2 orang aktivis Walhi Dwi Nanto dan Firmansyah bersama dengan 18 orang warga Pring Baru, Kecamatan Taba, Kabupaten Seluma dituduh melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur didalam pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004.
Para terdakwa dituduh melakukan perbuatan pidana disebabkan para terdakwa melakukan aksi menghentikan alat berat yang hendak melakukan penggusuran tanah warga. Dalam perkembangannya, “aksi menghentikan” alat berat digeser menjadi upaya pidana didalam menghalangi peremajaan kelapa sawit (replanting) PTPN VII. Sebuah upaya sistematis yang kemudian memaksa para terdakwa menjadi pesakitan dimuka persidangan (http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2011/02/02/brk,20110202-310768,id.html)
Persidangan yang dilangsungkan secara maraton sejak awal Desember hingga pertengahan Februari menguji penerapan UU Perkebunan dalam praktek pidana.
Dari dimensi ini, peristiwa ini terlalu sayang apabila dilewatkan menjadi pembahasan yang cukup komprehensif.
Sebagai produk hukum, UU Perkebunan menimbulkan persoalan dalam praktek peradilan.
Tuduhan melakukan perbuatan pidana sebagaimana didalam rumusan pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 cukup serius.
Dalam ringkasan singkat, para terdakwa kemudian didakwakan melakukan perbuatan “ “melakukan tindakan berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”.
UU Perkebunan menimbulkan problematika dalam ilmu hukum pidana di Indonesia.
Dilihat dari muatannya, Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU a quo, terang tidak mencerminkan aturan yang jelas, mudah dipahami, dan dilaksanakan secara adil.
Rumusan delik pemidanaan dalam Pasal-pasal a quo adalah rumusan yang tidak jelas dan berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang.
Ketentuan dalam Pasal-pasal a quo yang tidak jelas dan sumir tersebut merupakan bentuk pelanggaran atas konsep negara hukum, di mana “a legal system in which rules are clear, wellunderstood, and fairly enforced”, dengan unsur kepastian hukum di dalamnya, dan sekaligus mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.
Dalam catatan PIL-Net, hingga medio 2010, telah ada 106 kasus kriminalisasi petani berhadapan dengan sejumlah perusahaan kakap.
Data LSM Sawit Watch menunjukkan ada 514 kasus di 2007, 576 kasus pada 2008, dan 604 kasus pada 2009. Sedangkan di semester pertama 2010, tercatat 608 kasus.
Konflik ini melibatkan sejumlah grup perusahaan besar seperti PTPN, PT Bakrie Plantation, PT Lonsum, Wilmar Group, Sinar Mas Group, Raja Garuda Mas, dan Salim Group
Akibatnya, ketentuan pasal tersebut seringkali digunakan untuk mempidanakan petani oleh perusahaan.
Bahkan, menginjak rumput perusahaan pun, petani bisa dipidana dengan ancaman lima tahun penjara.
Sehingga tidak salah apabila sering dinyatakan UU Perkebunan merupakan upaya sistematis terhadap kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya.
Cara-cara ini sebenarnya mengingatkan kita akan strategi yang digunakan oleh Pemerintah kolonial Belanda didalam mengamankan Proyek ambisius Tanam Paksa (cultuurstelseel) awal abad XX.
Sehingga tidak salah kemudian, Empat petani menggugat Undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan (http://www.antaranews.com/berita/1282304502/uu-perkebunan-digugat)
Terlepas daripada putusan Pengadilan Tais yang kemudian memvonis para terdakwa dengan hukuman 3 bulan 20 hari, dimensi problematika penerapan UU Perkebunan (baca Pasal 47 dan UU No. 21 UU No. 18 Tahun 2004) menimbulkan persoalan pembuktian secara serius dalam lapangan ilmu hukum pidana.
Bahwa sebelum kita melihat pembuktian pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004, maka harus dicari rumusan dan suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) yang meliputi segenap latar belakang lahirnya pasal-pasal, serta ruang lingkup perdebatan ketika pasal itu dirumuskan.
Dengan menggunakan pendekatan sejarah lahirnya UU Perkebunan yang bertujuan memberikan kepastian usaha perkebunan (suasana kebatinan/geistlichen hintergrund), penerapan UU menimbulkan problematika.
KAPASITAS SAKSI PELAPOR
Didalam persidangan, telah dihadirkan Manager PTPN VII. Padahal menurut ketentuan pasal 98 UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perusahaan Terbatas junto UU No. 1 tahun 1995 telah dijelaskan. “Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan”.
Dengan demikian, maka keterangan saksi Manager PTPN VII tidak mempunyai kapasitas sebagai saksi pelapor dalam dugaan tindak pidana sebagaiman diatur didalam pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004.
Dengan melihat rumusan kata-kata “terganggunya usaha perkebunan” menyebabkan adanya klacht delicten absolut.
Yang dimaksud dengan klacht delicten atau delik aduan adalah delik dapat dituntut apabila adanya suatu pengaduan dari orang yang merasa dirugikan atau “delicten allen op klachte vervolgbaar” atau “Antragsdelikte”. (Putusan MA. No. 57 K/kr/1968 tanggal 15 Februari 1969).
Yang terganggu adalah perusahaan perkebunan yang bersangkutan. Dan yang “berhak menentukan terganggunya usaha perkebunan atau tidak” menurut pasal 98 UU No. 40 tahun 2007 adalah Direksi.
Bahwa kapasitas saksi pelapor didalam perkara ini begitu penting karena rumusan pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 adanya kata-kata “terganggunya usaha perkebunan”.
Rumusan pasal ini sedikit ketat, agar yang terganggu adalah usaha perkebunan. Dalam rumusan lain, harus diterjemahkan sebagai Perusahaan perkebunan.
Dengan berpedoman kepada ketentuan pasal 98 UU No. 40 tahun 2007, yang berhak melaporkan adalah Direksi dari perusahaan yang bersangkutan (aquo PTPN VII)
Dengan demikian maka kesaksian Manager PTPN VII tidak mempunyai kapasitas menjadi saksi pelapor.
Pemeriksaan yang tidak memenuhi syarat klacht delict (delik aduan) dari korban atau orang yang disebut dalam pasal delik tersebut maka dakwaan tidak dapat diterima.
Maka terhadap saksi pelapor tidak memenuhi unsur sebagaimana didalam rumusan pasal 98 UU No. 40 Tahun 2007.
Dengan demikian terhadap saksi pelapor tidak dapat bertindak dimuka hukum, maka harus dinyatakan “terganggunya usaha perkebunan” harus dinyatakan tidak dapat diterima.
PEMBUKTIAN PASAL 21 UU NO. 18 TAHUN 2004
Secara ringkas telah dijelaskan, Pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 menyatakan “ “melakukan tindakan berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”.
Penjelasan Pasal 21 “Yang dimaksud dengan tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman,antara lain, penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Yang dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan tindakan lain yang mengakibatkan terganggunnya usaha perkebunan adalah, antara lain, tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya.
Menurut berbagai sumber, Yang dimaksudkan dengan panen adalah “Dalam pertanian, panen adalah kegiatan mengumpulkan hasil usaha tani dari lahan budidaya”.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan “pemeliharaan” (1) Penyiangan, (2) Pemupukan (3) Pemangkasan, (4) Penjarangan.
Dengan menggunakan penjelasan pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004, maka perbuatan para terdakwa “aksi menghentikan alat berat” tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan sebagaimana diatur didalam pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004.
Atau dengan kata lain, perbuatan para terdakwa yang melakukan “aksi menghentikan alat berat” tidak dapat dikualifikasikan tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman,antara lain, penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Melakukan “aksi menghentikan alat berat” tidak dapat dikualifikasikan melakukan perbuatan yang mengakibatkan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Melakukan “aksi menghentikan alat berat” tidak dapat dikualifikasikan melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunnya usaha perkebunan adalah, antara lain, tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya.
Sehingga tidak salah apabila dinyatakan, “aksi menghentikan alat berat” tidak mengakibatkan “terganggunya usaha perkebunan”.
Dengan demikian, fakta-fakta yang terungkap dimuka persidangan tidak terdapat perbuatan yang bertujuan “tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman,antara lain, penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya atau penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tindakan lain yang mengakibatkan terganggunnya usaha perkebunan adalah, antara lain, tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya sebagaimana diatur didalam pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004.
Dalam lapangan ilmu hukum, tidak terdapat “means rea” atau “kehendak jahat” sehingga dengan demikian asas “geen straf zonder schul beginsel” atau “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea” tidak terbukti.
Sehingga sudah sah dan pantas menurut hukum apabila orang karena fakta-fakta atau keadaan-keadaan menunjukkan Ia patut dinyatakan tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana (“als verdachte wordt aangemerkt degene te wiens aanzien uit feiten of omstadigheden een redelijk vermoeden van achuld aan eenig strafbaar feit voorvloit”).
Problematika inilah yang kemudian menimbulkan ketidakadilan. Secara kasat mata, perbuatan para terdakwa yang melakukan “aksi menghentikan alat berat” kemudian digeser menjadi perbuatan yang memenuhi kualifikasi perbuatan pidana sebagaimana diatur didalam pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004.
Penerapan UU Perkebunan kemudian menggeser hak kepemilikan warga masyarakat Pring Baru didalam memperjuangkan tanahnya yang digusur PTPN VII.
Dari dimensi inilah, kemudian menjadi alat penindas dan menjadi algojo yang terbukti effektif didalam membungkam perlawanan masyarakat.
Rudolf von Jhering melukiskan keadaan itu dengan ”…hukum itu munafik dan mitos belaka.
Hukum itu Cuma bagus untuk dituliskan, tetapi praktiknya lain.”
J.E Sahetapy pernah mengingatkan “Emil Bruner menulis ”Lijden is bitter, maar onrecht-vaardig lijden is dubbel bitter” (menderita adalah pahit, tetapi menderita karena ketidakadilan adalah luar biasa sangat-sangat pahit atau kejam).