Kasus Prita Mulyasari merupakan ujian sesungguhnya bagaimana hukum di Indonesia menyikapi dunia cyber (maya). Prita Mulyasari, ibu dua anak, mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten, gara-gara curhatnya melalui surat elektronik yang menyebar di internet mengenai layanan RS Omni Internasional Alam Sutera.
Pihak aparatur penegak hukumpun bereaksi cepat. Polisi kemudian membidik kasus ini dan saat pelimpahan perkara, Jaksa penuntut umum melakukan penahanan terhadap Prita.
Reaksipun bermunculan..
Gema reformasi dan demokrasi yang mengagungkan kebebasan menyuarakan pendapat dikungkung dengan sikap reaktif aparatur penegak hukum. Mobilisasi terhadap perlawanan penahanan Pritapun dilakukan.
Media massa menyuarakan sikap kritis dan meliput peristiwa ini secara habis-habisan.
Liputan habis-habisan di media massa dan kampanye penolakan didunia maya, memaksa petinggi Negara urun rembug.
Pernyataan dari Komnas HAM, Dewan Pers, petinggi negeri, Mulai dari Presiden, wakil Presiden, candidate Presiden menolak keras penahanan tersebut. Reaksi yang luar biasa ini kemudian menyebabkan institusi kepolisian dan kejaksaan saling lempar tanggung jawab. Pihak kepolisian berkilah bahwa penyidik hanya menggunakan pasal 310 KUHP (pasal penistaan/fitnah). Di tingkat penyidikan, tidak dilakukan penahanan.
Pihak penyidik berkilah tidak mencantumkan tuduhan UU ITE. Dia dimasukkan sel oleh jaksa setelah memasukkan UU ITE pasal 27 (3) dalam berkas perkara dengan ancaman hukuman hingga 6 tahun.
Dan pihak penyidik berkilah, bahwa pihak Jaksa penuntut umum yang kemudian menambahkan ketentuan UU ITE.
Peristiwa ini kemudian menyeret pemeriksaan internal baik di kepolisian maupun pihak kejaksaan.
Terlepas dari bagaimana hasilnya, namun ditingkat kejaksaan, Prita dilakukan penahanan.
Setelah 'digempur' lewat dunia nyata dan dunia maya, akhirnya aparat hukum membebaskan Prita Mulyasari (32) dari LP Wanita Tangerang.
Prita dibebaskan karena statusnya berubah menjadi tahanan kota. Sebagaimana akhir kisah Prita, Pengadilan kemudian mengabulkan eksepsi yang disampaikan oleh Tim Penasehat Hukum terdakwa (Prita dan Kita PRITA DAN KITA - Catatan Hukum Kasus Prita Mulyasari. Jambi Ekspress tanggal 6,7,8 Juli 2009).
Jaksa penuntut Umum keberatan terhadap Putusan yang mengabulkan Eksepsi Penasehat Hukumdan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten (verzet). Pengadilan Tinggi Bantenpun mengabulkan keberatan Jaksa Penuntut dan memutuskan bahwa Pemeriksaan dilanjutkan (Jambi Ekspres, 1 Agustus 2009).
Tiba-tiba kita tersadar dan dirasakan diperlakukan tidak adil. Dunia cyber terutama email memang dunia yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita. Maka menjadi persoalan bagi kita karena email yang kita kirimi dan isinya menjadi persoalan dimuka hukum.
Berangkat dari perkembangan terakhir, penulis akan mencoba memaparkan pandangan didalam melihat kasus ini.
Pembahasan tentang dikabulkannya eksepsi oleh Pengadilan Negeri Tangerang sudah penulis bahas di media massa Harian Jambi Ekspress tanggal 6,7,8 Juli 2009.
Pembahasan yang hendak penulis sampaikan saat ini berangkat dari teori pemidanaan dan pembuktian terhadap Prita (dalam hukum materiil).
Kasus Prita kemudian memantik dan menimbulkan reaksi yang memberikan porsi konsentrasi dari publik.
Kasus Prita adalah ujian yang sesungguhnya terhadap pandangan hukum di Indonesia terhadap sistem elektronik.
Selain email seperti kasus Prita, sistem elektronik sudah merupakan bagian dan hidup sehari-hari. Mengambil uang dari anjungan tunai mandiri (ATM/automatic teller mesin), transaksi bank melalui internet (internet banking), bahkan praktis, sebagian besar, transaksi di berbagai bidang, sudah terlayani melalui sistem elektronik.
Pembayaran yang berkaitan dengna kehidupan sehari-hari seperti, pembayaran lisrik, air, telephone rumah, dan berbagai pembayaran pemakaian kebutuhan rumah tangga sudah terlayani melalui ATM.
Bahkan pembayaran belanja di kasirpun sudah dilayani oleh ATM.
Praktis, sebagian besar pekerjaan kita sudah dilayani melalui internet.
Kembali ke pembahasan kita mengenai Prita, sebagaimana kita ketahui, email berasal dari kata e-mail atau electronik mail adalah bentuk surat melalui dunia maya yang hanya bisa dibaca oleh penerima email.
Orang lain yang tidak dikirimi email, maka tidak dapat membaca email dari kita. Dengan demikian mengirimi surat kepada teman melalui email sebenarnya masuk kedalam ranah privat.
Atau dilapangan hukum pidana, email yang dikirimi Prita tidak termasuk kedalam wilayah umum atau bisa dibaca atau ketahui orang banyak (openbaar)
Orang tidak bisa masuk dan mengetahuinya.
Dengan demikian, menurut penulis, dari ranah ini, sebenarnya Prita tidak dapat dikualifikasikan melakukan perbuatan sebagaimana diatur didalam Pasal 27 (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Didalam rumusan dalam pasal 27 (1) dinyatakan “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Apabila kita perhatikan rumusan ini, maka kata-kata yang penting dan menjadi sorotan penulis adalah frase kata-kata “tanpa hak”. Sebagaimana didalam lapangan hukum pidana, kata-kata “tanpa hak”, adalah perbuatan yang dilakukan dimana hukum tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan yang dilakukan oleh subject hukum.
Apabila kita perhatikan dengan frase kata-kata “tanpa hak”, dengna melihat kata-kata selanjutnya, “mendistribusikan/ mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses informasi elektronik…. yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”, maka perbuatan itu diterjemahkan secara singkat, “seseorang tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan mendistribusikan… yang memiliki kesusilaan”. Frase kalimat itu menggambarkan bahwa seseorang “tanpa hak” untuk “mendistribusikan..”.
Maka dengan merujuk definisi “tanpa hak” dengna merujuk kepada peristiwa yang terjadi di Prita, maka menurut penulis tidak tepat. Prita mempunyai hak untuk mengeluarkan curahan hatinya kepada temannya melalui email.
Jangankan berkaitan dengan pelayanan yang tidak baik yang diterimanya, menghujat penguasa negara (openbaar minister sebagaimana diatur didalam pasal 207 KUIHP, tidak menjadi masalah, karena tidak dikirimi secara umum).
Sebagai pasien yang mengalami rasa ketidakmaksimalan pelayanan dari RS Omni Internasional tentu saja mempunyai hak untuk menceritakan persoalannya dan kegundahannhya kepada teman.
Dan zaman modern sekarang yang sangat maju, sebagai ibu rumah tangga biasa di Jakarta, tentu saja Prita tidak menggosipnya di tetangga namun hanya mengirimi kepada teman melalui email. Dalam tingkatan ini, sebenarnya Prita sangat sopan dan tidak menghujat RS Omni Internasional.
Tentu saja Prita tidak dapat dipersalahkan melakukan perbuatan mengeluarkan curahan hatinya melalui email dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Menjadi rancu dan sangat aneh, apabila kita mengirimkan surat melalui email kepada teman kita, kemudian diproses pidana.
Ketika kita mengirimkan surat kepada teman kita melalui email, maka isi surat itu merupakan ranah privat. Surat yang kita kirimkan tentu saja tidak dapat dibaca oleh siapapun selain yang menerima email.
Sehingga apapun isi surat itu, maka tidak dapat dibenarkan orang lain untuk menyebarkan isi surat itu.
Artinya email yang dikirimi oleh Prita tidak termasuk kedalam kriteria umum (openbaar) sebagaimana didalam berbagai rumusan peraturan perundang-undangan.
Salah satu ketentuan yang mengatur tentang istilah umum/publik (openbaar) menurut UU No. 9 Tahun 1998 kriteria “dimuka umum”, “adalah “dihadapan orang banyak atau orang biasa termasuk juga termasuk di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang”.
Selain itu rumusan dimuka umum dapat dilihat didalam pasal 207 KUHP dan berbagai ketentuan lain didalam KUHP.
Dengan demikian, maka frase kata-kata “tanpa hak” tidak tepat dikenakan kepada Prita.
Dan tentu saja perbuatan yang dilakukan oleh Prita yaitu mengirimi tentang keluhan hatinya dengan mengirimi surat kepada temannya melalui email tidak dapat dinyatakan dan perbuatan itu tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana.
Lantas dari peristiwa ini siapa yang harus bertanggungjawab ?.
Apabila merujuk kepada peristiwa yang terjadi, maka frase “tanpa hak”, sebenarnya lebih tepat ditujukan kepada siapa yang telah dikirimi email oleh Prita dan kemudian menyebarkan email tersebut kepada yang lain.
Frase “tanpa hak” ini lebih tepat dikenakan dengna asumsi bahwa yang telah menerima email dari Prita tentu saja “tidak berhak” untuk menyebarkan isi email tersebut kepada siapa saja.
Atau dengna kata lain, orang yang telah menerima email dari Prita harus meminta izin (toestemming) dan telah diberi izin oleh Prita.
Dengna demikian maka “tanpa hak” orang yang telah dikirimi email oleh Prita menjadi hapus.
Atau dengan kata lain, Apakah email yang telah diterima itu kemudian boleh untuk disebarkan kepada orang lain ?.
Apabila orang yang telah menerima email dari Prita tidak meminta izin atau tidak diberi izin oleh Prita, maka orang yang telah menerima email dari Prita dapatlah dikategorikan sebagai “tanpa hak” untuk menyebarkan isi email tersebut. Dengna demikian “tanpa hak” sebenarnya lebih tepat ditujukan kepada orang yang telah diterima email oleh Prita.
Dan setelah membuktikan bahwa orang yang telah menerima email dari Prita kemudian menyebarkan isi email tersebut, maka selanjutnya harus dibuktikan apakah email tersebut beredar dikalangan umum seperti Facebook, surat pembaca atau media-media lain yang bisa dibaca atau diakses luas.
Apabila email yang telah diterima dari Prita hanya dikirimi dikalangan terbatas dan hanya dalam sistem elektronik menerima dan mengirimi email semata, maka menurut penulis tidak dapat dikualifikasikan sebagai “tanpa hak” dan “dimuka umum”.
Namun apabila penyebar email dari Prita yang kemudian mengedarkan di kalangan umum maka harus diminta pertanggungjawaban secara hukum untuk memenuhi unsur dari UU ITE tersebut. Dengan demikian, sebenarnya lebih tepat apabila “tanpa hak” dan dimuka umum” ditujukan kepada pengedar email dari Prita. Pemikiran ini tentu saja apabila pihak RS Omni Internasional keberatan terhadap keluhan Prita.
Namun apabila dilihat daripada isi email tersebut, sebenarnya, pengedar email dari Prita sebenarnya tidak dapat juga dipertangungjawabkan.
Walaupun pengedar email “tanpa hak” namun kepentingan RS Omni yang merasa keberatan tidak tepat.
Selain karena Prita mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan dari RS, Prita sudah mengajukan keberatan (komplain) ke pelayanan RS, namun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Dengna demikian, sebenarnya, Prita sudah melalui mekanisme yang ditentukan untuk mengajukan keberatan terhadap kurang maksimalnya pelayanan dari RS.
Sehingga penulis tetap berpendapat walaupun yang menerima email dari Prita juga tidak dapat dipersalahkan melakukan perbuatan sebagaimana didalam rumusan UU ITE.
Setelah penulis memaparkan pandangna penulis dari teori pemidanaan dan pembuktian hukum pidana, maka penulis akan mencoba menjawab pernyataan di awal tulisan yaitu tentang “ketidakadilan” yang kita rasakan dalam kasus Prita.
Menurut Gustav Radbruh, Hukum harus mengandung tiga nilai identitas. Asas Kepastian hukum (rechmatigheid) yang meninjau dari sudut yuridis, asas keadilan hukum (gerectigheit/wetmatigheid) yang meninjau dari sudut filosofis dan asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid /doelmatigheid/utility) yang meninjau dari sosiologis.
Apabila kita perhatikan dari ketiga asas dalam kasus Prita, maka dari sudut yuridis akan menjadi sulit terpenuhi, selain Prita mempunyai “hak” untuk menyebarkan gagasannya, namun Prita tidak pernah membuka kepada publik keluhannya.
Dari sudut asas keadilan, perlakukan dalam kasus Prita tentu saja menimbulkan ketidakadilan sebagaimana pernyataan dari berbagai petinggi Republik yang juga kita rasakan.
Sedangkan dari sudut sosiologis, maka menimbulkan dampak yang luar biasa. Publik Indonesia seakan-akan tersentak terhadap sikap aparatur yang melakukan penahanan terhadap Prita dan tentu saja menimbulkan gelombang protes disana-sini.
Dengna demikian, apabila melihat dari identitas hukum sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruh, maka sebenarnya, tidak memenuhi unsur hukum dan tidak tercipta keadilan. Dengna demikian, maka rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan itu bertentangan dengan hukum.
Maka berdasarakan kepada pemikiran tersebut, maka sudah terpenuhi dilihat dari yuridis, filosofis dan sosiologis kasus Prita tidak terpenuhi secara hukum dipersalahkan melakukan perbuatan pidana.
Dengan demikian, maka tentu saja kiita berharap agar proses hukum terhadap Prita dapat dibebaskan.
Maka peristiwa yang menimpa Prita sekali lagi membuktikan apakah hukum pidana formal dapat menjangkau dan menyelesaikan kasus Cyber ini. Tentu saja kita berharap agar hukum dapat menjawab semua pernyataan dan kegelisahan kita.
Kita tunggu saja.
Baca : Petisi Prita Mulya Sari
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 6 Agustus 2009