06 Oktober 2009

opini musri nauli : CATATAN PENTING GEMPA BUMI YANG TERJADI DI INDONESIA

Pada tanggal 30 September 2009 yang lalu, Indonesia dihentakkan gempa bumi yang berkekuatan 7,6 SR yang menimpa Sumatera Barat yang daya getarnya sampai ke Singapura (Kompas, 1 Oktober 2009). 



Gempa bumi dengan daya rusak sebagian besar Sumatera Barat dan Padang Pariaman, gempa mengguncang Jambi. 
Ratusan orang tewas, ratusan tertimbun runtuhan rumah dan bangunan, Bandara Internasional Minangkabau, Padang, pun sempat ditutup. 

Gempa ini kemudian disusul esok harinya yang terjadi di Jambi dan Bengkulu dengna pusat gempa dalam radius wilayah Kabupaten Kerinci. 

Gempa yang terjadi di Sumbar dan Gempa keesokan harinya di Kerinci mengakibatkan Desa Renah Kemumu terisolir dari aktivitas jalan sehingga Desa Renah Kemumu memerlukan emergency respon. 

 Banyak analisis yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah yang termasuk kedalam ancaman bencana dan kerawanan bencana. 

Data-data yang dipaparkan Kompas tanggal 5 Oktober 2009 sekali lagi membuka mata kita bahwa kita semua Harus Siap siaga menghadapi bencana gempa. 

Hasil berbagai riset juga mendukung, bahwa jalur gempa yang ditandai dari Ujung Sumatera melewati pesisir Barat Pulau Sumatera hingga menyusuri Jawa yang kemudian menuju Kupang, Ambon, Manado dan mengitari Pulau Irian. 

Bertemunya titik gempa baik karena tektonik bagian barat Indonesia dengan kecepatan lempeng 6,8 -7,0 cm/tahun hingga tektonik bagian timur Indonesia kecepatan lempeng 12 cm/tahun mengakibatkan analisis yang dipaparkan ahli membuktikan Indonesia hampir praktis tidak bisa jauh dari gempa Bumi. 

 Data ini kemudian diikuti dengan bencana gempa 7,6 SR di Laut Banda/Ambon tahun 1899 , hingga dalam zaman modern tahun 2004 9,1 SR di Aceh, menyusul NTT 7,3 SR, Yogyakarta, 5,9 SR, Bengkulu 2007, 7,7 SR, Sulteng 7,7 SR tahun 2008. Bahkan praktis gempa susul menyusul 7,2 SR di Papua awal tahun 2009, September di Sumbar 7,6 SR dan 7,0 SR diBengkulu dan Jambi. 

 Angka-angka yang dipaparkan membuktikan bahwa Indonesia merupakan rentan bencana yang tidak dapat dipisahkan dari bencana bumi. 

Menjadi pertanyaan serius yang kita paparkan, apakah Indonesia merupakan negeri yang tidak terpisahkan dari bencana harus hidup dan menghadap bencana ? Ilmu pengetahuan mengajarkan, mengenai gempa tidak dapat diprediksi baik mengenai waktu maupun mengenai tempat yang akan terjadi.

 Hingga sekarang, negara yang paling rentan gempapun, Negara Jepang belum mampu menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan gempa (Riset sejarah Gregory Clancey dalam buku Earthquake Nation: The Cultural Politics of Japanese Seismicity, 1868-1930 terbitan University of California Press 2006 merefleksikan Jepang sebagai bangsa gempa. Kompas, 2 Oktober 2009, Masyarakat Sadar Bencana, Jonatan Lassa). 

Prediksi mengenai waktu dan tempat gempa, hingga sekarang masih misteri yang belum menemukan jawaban yang memuaskan. 

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan ilmu pengetahuan yang mampu memprediksi gunung meletus, banjir, longsor ataupun mencairnya es gletser di antartika. 

 Namun yang menjadi persoalan, bencana gempa di Sumatera harus disikapi dengna bijak dan harus meletakkan pada konteks yang sebenarnya. 

 Dari konstruksi berfikir inilah, kita sejenak memberikan jawaban yang dibutuhkan untuk menjawab persoalan yang telah dipaparkan. 

 Sebagai bencana gempa, korban jiwa dan kerusakan rumah memang tidak bisa dihindarkan. Hampir praktis, sejarah memaparkan akibat gempa selalu memakan korban. 

Tentu saja yang paling menarik perhatian kita saat gempa di Aceh yang memakan korban 220.000 orang. 

Jumlah korban yang paling besar di zaman modern sekarang ini. Dalam berbagai catatan sejarah, korban akibat bencana di Indonesia hanyalah dikalahkan pada meletusnya gunung Agung Galunggung tahun 1883 yang konon mencapai satu juta orang dan debu letusan gunung mencapai negara Eropa. 

Dalam berbagai dokumen diterangkan, Pulau Jawa tertutup awan selama 1 minggu. Bencana ini termasuk salah satu bencana yang dikenang dunia pada awal pertengahan abad 20-an. 

 Dari berbagai data jumlah korban akibat gempa, hampir praktis, gempa di yogya yang berjumlah 6.223 orang yang memakan banyak korban (selain Aceh yang telah diterangkan sebelumnya). 

Dengan demikian, maka sesungguhnya, jumlah korban akibat bencana gempa bumi tidaklah begitu besar dan tidak menimbulkan dampak jumlah yang luar biasa. 

 Dengan demikian, dua paparan yang telah penulis sampaikan, korban yang terjadi akibat gempa praktis merupakan korban yang terjadi akibat gempa. 

Namun yang terjadi di Sumbar merupakan bahan yang harus diberi catatan khusus untuk dibahas pada tawaran pemikiran penulis. 

 Dalam berbagai liputan media massa, penanganan bencana membuat kita miris. Korban-korban yang terjadi di Hotel Ambacang, Hotel Bumi Minang, Bimbingan Belajar Gama, Sekolah Tinggi ABA, seakan-akan terjadinya pembantaian didepan mata yang kita sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. 

Belum lagi di berbagai gedung bertingkat yang memakan korban yang tidak sedikit, sehingga jumlah korban yang berjumlah 600-an sudah pasti bertambah jumlahnya. 

Jumlah korban merupakan keprihatinan yang harus diberi ruang untuk disikapi secara serius. 

Menurut penulis, selain daripada jumlah korban yang besar akibat tertimbun gedung bertingkat juga proses evakuasi yang lambat menambah jumlah korban yang seharusnya bisa diminimalisir. 

Didalam literatur Disaster management, yang harus diperhatikan dan merupakan pondasi penting dalam melihat bencana, adalah bagaimana menyelamatkan manusia sebanyak mungkin dan meminimalkan korban sedikit mungkin. 

Filosofi dasar inilah, kemudian, organisasi-organisasi lingkungan hidup paling kritis terhadap daerah-darah rawan bencana. 

Baik bencana yang terjadi seperti gempa bumi, gunung meletus maupun bencana yang merupakan ulah manusia semata seperti longsor, kebakaran, banjir dan sebagainya. 

Dengan dasar itulah, terhadap daerah rawan bencana haruslah dikelola secara baik. Masyarakat yang termasuk dalam daerah rawan bencana haruslah mendapatkan pengetahuan yang cukup terhadap potensi yang akan terjadinya bencana maupun penanganan bencana. 

Dan masyarakat yang berada dalam kawasan rawan bencana harus mendapatkan hak-haknya sebagaimana menjadi tanggung jawab negara. 

 Didalam rumusan pasal 26 UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, secara tegas dinyatakan, bahwa (
1) Setiap orang berhak; a. mendapatkan pelindungan sosial dan rasa aman khususnya bagi kelompok-masyarakat rentan bencana; b. mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana; c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana. d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial; e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang iatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana; Sedangkan didalam ayat 
 (2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar. 
(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi. 

 Nah, dari titik fokus ini sebenarnya masyarakat berhak untuk mendapat informasi tentang daerah yang termasuk kedalam bencana gempa dan rawan bencana gempa. 

 Dari definisi ini, sebenarnya, sampai sekarang, Indonesia belum mempunyai peta rawan bencana yang merupakan konsep tata ruang didalam pengelolaan daerah. Peta rawan bencana digunakan didalam membangun dan menata kota. 

Dengan adanya peta rawan bencana, maka mekanisme pengelolaan dan pengaturan daerah-daerah yang harus diberi porsi lebih serius didalam membangun gedung dan bangunan. 

 Selain itu berdasarkan kepada pasal 26 ayat (3) UU No. 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyatakan “Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi. 

 Nah, ada kata-kata adagium “kegagalan konstruksi”, apabila merujuk kepada ketentuan UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung pasal 7 (1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. 

(2) Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. 

(3) Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. 

(4) Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah dan/atau air untuk bangunan gedung harus memiliki izin penggunaan sesuai ketentuan yang berlaku. (

5) Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung adat, bangunan gedung semi permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada daerah lokasi bencana ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kondisi sosial dan budaya setempat. 

 Tugas ini semestinya merupakan tugas negara sebagai terjemahan langsung dari UUD 1945 sebagaimana ujaran “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. 

 Dari penjelasan yang merujuk kepada UU yang berkaitan dengan Penanggulangan Bencana dan UU yang berkaitan dengan Bangunan Gedung, maka haruslah dibuat aturan yang tegas untuk meminimalisir korban. 

 Dalam pembahasan Disaster Management, upaya preventif haruslah dilakukan. Peta rawan gempa dan ancaman gempa haruslah dibuat dan dirumuskan secara teknis. 

Rumusan itu termasuk bagaimana model rumah yang tahan gempa dan resiko kecil akibat gempa. Konstruksi bangunan tidak hanya harus tahan gempa, tapi juga mesti mampu melindungi penghuni dan lingkungan sekitar seandainya bangunan itu runtuh. 

Ini artinya, gedung yang dibangun tidak hanya harus kukuh menahan guncangan, tapi juga harus mampu meminimalkan jumlah korban seandaianya toh bangunan itu runtuh. 

 Aturan ini pun masih diperkuat lagi dengan berbagai peraturan dan keputusan menteri. 

Bahkan, untuk petunjuk lebih detail, Departemen Pekerjaan Umum melalui Ditjen Cipta Karya menerbitkan pedoman khusus pembangunan rumah tahan gempa. Pedoman ini begitu terperinci, dilengkapi gambar termasuk bahan bangunan yang digunakan, sehingga seorang tukang biasa pun akan mampu menerapkannya. (Kompas, 2 Oktober 2009, Gempa dan Konstruksi Bangunan) 
 
Cara-cara ini juga digunakan dalam tahap rekonstruksi pasca Gempa Yogyakarta. 

Rumah-rumah yang dibangun menggunakan cara-cara teknik yang harus terbukti tahan gempa, menggunakan bahan-bahan yang tidak berbahaya dan resiko kecil. 

Dengan demikian, maka terhadap gempa bumi di Sumbar memang tidak bisa dielakkan dan memang merupakan kodrati. 

Namun jumlah korban yang tertimbun di gedung-gedung bertingkat dan proses evakuasi yang lambat merupakan catatan penting tidak boleh terulang dikemudian hari. 

 Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 8 Oktober 2009