09 Juli 2009

opini musri nauli : PEMILIHAN PRESIDEN, PRESIDEN KITA DAN KITA



Usai sudah tahapan rangkaian pemilu di Indonesia. Anggota parlemen dan senator telah terpilih. Dan pemilihan Presiden sudah terjadi. Terlepas kita masih menunggu penghitungan manual dan sahih dari KPU, hasil yang disampaikan oleh quick count dari berbagai lembaga survey menempatkan candidate SBY sebagai pemenang mayoritas (rata-rata hasil survey menunjukkan hasil yang diraih diatas 50 % dan merata di 20 Propinsi). 

Dengan hasil penghitungan dari lembaga survey, menempatkan SBY sebagai pemenang dan tidak perlu diadakan putaran kedua. Angka-angka yang dipaparkan lembaga survey membuktikan, bahwa dukungna kepada candidate SBY meraih suara yang sangat signifikan sehingga mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat. 

Angka-angka yang dipaparkan lembaga survey tentu saja tidak akan berpengaruh banyak dari penetapan yang akan dilakukan oleh KPU. Pemilu 2009 memberikan istilah-istilah baru kepada rakyat. 

Istilah seperti DPT, koalisi, suara terbanyak, quick count dan sebagainya mewarnai kosakata yang berseliweran di media massa. Istilah-istilah ini kemudian mengaburkan istilah-istilah yang pada masa awal reformasi sempat terekam dalam ingatan public. 

Istilah seperti KKN, reformasi, pemerintahan yang bersih (good governance), kemudian menjadi kajian akademis dan terlupakan dari kosakata kazanah bahasa. Begitu juga kosa kata pembangunan, bahaya laten, antek-antek pernah menguasai perbendaharaan kata di politik kontemporer Indonesia. 

Pemilu menutup helatan akbarnya dan memberikan pelajaran penting bagi tumbuhnya demokratisasi di Indonesia. Teknis Pemilu 2009 merupakan cara yang paling rumit. Suara yang telah diberikan di TPS, kemudian dihitung oleh panitia setempat dan mengalami proses yang panjang sehingga dapat ditetapkan oleh Pleno KPU. 

Suara itu tidak bisa dijamin akan dapat diproses di pleno KPU karena masih ditemukan suara yang beralih, hilang, tertukar kepada candidate lain atau sama sekali tidak bisa dihitung. Proses pidana yang berkaitan dengan Pemilu masih ditemukan di berbagai pengadilan di Indonesia. 

Terlepas dari putusan yang menghukum pelaku yang mencoba bermain-main dengan suara rakyat, sikap aparatur negara yang masih memainkan suara rakyat harus dieliminir. Pelajaran penting yang bisa dipetik dari pelajaran Pemilu adalah masih kisruhnya daftar pemilih tetap. 

Klaim KPU yang menyatakan bahwa DPT tidak bermasalah menempatkan issu yang paling hangat dalam perbincangan politik di Indonesia. 

Publikpun terkesima terhadap berbagai manuver menjelang Pilpres dan Isu ini kemudian mengaburkan pandangan politik terhadap candidate Presiden. Maka debat candidate yang dilakukan di berbagai stasiun televise menjadi tidak ada artinya. 

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pemilihan dengan menggunakan KTP juga tidak menyelesaikan persoalan yang sebenarnya. Justru putusan MK hanya menyentuh lapisan elite dan tidak menyelesaikan persoalan DPT. Menurut penulis, titik ruwet dari DPT adalah, Indonesia tidak mempunyai administrasi yang baik tentang data kependudukan. 

Wacana pemilu yang berkaitan dengan DPT akan baik apabila Indonesia akan mempunyai data kependudukan yang baik sebagaimana rumusan didalam UU No. 23 tahun 2006 yaitu istilah single card identity. 

Warna pemilu juga ditandai dengan dikabulkannya putusan MK terhadap pengakuan suara terbanyak dan putusan MK untuk menerima pemilih dengan menggunakan KTP. 

Sekali lagi MK telah menjalankan tugasnya sebagai lembaga negara yang mengawal konstitusi Dalam perjalanan panjang bangsa yang mengikrarkan Indonesia merdeka, harus diakui pengalaman berdemokrasi dalam ketatanegaraan Kepresidenan masih minim. Sebagaimana dalam catatan sejarah, dalam kurun yang panjang, Indonesia dipimpin dua orang Presiden yang diktator. 

Suasana heroik kemerdekaan, membuat Soekarno bisa diterima oleh rakyat Indonesia walaupun akhirnya digulingkan melalui Supersemar (walaupun masih banyak kajian sejarah yang masih menggugatnya, namun untuk sementara bacaan kita tentang tergulingnya Soekarno ketika Supersemar, 11 Marert 1966). 

Tergulingnya Soekarno oleh Pemerintahan Soeharto dengan mengukuhkan issu anti komunis, membuat Soeharto memimpin Indonesia cukup lama sampai akhirnya digulingkan oleh Pemerintahan yang mengusung issu anti KKN. 

Tema yang diangkat kemudian reformasi dan yang berbau Soeharto mengalami keterpinggiran. Soeharto kemudian menyepi (Soeharto memberikan istilah lengser keprabon). 

Jatuhnya Soeharto tidak membuat Indonesia menjadi proses demokrasi yang baik. Pemilu 1999 yang membuat PDI-P sebagai pemenang tidak membuat Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-P sebagai Presiden. Megawati kalah dalam pemilihan Presiden di MPR oleh Abdurrahman Wahid yang berhasil menjadi Presiden. 

Walaupun Megawati berhasil menggantikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden 1,5 tahun kemudian, namun Megawati naik menjadi Presiden karena dipilih anggota MPR. Kepemimpinan Presiden Soekarno yang diwarnai heroik kemerdekaan, Soeharto sebagai figur anti komunis dan Megawati sebagai kelompok perlawanan orde baru merupakan spirit yang menggelora dalam suasana saaat itu. 

Maka naiknya Soekarno, Soeharto dan Megawati dirasakan sebagai kebutuhan sejarah Indonesia pada saat itu. Suasana ini kemudian tidak dirasakan pilpres 2004. 

Faktor dominan yang dirasakan pilpres 2004 dan 2009 adalah politik pencitraan (penulis sengaja menggunakan istilah yang sering dimuat di media massa). Berangkat dari sistem pemasaran sebuah produk, maka para pembeli harus dijejali iklan yang bertubi-tubi dan disodori setiap hari baik di televisi maupun di media cetak. Ingatan pembeli pasti langsung terekam. Maka kita akan mudah mengingat, merk sabun cuci, obat sakit kepala, penyedap rasa, minuman the, atau ilklan-iklan yang dengan mudah diucapkan anak-anak sekalipun. Dijejali slogan-slogan setiap hari membuat ingatan publikpun akan terekam. Maka setiap langkah, tutur, pakaian dan berbagai pernik yang berkaitan dengan pencitraan disusun, diatur bahkan sampai berbagai atribut kampanye. 

 Maka slogan “LANJUTKAN” ternyata lebih mudah diingat daripada slogan ‘LEBIH CEPAT LEBIH BAIK”. 

Bahkan slogan ‘LEBIH CEPAT LEBIH BAIK” yang pada awal-awalnya berhasil merebut perhatian publik ternyata tidak solid daripada iklan “PRO RAKYAT”. 

Maka dapat dimengerti apabila suara yang diraih Jusuf Kalla –Wiranto jauh dibawah dari Megawati – Prabowo. Apabila dilihat dari persentase suara yang berhasil diraih, Megawati - Prabowo 26,04 %, SBY-Boediono 58,85 % dan JK-Win 15,11 % menggambarkan realitas politik yang ada. Apabila angka-angka itu kemudian kita lihat dari basis dukungan masing-masing kandidate, maka angka-angka itu adalah dukungan riil dari kandidate. Anggap Mega-Pro meraih 26,04%, angka persentaase itu didapat dari jumlah suara PDI-P dan Gerindra (Partai pengusung kandidate) dalam Pemilihan Legislatif yang lalu. Begitu juga dengan JK-Win. 

Dengan asumsi ini, maka heroik kebangsaan PDI-P yang merupakan tema sentral dari Megawati tidak beranjak lebih besar dari dukungan solidnya. Artinya, tema yang ditawarkan oleh Megawati-Pro hanya menyentuh kepada basis dukungan kongkrit saja. 

Dan tidak bisa melebarkan basis dukungannya. Dengan demikian tema yang ditawarkan Megawati- Pro dan JK-Win hanya menggema dalam lingkup basis dukungan saja. 

 Dengan demikian, maka heroik naiknya Soekarno, Soeharto dan Megawati tidak lagi tepat untuk kebutuhan sejarah Indonesia. Indonesia mengalami proses melodrama dan politik pencitraan yang berhasil dikemas dengna baik oleh SBY-Boediono. 

Asumsi-asumsi yang penulis sampaikan menggambarkan realitas politik yang tidak memberikan porsi yang cukup dengan issu nasionalis, isu mesin politik dan struktur partai. 

Pemilihan Presiden secara langsung 2004 dan 2009 memberikan ruang kepada politik pencitraan dan berbagai kemasan iklan yang menarik perhatian publik. Maka hampir praktis iklan yang memberikan pencitraan dan berbagai pernik yang berkaitan dengan kandidate lebih mudah diterima dan diingat publik. Sehingga persentase yang berhasil diraih oleh SBY. 

Catatan yang telah penulis sampaikan, menjadi catatan yang terekam dalam memori kita. Penetapan hasil dari KPU hanyalah masalah waktu.

 Namun yang menjadi semangat kita membenahi Pemilu 2009, janji-janji politik yang disampaikan oleh SBY harus dilaksanakan, agar turunnya SBY tidak mengalami nasib seperti Soekarno, Soeharto, Megawati dimana, kehadirannya ditunggu, namun di akhir periode harus dihukum oleh rakyat. 

Salam