Hampir praktis, berita korupsi menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli hukum (jurist) sehingga kasus korupsi merupakan salah satu topik yang menarik untuk didiskusikan.
Menggunakan norma yang terkandung didalam UU No. 31 Tahun 1999, perbuatan korupsi sering diwujudkan tindak pidana “perbuatan melawan hukum”, “kewenangan”, “memperkaya diri sendiri…” dan “merugikan keuangan negara”.
Padahal didalam tindak pidana korupsi, selain membicarakan norma yang terkandung didalam UU No. 31 Tahun 1999 juga mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi, pengembalian kerugian negara, gugatan terhadap kerugian negara dan penyitaan terhadap aset-aset yang didapatkan dari tindak pidana korupsi.
Namun hampir praktis, sama sekali tidak menjadi perhatian penegak hukum.
Dengan demikian, maka tujuan pemidanaan korupsi semata-mata berkaitan dengan pemenjaraan ataupun kerugian negara dan denda.
Berangkat dari pemikiran itulah, hampir praktis dalam praktek, hal yang berkaitan dengan tentang pertanggungjawaban korporasi, pengembalian kerugian negara, gugatan terhadap kerugian negara dan penyitaan terhadap aset-aset yang didapatkan dari tindak pidana korupsi kurang mendapatkan perhatian publik.
Baik dalam wacana ilmiah maupun didalam berbagai dakwaan dan putusan hakim.
Dengan demikian, penulis akan membicarakan tentang pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi.
Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person).
Selain itu, KUHP juga masih menganut asas “sociates delinquere non potest” dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana (walaupun diluar KUHP sudah mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban komando)
Melihat rumusan pasal 1 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah memberikan rumusan “korporasi” dan berbagai tindak pidana yang berkaitan dengan “korporasi” (baca pasal 2 ayat 1) maka terhadap korporasi dapat dipertanggungjawabkan.
Sahuri L dalam Disertasinya “Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perspektif Kebijakan hukum Pidana Indonesia” menjelaskan “Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa pertanggungjawaban korporasi harusnya mempunyai kesalahan, dan juga perbuatan itu diatur didalam perundang-undangan yang berlaku.
Dengan menggunakan definisi yang disampaikan oleh Dr. Sahuri, maka terhadap tindak pidana korupsi harus diterapkan terhadap pertanggungjawaban korporasi.
Tidak tepatnya menerapkan pertanggungjawaban korporasi selain mengakibatkan terdakwa haruslah dibebaskan (vrijpraak), maka justru akan mengakibatkan beban tanggung jawab korporasi hanya dialihkan kepada tanggung jawab individu (naturlijkee person).
Dalam praktek, terhadap terdakwa hanya disebutkan sebagai Direktur suatu Korporasi.
Namun tidak diterangkan, perbuatan terdakwa sebagai korporat yang bertindak untuk dan atas nama korporasi mewakili korporasi. Ketidaktepatan menempatkan dan mencampurkanadukkan antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi (naturlijkee person) mengakibatkan, didalam sistem hukum menjadi rancu.
Apakah kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan pidana sebagai pribadi (naturlijkee person) atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Ketidaktepatan dan kerancuan yang tidak tepat menempatkan perbuatan pidana sebagai pribadi (naturlijkee person) ataupun perbuatan pidana sebagai pertanggungjawaban korporasi selain akan menyulitkan pembuktian juga mengakibatkan terhadap kesalahan yang dilakukan dan penjatuhan pemidanaan.
Dari ranah ini, kemudian berbagai putusan pengadilan (vonis) tidak memberikan tafsiran yang jelas dan cenderung mengikuti surat tuntutan jaksa penuntut umum (requisitooir).
Padahal menurut hukum, perbuatan pidana sebagai pribadi ((naturlijkee person) dan pertanggungjawaban korporasi merupakan dual hal yang terpisah dan tidak dapat dicambur baur.
Kesalahan dan ketidakcermatan didalam merumuskannya selain membuat kasus ini tidak menjadi jelas (obsuur libels) juga tidak pantas apabila kesalahan korporasi harus dibebankan kepada terdakwa sebagai perbuatan pidana pribadi (naturlijkee person)
UU No. 40 tahun 2009 juga telah menggariskan bahwa yang dapat bertindak dimuka hukum adalah Direksi.
Namun menempatkan terdakwa sebagai pribadi (naturlijkee person) tanpa melihat perbuatan korporasi juga menyesatkan dan tidak menguraikan ketentuan pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999.
Namun, hampir praktis, pertanggungjawaban korporasi tidak pernah diterapkan.
Oleh karena itu, sudah saatnya, apabila didalam berbagai fakta persidangan, selain melihat kesalahan dan pertanggungjawaban terdakwa sebagai pribadi (naturlijkee person) juga harus melihat bagaimana kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi.
Dengan demikian, tujuan daripada UU No. 31 Tahun 1999 “penanggulangan tindak pidana korupsi” tercapai.