemilu 2004 dan mengalahkan PDIP), Partai Golkar mengadakan Konvensi Presiden yang akan diusulkan pada Pemilihan Presiden secara langsung tahun 2004.
Konvensi ini diikuti oleh Wiranto, Akbar Tanjung, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Prabowo, Sultan Hamengkubowono dan Jusuf Kalla (JK). Konvensi yang dilakukan oleh Partai Golkar menampakkan sikap politik yang cerdas disaat partai lain masih sibuk untuk menghitung suara dan jumlah kursi.
Sikap politik yang cerdas ini ternyata memberikan pembelajaran yang baik kepada publik. Konvensi Partai Golkar kemudian menetapkan Wiranto sebagai kandidate Partai Golkar.
Memasuki Pemilihan Presiden tahun 2004, kandidate yang diusung Partai Golkar kalah telak dan tidak bisa mengikuti putaran kedua pemilihan Presiden. Putaran kedua kemudian diikuti oleh kandidate Partai demokrat yaitu Soesilo Bambang Yudhoyono (baca SBY) dan kandidate PDIP yaitu Megawati.
Disaat itu Partai Golkar kemudian mendeklarasikan sebagai partai yang akan bertindak oposisi. Sebagai pelajaran politik, sikap yang diambil partai Golkar merupakan sikap resmi dari partai yang kalah dalam pemilu disuatu negara. Partai Golkar kemudian menetapkan pilihannya kepada Megawati untuk diusung sebagai kandidate sebagai Pilpres 2004.
Pilihan partai Golkar kemudian terbukti kalah dalam pemilihan Presiden putaran Kedua. SBY menang telak dan kemudian menjadi Presiden.
Partai Golkar kemudian melakukan evaluasi secara menyeluruh.
Pelajaran penting yang telah dilakukan oleh Partai Golkar yaitu Konvensi untuk menetapkan kandidate Presiden dan menyatakan oposisi terhadap Pilpres 2004 merupakan pelajaran penting berpolitik yang baik kepada publik.
Memasuki Pemilihan Ketua umum Partai Golkar tahun 2005, Partai Golkar kemudian menetapkan JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Agung laksono sebagai wakil Ketua Umum.
Penetapan JK sebagai ketua Umum memberikan penilaian yang berbeda di publik.
Sebagian kalangan menilai bahwa penetapan JK sebagai ketua Umum Partai Golkar tidak konsisten dengan sikap oposisi yang akan diambil oleh partai Golkar sebagai partai yang kalah dalam pemilihan Presiden 2004. gagasan Koalisi kerakyatan yang semula dicanangkan di parlemen (koalisi antara Partai Golkar dan PDIP) menjadi buyar.
JK yang menjadi wakil Presiden tentu saja akan menciptakan nada seirama parlemen dengan Pemerintahan. Penggantian ketua Fraksi di Parlemen merupakan sikap politik yang diambil oleh JK dalam mengamankan kebijakan pemerintahan di parlemen.
Sikap ini kemudian dilanjutkan dengan gagasan koalisi kebangsaan dimana Partai Golkar merupakan motor dalam menggerakkan koalisi itu (tentu saja bergabung dengan Partai Demokrat dan partai pendukung SBY)
Sedangkan sebagian kalangan menyatakan, bahwa sikap yang diambil Partai Golkar yang menetapkan JK dan membuyarkan koalisi kerakyatan dan menggantikan dan membangun koalisi kebangsaan lebih menampakan watak Partai Golkar yang ingin tetap berada dalam kekuasaan yang selama ini dinikmati dan tidak mau menjadi partai oposisi.
Sikap ini kemudian memberikan sikap yang aneh untuk dinilai oleh publik. Bagaimana mungkin untuk menilai sikap politik partai Golkar disatu sisi sebagai partai pemenang Pemilu 2004 namun tidak berhasil mengantarkan kandidate Presiden menjadi pemenang Presiden 2004. bahkan Golkar kalah telak.
Disisi lain kemudian menetapkan JK sebagai ketua umum yang berposisi sebagai Wakil Presiden dan Agung laksono yang berposisi sebagai ketua DPR dan menempatkan sebagai wakil Ketua umum.
Piramida aneh ini kemudian terbukti manjur. Hampir praktis setiap kebijakan Pemerintah didukung di parlemen.
Posisi strategis ini tidak terlepas dari kiprah JK yang memainkan peranannya.
Bahkan majalah Tempo secara lugas memberikan istilah dua mata pisau untuk menggambarkan posisi yang dimainkan oleh JK (bahkan ada yang memberikan istilah strategi dua kaki terhadap strategi yang digunakan).
Artinya, disatu sisi JK sebagai wakil Presiden yang melaksanakan kebijakan pemerintah yang mengelola negara (dan tentu saja mengamankannya) namun disisi lain memainkan peran sebagai Ketua Umum partai yang mendominasi suara dan mengontrol suara di parlemen (yang tentu saja akan mendukung Pemerintah).
Sikap ambigu yang diambil oleh Partai Golkar terbukti effektif. Praktis suara parlemen relatif aman (apabila adanya hak angket, hak interpelasi terhadap beberapa issu politik seperti isu Palestina, issu BBM dan sebagainya, namun secara umum relatif aman terhadap pemerintahan).
Sehingga suara parlemen lebih banyak diteriakkan oleh PDIP yang tetap konsisten sebagai partai oposisi dan mengontrol setiap kebijakan Pemerintah.
Bahkan suara kritispun lebih banyak disuarakan anggota parlemen namun tidak menjadi agenda utama parlemen untuk menyikapinya.
Namun cerita itupun usai. Memasuki tahun 2009, suasana politik memanas.
Pernyataan tokoh partai Demokrat yang menyatakan Partai Golkar hanya bisa meraih suara hanya 2,5 % seperti membangunkan harimau tidur.
Tokoh-tokoh Partai Golkarpun seperti kebakaran jenggot dan bersikap untuk mengusung sendiri kandidate memasuki Pemilihan Presiden tahun 2009.
Sikap ini tentu saja dilandasi sikap pongah yang terlalu yakin Partai Demokrat mengusung SBY sebagai kandidate Presiden dan meyakini sebagai pemenang. Reaksi tokoh-tokoh penting Partai Golkarpun begitu cepat dan merubah konstalasi hubungan yang terbangun antara Partai Demokrat dan Partai Golkar.
Dalam hitungan hari, sikap JK yang tidak bersedia maju sebagai kandidate Presiden dan hanya bersedia menjadi Wakil Presiden berubah secara drastis. Disatu sisi sikap Partai Demokrat yang tidak memberikan kejelasan siapa yang menjadi Wakil Presiden dan terlalu yakin Partai Demokrat untuk memenangi pemilihan Presiden 2009, membuat Partai Golkar menentukan sikap tegas.
Partai Golkar kemudian telah memutuskan untuk tidak berkoalisi dengna partai Demokrat dalam pilpres 2009 dan mengusung sendiri kandidate. Sikap ini dimulai dari peristiwa konfrontatif ketua DPD Partai Golkar se-Indonesia yang langsung menemui JK dan meminta JK untuk menjadi kandidate Presiden 2009.
Dalam hitungan waktupun, sikap ini akan ditetapkan dalam forum resmi di Partai Golkar.
Peristiwa bersedianya JK untuk diusung sebagai kandidate Presiden 2009 memberikan penafsiran berbeda-beda.
Tafsiran pertama, sikap yang diambil JK sebagai bentuk akomodatif atau sikap kompromi untuk menampung aspirasi yang berkembang kuat mengusung JK di kalangan internal Partai Golkar.
Tafsiran kedua, JK akan membaca reaksi publik terhadap bersedianya dicalonkan Partai Golkar sebagai kandidate Presiden 2009.
JK akan membangun komunikasi dengan berbagai partai politik sekalian mengukur kekuatan untuk menghadapi Pilpres 2009.
Dari hasil hitung-hitungan itu, maka JK akan menentukan sikap apakah akan maju atau tidak dalam pilpres 2009. Apabila suara ini menguat, maka JK akan maju dan bertarung dengan SBY.
Namun apabila tidak, maka JK mempunyai kartu AS yang akan berkoalisi dengan partai-partai lain. Tafsiran ini dapat ditandai dengan semakin gencarnya JK membangun komunikasi dengan berbagai partai baik dengan PKS maupun dengan PPP dan tentu saja akan membangun dengan berbagai partai-partai lain.
Tafsiran ketiga, Jusuf Kalla sudah membangun komunikasi dengan SBY dan tetap berduet untuk Pilpres 2009.
Sikap yang diambil hanyalah mengamankan riak-riak politik dan agar publik tidak berkonsentrasi terhadap SBY.
Dengan demikian, SBY akan lenggang kangkung memasuki Pilpres 2009. (dan tentu saja apakah JK menjadi wapres atau tidak, bagi Partai Golkar harus mendapatkan kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan)
Sikap cerdas yang dibangun JK sekali lagi meletakkan posisi Partai Golkar yang selalu memainkan peran dominan dalam kancah politik kontemporer di Indonesia.
Tentu saja harus diakui, dominasi Partai Golkar dalam kancah politik kontemporer di Indonesia tidak terlepas style dari karakter JK yang secara cerdas melihat peluang politik untuk mengambil. Cara-cara cerdas yang dilakukan oleh JK akan terus mewarnai perpolitikan kontemporer di Indonesia.
Tentu saja pandangan yang disampaikan penulis masih menjadi catatan penting untuk melihat kiprah partai Golkar memasuki pilpres 2009.
Dimuat di www.Infojambi.com, tanggal 18 Maret 2009
http://infojambi.com/content/view/5170/101/lang,/