25 Februari 2011

opini musri nauli : DIPO ALAM DAN PERS


Bukannya mengurusi rakyat yang masih berjuang melawan himpitan ekonomi, kekerasan yang berkedok agama, transportasi yang amburadul, bocornya pembicaraan diplomat di media massa Australia, Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengancam boikot media yang menjelekkan Pemerintah (detik.com). 

Sikap yang diambil setelah Dipo Alam melihat media massa cenderung menjelek-jelekkan media massa yang dituduh menayangkan soal keburukan Pemerintah. Dengan tegas, justru akan memerintahkan untuk memboikot media massa dengan cara “"Saya akan hubungi semua sekjen dan humas kementerian, jangan pasang iklan di situ," jawab Dipo. 

"Orang pemerintah yang diundang sebagai nara sumber, tidak usah datang. Buat apa? Ngomong apa pun juga akan salah. Sudah dijelaskan, masih disalahkan," sambung dia Terlepas dari substansi yang disampaikan oleh media massa yang menayangkan soal keburukan Pemerintah, ancaman yang disampaikan oleh Dipo Alam harus serius ditanggapi di alam demokrasi. 

 Pernyataan Dipo Alam memang meresahkan setelah pernyataan sebelumnya, Sekretaris Kabinet Dipo Alam membenarkan bahwa pihaknya memang menilai tokoh lintas agama ekslusif, seperti Din Syamsuddin, Syafii Maarif dan Romo Benny Susetyo, sebagai gagak hitam pemakan bangkai yang nampak seperti merpati berbulu putih. 

 KEBEBASAN PERS DAN KEBEBASAN MENDAPATKAN INFORMASI 

 Dari ranah konstitusi, kebebasan pers merupakan perwujudan dari makna pasal 28 UUD 1945. Didalam pasal 28 ditegaskan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. 

Sedangkan didalam rumusan pasal Pasal 28F, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. 

 Didalam UU No. 40 tahun 1999 Tentang Pers, secara tegas dirumuskan, Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pasal 3 ayat (1) “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”. 

Dalam pranata konvenan HAM, Pasal 4 ayat (1) menegaskan Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Sedangkan ayat (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 

Dengan diberikan kewenangan dan hak-hak mendasar, maka “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah” (Pasal 5 ayat (1)). 

 Pers diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan terhadap berbagai persoalan yang timbul dengan “melayani hak jawab” (pasal 5 ayat 2) dan hak koreksi (pasal 5 ayat 3) 

Dari dimensi ini, maka terhadap pemberitaan yang dituduh oleh DIPO ALAM, “pengulang-ulangan satu berita kasus lalu digeneralisasi adalah sesuatu yang tidak tepat” dapat diselesaikan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur didalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. 

 Lantas, apakah cara yang digunakan DIPO ALAM “Saya akan hubungi semua sekjen dan humas kementerian, jangan pasang iklan di situ, merupakan ancaman serius bagi demokratisasi di Indonesia. 

 Berangkat dari pengalaman traumatik orde baru, dimana pers dikendalikan melalui mekanisme Peraturan Menteri Penerangan No. 01/PER/MEN/1984 tanggal 31 Oktober 1984. Semula dicabutnya Surat izin Terbit (SIT) digantikan SIUPP akan mempermudah mendirikan usaha pers/penerbitan. 

Seluruh Mass Media (TV, Koran, radio) harus tunduk pada Menteri Penerangan. Cara ini mengingatkan Kolonial Belanda terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. 

 Aturan tersebut seperti Druckpers Reglement (UU Pers) yang dikeluarkan pada 1854, Haatzaai Delicten (UU Hukum Pidana Komunikasi Massa) tahun 1856 ataupun Persbreidel Ordonnatie yang dikeluarkan tahun 1931. 

Isinya jelas, kontrol terhadap pers. Setelah G30S, (Laksus Kopkamtibda) memberlakukan Surat Ijin Cetak (SIC) bagi setiap terbitan pers di daerah masing-masing. 12 Desember 1966, presiden Soekarno mengesahkan UU RI no 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, dalam pasal 4 tercantum "terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. 

 Cara yang digunakan DIPO ALAM “Saya akan hubungi semua sekjen dan humas kementerian, jangan pasang iklan di situ, merupakan ancaman serius bagi demokratisasi di Indonesia. 

 Kebebasan mendapatkan informasi sebagaimana didalam rumusan pasal 28F, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” menjadi terancam. 

 Harus diingat, sikap yang diambil oleh Dipo Alam masih melambangkan pola pikir dan pandangan subyektif dari penguasa. Tentu saja kita tidak mungkin kembali ke rezim orde baru.