28 Februari 2009

opini musri nauli : Warga Jambi Mencari Keadilan di Jakarta



Delapan warga Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi mencari keadilan di Jakarta, karena penyelesaian masalah sengketa lahan mereka dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sawit Jambi Lestari (SJL) seluas 2.840 hektare menemui jalan buntu di Jambi. 

 Jambi, 28/2 (Regional.Roll) - Delapan warga Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi mencari keadilan di Jakarta, karena penyelesaian masalah sengketa lahan mereka dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sawit Jambi Lestari (SJL) seluas 2.840 hektare menemui jalan buntu di Jambi. 

 "Kami warga Desa Rantau Gedang Kabupaten Batanghari didampingi pengurus WALHI Jambi terpaksa mencari keadilan di Jakarta dengan mendatangi lembaga-lembaga negara yang bisa menuntaskan masalah kami," kata Kepala Desa Rantau Gedang, M Tarmizi AB di Jakarta, Sabtu. 

 Mereka di Jakarta akan mendatangi Departemen Pertanian, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Komnas HAM, sebab upaya untuk menyelesaikan masalah mulai dari tingkat kabupaten hingga provinsi menemui jalan buntu. PT SJL yang mendapat izin Hak Guna Usaha (HGU) pada 1993 menggarap tanah ulayat warga desa tanpa melakukan ganti rugi. Pola Perkebunan Inti Rakyat-Transmigrasi (PIR-Trans) yang dijanjikan perusahaan hingga kini tidak terlaksana. "Sampai saat ini PT SJL tidak menepati janji, padahal kami sangat membutuhkan lahan tersebut untuk menghidupi anak dan keluarga kami," katanya. 

 Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Jambi, Arif Munandar menjelaskan, sejak tahun 1995 hingga 2002 PT SJL telah menelantarkan lahan tersebut, padahal warga sangat membutuhkan lahan tersebut untuk dikelola. Perusahaan tersebut membuka lahan perkebunan sawit itu dengan cara membakar hutan dan menebang kayu sebenarnya juga menimbulkan masalah, karena telah merusak lingkungan hidup. 

 Awal sengketa itu juga muncul saat krisis moneter pada 1998 yang berdampak terhadap krisis pangan di Desa Simpang Rantau Gedang, sehingga mendorong warga untuk mengelola lahan yang diterlantarkan tersebut. 

 Pada 2003 warga menggarap lahan dengan mengembangkan tanaman sawit hingga mereka merasakan manfaatnya. 

Persoalan mulai muncul pada 2007 ketika perusahaan mengambil alih kebun-kebun yang telah berhasil dikelola secara mandiri oleh warga. Pengambilalihan lahan itu pihak perusahaan melakukan tindakan premanisme, penganiayaan dan intimidasi mulai dirasakan warga setempat. 

Aparat kepolisian pun cendrung tidak menjalankan fungsinya dengan baik selaku pengayom masyarakat. Sebagai contoh kasus penganiayaan terhadap warga bernama Ahyat yang telah dilaporkan ke Polsek Mersam pada 21 Juni 2008, namun hingga saat ini pelaku penganiayaan itu tidak ditangkap. 

 Hal yang sama juga diungkapkan Ketua Dewan Daerah WALHI Jambi, Musri Nauli, jika mengacu pada pasal 34 huruf (b) dan (e) Undang-Undang Pokok Agraria NO: 5 tahun 1960 menjelaskan HGU akan dihapus atau dihentikan sebelum jangka waktu izinnya berakhir apabila pemegang izin HGU menelantarkan lahan. 

 Sedangkan dalam pasal 9 ayat (1) UU Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan menyebutkan apabila menurut penilaian menteri, HGU yang bersangkutan tidak dimanfaatkan sesuai rencana atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut sejak HGU diterbitkan otomatis izinnya dicabut. PT SJL mendapat izin HGU itu diperkuat surat keputusan Gubernur Jambi No.58 tahun 1988 tentang pencadangan lahan untuk membangun perkebunan kelapa sawit dengan pola PIR-Trans. 

 "Mengacu dari peraturan perundangan yang berlaku itu selayaknya HGU PT SJL dicabut dengan menyerahkan kembali lahan tersebut kepada masyarakat," katanya 

 Saturday, 28 February 2009 15:02 p://www.news.id.finroll.com/news/14-latest/23969-____warga-jambi-mencari-keadilan-di-jakarta____.html