12 Februari 2011

opini musri nauli : Tanggungjawab Mutlak (Strict Liability


Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) perusahaan dalam kerusakan lingkungan di Indonesia belum pernah terlaksana. 


Padahal konsep ini sangat baik untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat yang menjadi korban. Demikian kabar dari media online www.hukumonline.com beberapa waktu yang lalu. 


Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan gagasan yang disampaikan dalam UU No. 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup kemudian dipertegas di UU No. 32 Tahun 2009. 


Pasal 88 “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. 


Didalam Penjelasan Pasal 88 “Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. 


Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.


Sebagai konsep yang berakar dari sistem hukum Anglo saxon, pembuktian ini lebih mudah dan cenderung praktis dibandingkan dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia. 


Dalam lapangan hukum pidana, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), prinsip ini menegasikan pembuktian kesalahan berdasarkan sistem hukum Eropa Kontinental.


Pemidanaan haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). 


Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada para pelaku. 


Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. (terjemahan bebas, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, 2006) Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. 


Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. 


Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. 


Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. 


Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem. Dari paparan yang telah disampaikan tersebut, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder schul beginsel” dalam sistem hukum civil law. 


Maka untuk menentukan kesalahan dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, (aqua means rea atau “kehendak jahat”). 


Prinsip ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability). 


Pembuktian tidak semata-mata dilihat apakah pelaku (dader) melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan atau tidak, tapi beban pembuktian langsung mutlak dibebankan terhadap pelaku (dader) terhadap kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengna sumber daya alam (baca termasuk kejahatan lingkungan hidup). 


Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dibebankan kepada perusahaan lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan kesalahan/kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup. 


Dengan demikian, maka pembuktian menjadi sederhana dan mudah diterapkan. Pembuktian ini praktis sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku (dader). 


Berangkat dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup lebih banyak dibebankan kepada perusahaan. Kasus Lapindo sebagai contoh merupakan sebuah peristiwa yang menarik. 


Berlarut-larutnya pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik menarik antara Kepolisian dan Kejaksaan dan belum juga dinyatakan lengkap (P21), berangkat dari pemahaman penegak hukum yang tidak menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability). 


Sikap ngototnya penegak hukum untuk melihat keterlibatan pelaku (dader) kemudian terjebak dengan hak-hal yang bersifat teknis yang sulit pembuktiannya. Padahal dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader) melakukan perbuatan itu atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan, bahwa karena kesalahan atau kelalaian dari Lapindo, menyebabkan bencana. 


Dengan pembuktian yang sederhana ini, maka kasus Lapindo bisa disidangkan dimuka hukum. Dan perusahaan yang bertanggung jawab dalam bencana Lapindo dapat dipersalahkan dan pertanggungjawaban pidana.


 Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi untuk menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan ataupun kelalaian dari perusahaan lingkungan hidup. 


Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah menyebabkan berbagai kejahatan di berbagai dunia dapat diselesaikan. 


Dan Indonesia sudah mengadopsinya di berbagai ketentuan di luar KUHP (seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup). Maka pernyataan dari berbagai kalangan harus mendapatkan respon, agar implementasi UU ini sudah selayaknya diterapkan sebagai salah satu solusi mengatasi berbagai kejahatan lingkungan hidup.


Sudah saatnya Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) harus diterapkan di Indonesia