07 September 2009

opini musri nauli : KPK DAN KEPERCAYAAN KITA


Akhir minggu Pertama bulan September, penulis berkesempatan ke Jakarta dalam rangka pekerjaan penulis. Tidak ada perubahan signifikan terhadap kemajuan kota Jakarta setelah penulis tinggalkan pada bulan Mei 2009 yang lalu. 
Lalu lintas masih macet, pembangunan masih sedang berlangsung. Jalanan menuju bandara hampir rampung setelah pertengahan tahun yang lalu sempat tidak bisa dilalui karena banjir yang meluap dan melumpuhkan jalan menuju ke bandara. 

Tidak ada yang banyak diceritakan karena perubahan di jakarta sudah sering dimuat media massa. 

 Suasana ramadhan juga terasa di Jakarta, banyaknya umat islam yang menjalankan ibadah puasa menyebabkan suasana menjelang berbuka puasa hingga sahur sangat terasa. 

Sebagai orang yang dibesarkan di Jambi, makanan yang paling sering dimakan tentu saja adalah makanan yang ada di jambi sebagai pembuka puasa dan makan malam menjelang tidur. 

Maka setelah berbuka puasa, pada malam hari penulis mencari penjual nasi goreng yang sesuai selera lidah dan tentu saja yang harganya murah. Sembari memasak nasi goreng, tentu saja pembicaraan mengalir. Pembicaraan dari paling serius sampai guyonan politik yang membuat saat menunggu memasak nasi goreng tidak membosankan. 

Sebagaimana kebiasaan di berbagai tempat, apabila adanya penjual nasi goreng, maka pasti ada juga penjual rokok dengan menggunakan gerobak keliling dan penjual air minum mineral. 

Apabila di Jambi, penulis tentu saja tidak sungkan-sungkan meminum air mineral seperti Arthess, atau AQ8 dan merk-merk yang biasa beredar di Jambi. 

Namun karena air mineral yang bermerk Aqua yang penulis kenal, maka penulis hanya mau membeli air mineral yang bermerk Aqua. Penulis tentu saja tidak terjebak dengan kampanye yang menyatakan bahwa Aqua telah diakuisisi Danone, perusahaan Perancis. 

Sebagaimana kepercayaan konsumen, maka penulis karena tidak mengetahui air mineral merk lain, maka penulis hanya mau membeli air mineral bermerk aqua. Pesan dari cerita ini hanya satu, bahwa, penulis menggunakan produk yang penulis percayai. 

Sebuah kata, Kepercayaan. Ya, kata-kata itu kemudian penting untuk melihat persoalan politik, hukum dan ekonomi di Indonesia. Sebelum “Jenderal Besar Soeharto lengser keprabon”, hampir praktis, setiap keputusan politik tidak diterima oleh rakyat Indonesia. 

Pemilu yang disain untuk memenangkan Golkar dan kemudian mengangkat kembali Soeharto menjadi presiden tidak mendapat dukungan politik yang riil di tengah masyarakat. 

Namun suara rakyat kemudian terbelenggu akibat sistem politik militerisme yang mengkooptasi dan represi terhadap segala bentuk pengingkaran terhadap keputusan politik. 

Proses waktu yang kemudian mencatat dalam hitungan bulan, Soeharto yang katanya didukung oleh rakyat ternyata ditumbangkan oleh mahasiswa Mei 1999. keputusan politik dihasilkan dalam Sidang Istimewa 1999 ternyata tidak diterima dengna akal sehat rakyat Indonesia dan kemudian berhasil menjungkalkan Soeharto dari singgasananya. 

Peristiwa ini sekali lagi memberikan pesan, selain daripada tidak adanya kepercayaan dari rakyat, juga walaupun secara politik adalah legal (sah) namun tidak legitimate (mendapat dukungan) dan diterima oleh rakyat. Maka selain daripada pesan yang disampaikan, adalah kata-kata kepercayaan, maka juga harus mendapat dukungan (legitimate) dari rakyat. 

 Bagaimana pisau bedah ini kita gunakan untuk menganalisis peta politik terakhir di Indonesia. 

 Akhir-akhir ini kita disuguhkan berita yang berkaitan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Isu ini dimulai saat, dugaan keterlibatan Ketua (non aktif) KPK dalam pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnen. Issu ini kemudian menggelinding bak bola salju ketika kemudian, para pelaku dilapangan (eksekutor) mengakui bahwa adanya “perintah” dari perwira penting di Mabes Polri. 

Pengungkapan kasus ini kemudian menunjuk kepada satu nama yang dianggap penting didalam pemberantasan Korupsi. Keadaan Politikpun berubah. Riak-riak untuk mengungkapkan peristiwa terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen berbanding seimbang dengan upaya penggembosan keberadaan KPK. 

Dalam tarik menarik antara pengungkapan kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen kemudian bergulir menjadi persoalan politik dan menantikan adegan bagaimana nasib keberadaan KPK. 

 KPK lahir berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Sebagai lembaga negara, kekuasaan yang diberikan kepada KPK luar biasa. KPK Mempunyai wewenang yang tidak dimiliki lembaga penegak hukum lainnya. 

Kewenangan itu diantaranya bisa menyadap terhadap dugaan Korupsi. Wewenang menyadap inilah yang menghantarkan Mulyana W. Kusumah dalam kasus korupsi di KPU, Urip Tri Gunawan dalam kasus dugaan suap korupsi, dan teranyar dalam kasus alih fungsi hutan di Sumatera Selatan yang menghantarkan Amin Nasution kedalam proses hukum. 

Begitu besar wewenang diberikan UU, maka upaya sistematis KPK memberantas Korupsi menimbulkan pukulan balik kepada KPK. 

Perlawanan baik politik maupun hukum dilakukan. UU No. 30 tahun 2002 merupakan undang-undang yang paling banyak digugat dalam judicial rewiew di Mahkamah Konstitusi. 

Peristiwa menentukan titik nadir, ketika MK mengabulkan dimana salah satu putusannya, memerintahkan kepada Presiden bersama DPR agar memperbaiki UU NO. 30 tahun 2002. didalam UU tersebut tidak mencantumkan tentang kekuasaan kehakiman sehingga bisa mengakibatkan Pengadilan ad hock tindak pidana korupsi tidak mempunyai dasar hukum sebagaimana diatur didalam UUD 1945. MK kemudian merekomendasikan agar ketentuan itu dimuat dan Presiden bersama DPR diberi waktu hingga 3 tahun. 

 Putusan ini memang memancing reaksi publik. Sebagian kalangan menilai putusan ini agak aneh, karena tidak pernah putusan pengadilan yang memberikan kesempatan kepada Pemerintah agar diberi waktu memperbaiki kekeliruan UU No. 30 tahun 2002. ada juga yang berpendapat, bahwa MK telah melebihi apa yang diminta oleh para pihak (ultra petita). 

Namun sebagian kalangan menyambut dan menyatakan bahwa MK cukup bijaksana karena disatu sisi mengakui kekeliruan UU namun tidak mencabutnya dengan pertimbangan persoalan korupsi merupakan persoalan sistematik yang harus diberantas. 

 Terlepas dari pertimbangan MK, waktu yang diberikan agar diperbaiki UU No. 30 tahun 2002 berkejaran dengan waktu. Apabila waktu diberikan tidak diperbaiki oleh Presiden dan DPR, maka UU No. 30 tahun 2002 menjadi tidak berlaku yang mengakibatkan keberadaan KPK menjadi tidak berlaku lagi. 

 Namun disaat nasib UU No. 30 tahun 2002 mulai kehabisan waktu, kasus yang melibatkan petinggi KPK menghabiskan energi untuk dihadapi. Setelah ditangkapnya Antasari Azhar, persoalan KPK tidak menjadi selesai. 

Justru semakin melebar. Antasasi azhar yang kemudian memberikan testimoni kepada Polri tentang adanya dugaan korupsi di internal KPK. Testimoni inipun menggelinding jauh. Polri kemudian melayangkan panggilan. Mereka yang dipanggil adalah empat Wakil Ketua KPK, yaitu Bibit Samad Rianto, Chandra M. Hamzah, Haryono Umar, dan M Jasin. Empat orang lainnya, Biro Hukum KPK Chaidir Ramli, Direktur Penyelidikan KPK Iswan Elmi, satgas penyelidik KPK Arry Widiatmoko, dan Rony Samtana sebagai penyidik KPK. 

 Rangkaian penetapan tersangka Antasasi Azhar adalah titik balik terhadap keberadaan kiprah KPK. Sebagai lembaga yang mendapat dukungan politik yang kuat, gaung KPK memberikan effek jera terhadap pelaku korupsi dan berhasil menjadikan monster yang menakutkan terhadap pelaku korupsi. 

Hampir praktis, prestasi KPK telah berhasil memetakan persoalan politik dan berhasil membangun semangat perlawanan anti korupsi. Gaung besar ini tentu saja tidak dikehendaki para pelaku korupsi sehingga, setelah berbagai cara baik hukum (dengan mengajukan judicial rewiew ke MK) maupun secara politik (dengan upaya sistematis mengikis keberadaan KPK), momentum terseretnya Antasari Azhar merupakan titik balik. 

Maka upaya penggembosan keberadaan KPK dirancang secara sistematis. Maka setelah terseretnya Antasari Azhar, maka dimulaia rangkaian panjang diperiksanya pimpinan KPK dan berbagai pucuk penting di KPK. Rangkaian panjang ini tentu saja akan menimbulkan delegitimasi keberadaan KPK. 

 Langkah ini kelihatan berhasil. Karena prestasi KPK yang tetap mengusur dan melakukan penahanan beberapa pejabat yang diduga korupsi hampir praktis hanya menghiasi media massa dan tidak menyentuh riil dari pembongkaran kasus korupsi. 

 Bahkan ada kecendrungan pandangna publik yang menganggap bahwa prestasi KPK ini, hanya sekedar lips servise dan menaikkan pamor KPK yang jatuh pada titik nadir. Mengapa hal ini bisa terjadi. 

Maka jawaban sudah penulis sampaikan, walaupun KPK mempunyai kewenangan legalitas dan mempunyai kekuasaan super power dalam membongkar korupsi, namun, tidak lagi mendapatkan dukungan rakyat (legitimate) dan tidak berhasil mendapatkan kepercayaan rakyat. Waktu yang menjawab apakah ketakutan penulis ini terbukti atau korupsi berhasil dikikis habis di Indonesia.