Berangkat dari pertanyaan klasik, penulis mencoba membongkar berbagai tulisan penulis yang pernah dimuat di media massa untuk meramu dan menjawab pertanyaan klasik tersebut.
SISTEM HUKUM
Apabila ada pertanyaan yang disampaikan, Indonesia menggunakan sistem hukum Apa ? Apakah Civil Law sebagaimana dianut di negara-negara Eropa Kontinental ? Atau Common law seperti negara Anglo Saxon? Atau Dipengaruhi hukum Adat di berbagai negara Afrika ? Atau menggunakan sistem hukum Islam karena Indonesia merupakan penduduk Muslim terbesar di dunia
Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum (rechtsstaat) yang sistim konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Meminjam istilah Notohamijoyo “Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut”.
Prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 di mana pertama kali UUD 1945 disusun dan diberlakukan.
Sebagai pernyataan politik dan ikrar komitmen pendiri Republik (Founding Father) pernyataan tersebut tidak usah diragukan. Bahkan didalam Penjelasan Undang-undang Dasar 1945, telah tegas dijelaskan. Sejak Indonesia merdeka, pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum.
“Ide Negara Hukum, terkait konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’. Negara Hukum, yang asal katanya adalah “rechtsstaat”, yang di dalam pencantumannya yaitu dalam Penjelasan UUD 1945 - sampai sekarang pun masih menggunakan kata dan bahasa Belanda tersebut, termaktub dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai ide dasar sistem pemerintahan republik ini.
Melihat “rechtsstaat”, dalam kamus besar bahasa Belanda adalah “staatsvorm die het recht air hoogste gezag handhaafl” Artinya, bahwa negara hukum seperti yang dimaksudkan oleh founding fathers negeri ini, sebuah bentuk negara (pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi.
Pandangan Mr. IC. Van Der Vlies tentang negara hukum adalah tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang. Asas ini mengandung pengertian “wetmatigheid” yang merupakan jaminan atas tindakan pemerintah yang dikatakan “rechmatigheid”. Untuk mewujudkannya, maka pembentukan undang-undang yang dirancang harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik.
Lev sendiri menilai adanya perbedaan ini oleh karena pengaruh ideologi “Rechsstaat” yang berkembang di Eropa Continental tumbuh di wilayah birokrasi sentral yang kuat dan tidak dapat begitu mudah didobrak oleh kaum borjuasi. Mereka hanya dapat menghimbau agar diberikan konsensi.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu : (1) Perlindungan hak asasi manusia,(2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang, (4) Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law“, yaitu : (1) Supremacy of Law. (2) Equality before the law. (3) Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang.
Menurut Jimly Assidiq, “The International Cominission of Jurist“, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Cominission of Jurists” itu adalah (1) Negara harus tunduk pada hukum. (2) Pemerintah menghormati hak-hak individu. (3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Negara hukum berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dan perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “The Rule Of Law, And Not Of Man “. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lnggeris dengan judul “The Laws”4, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dan zaman Yunani Kuno.
Sementara, ideologi Rule of Law secara histonis terbentuk di Inggris berkat pengaruh golongan kelas menengah yang menguasai parlemen dan birokrasi kerajaan yang relatif lemah. Sebagai akibatnya, kecenderungan prosedural Common Law lebih menguntungkan pihak swasta, sedangkan Civil Law berkecenderungan menguntungkan negara. Lihat Daniel S. Lev, “Hukum dan Politik Di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan”, LP3S, Jakarta, 1990, hal. 416.
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak menganut sistem hukum. Pengaruh Eropa Kontinental dalam berbagai peraturan kemudian diterapkan di Indonesia
Problematika sistem hukum nasional ditandai dengan diterapkan berbagai sistem hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menurut pengetahuan hukum, kita mengenal berbagai sistem hukum. Sebagai akibat dijajah Belanda, Belanda masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana (wetboek van strafrecht voor Indonesia), Hukum Perdata (burgelk wetboek), Hukum Dagang (wetboek van kophandel), Hukum Acara Perdata (reglement op de rechsvordering) maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Belum lagi masih banyak peraturan peninggalan Belanda yang menurut para ahli masih berjumlah 400 lebih yang belum menjadi hukum nasional yang berwatak responsif terhadap tuntutan zaman.
Sistem Hukum Belanda menganut system kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum Indonesia dengan Belanda. Apabila melihat secara produk hukum tersebut maka Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia dapat dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law System).
Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai dari “Papal Revolution” sampai Revolusi Kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad ke 19-an. Dalam tata hukum Belanda, kodifikasi dan hukum kodifikasi dikenal pada masa ekspansi kekuasaan Napoleon yang menyebabkan negeri Belanda bagian dan Empinium Perancis. Pada tahun 1810 Kitab hukum yang terkenal dengan nama Codes Napoleon dalam hukum perdata (Code Civil), hukum dagang (Code Commerce), hukum pidana (Code Penal) diundangkan di negeri tersebut. Ketika Napoleon jatuh, Kodifikasi tetap dinyatakan berlaku.
Dengan demikian maka dengan berlakunya Hukum Pidana tersebut mengakibatkan secara hukum menerapkan sistem hukum Belanda yakni Eropa Kontinental (Clvi Law System) seperti Belanda, Perancis dan Jerman yang termasuk Eropa Kontinental.
Sementara Inggris dan Negara Jajahannya temasuk sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System) Rusia dan beberapa Negara yang beraliran sosialis (Socialisst Law System), Beberapa negara Timur Tengah yang menganut sistem hukum Islam (Islamic Law System), dan negara ketiga di Benua Afrika yang menganut sistem Hukum Adat (Customary Law System).
Namun Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing). UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi.
Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga terjadi pada pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law - Kompilasi Hukum Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Juga adanya pengakuan yang meletakkan hukum adat (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional. Dari paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan bahwa walaupun Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam dimensi yang lain juga mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, pengakuan hukum agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk meletakkan hukum adat dalam merumuskan sistem hukum nasional.
Dengan mengadopsi berbagai sistem bukum, Indonesia mengalami keanekaragaman kebijakan dalam menyelesaikan persoalan hukum. Berdasar politik konstitusi, maka sistem dan lembaga peradilan yang merupakan bagian distribusi kekuasaan negara menjadikan keanekaragaman bidang yudikatif. Pasal 24 (2) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung (MA) dan MK pelaksana kekuasaan kehakiman dengan lima yurisdiksi. Empat yurisdiksi peradilan eks UU Kekuasaan Kehakiman 1970 ditransformasikan ke dalam konstitusi, yaitu peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara (TUN), dan tetap dilaksanakan MA. Wewenang dan kewajiban MK (Pasal 24C (1) UUD 1945), yang dilembagakan di luar MA, menjadi yurisdiksi peradilan konstitusi.
Dengan demikian, maka sistem hukum Eropa kontinental lebih dikenal sebagai “civil law” yang berangkat dari pemikiran positivisme. Sedangkan Anglo Saxon dikenal “common law” yang berangkat dari pemikiran social-jurisprudence. Sebagian juga memberikan istilah “case law.
Selain itu juga, kita juga menganut sistem hukum Islam yang ditandai dengna UU No. 8 Tahun 1989. UU ini memberikan mandat untuk sengketa keperdataan yang beragama islam (baca Perceraian, waris dan sebagainya).
Dengan mengadopsi berbagai sistem bukum, Indonesia mengalami keanekaragaman kebijakan dalam menyelesaikan persoalan hukum. Berdasar politik konstitusi, maka sistem dan lembaga peradilan yang merupakan bagian distribusi kekuasaan negara menjadikan keanekaragaman bidang yudikatif. Pasal 24 (2) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung (MA) dan MK pelaksana kekuasaan kehakiman dengan lima yurisdiksi. Empat yurisdiksi peradilan eks UU Kekuasaan Kehakiman 1970 ditransformasikan ke dalam konstitusi, yaitu peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara (TUN), dan tetap dilaksanakan MA. Wewenang dan kewajiban MK (Pasal 24C (1) UUD 1945), yang dilembagakan di luar MA, menjadi yurisdiksi peradilan konstitusi.
Dengan demikian, maka sistem hukum Eropa kontinental lebih dikenal sebagai “civil law” yang berangkat dari pemikiran positivisme. Sedangkan Anglo Saxon dikenal “common law” yang berangkat dari pemikiran social-jurisprudence. Sebagian juga memberikan istilah “case law”.
Berbagai peradilan khusus dibentuk dalam peradilan umum : Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan,
Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia. Bahkan, pengadilan HAM terdiri atas peradilan HAM ad hoc untuk pelanggaran berat HAM sebelum UU No 26/2000, dan peradilan HAM bukan ad hoc untuk pelanggaran berat HAM yang terjadi sejak 2000.
Pada peradilan TUN ada Pengadilan Pajak, yang merupakan peradilan khusus perpajakan dengan yurisdiksi khusus TUN. Peradilan khusus militer memeriksa sengketa TUN militer. Untuk otonomi daerah, di Aceh Mahkamah Syar’iyah menggabung kekhususan dua yurisdiksi khusus sebagai “pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama” dan sebagai “pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum
Jadi, ada berbagai UU yang mengatur dan membentuk peradilan. Pengadilan Niaga dibentuk dengan UU Kepailitan 1998. Pengadilan Perburuhan dibentuk melalui UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 2004, dan diatur bersama dengan mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi di bidang perburuhan. Pengadilan Perikanan diatur melalui UU Perikanan 2004.
MEKANISME PENGAJUAN DAN MATERI PERKARA
Sebagai contoh tindak pidana korupsi menjadi kewenangan Kepolisian, Kejaksaan dan KPK untuk melakukan penyidikan. Tindak pidana kehutanan menjadi kewenangan Kepolisian dan Kehutanan, tindak pidana narkotika menjadi kewenangan Kepolisian dan BNN. Belum lagi, hampir setiap instansi mempunyai penyidik melakukan penyidikan terhadap kejahatan tertentu.
Terhadap pelaku, juga harus dipastikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dimuka persidangan. Apabila pelaku merupakan anggota TNI maka tunduk kepada Pengadilan Militer atau pelaku dibawah umur tunduk kepada pengadilan anak. Begitu juga terhadap korban, apabila korban masih dibawah 18 tahun, maka diterapkan UU No. 23 tahun 2002, korban perempuan maka diterapkan UU KDRT dan seterusnya.
Sedangkan Gugatan perdata yang diajukan juga melalui mekanisme Peradilan yang berbeda. Terhadap gugatan yang penggugat dan tergugatnya beragama Islam (perceraian, waris) maka tunduk kepada Pengadilan Agama sebagaimana diatur didalam UU No. 8 Tahun 1989, non muslim tunduk kepada Pengadilan Negeri sebagaimana diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
Terhadap UU digugat melalui mekanisme judicial rewiew ke Mahkamah Konstitusi, Peraturan dibawah UU yang bersifat pengaturan (regeeling) tunduk kepada Mahkamah Agung dan Peraturan yang bersifat Penetapan (beschking) tunduk kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada “kesalahan pelaku” (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dalam bahasa latin diungkapkan dengan kata-kata “actus non facit reum, nisi mens sit rea Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam bahasa Belandanya geen straf zonder schuld beginsel.
Untuk mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana kepada seseorang, harus ada mens rea (guilty mind) dan pelaku. Harus ada kehendak jahat. “An unwarrantable act without a vicious will is no crime at all” (Suatu kelakuan tidak dapat digolongkan kejahatan, tanpa adanya kehendak jahat).
Pemidanaan haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. (terjemahan bebas, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, 2006)
Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem.
Dari paparan yang telah disampaikan tersebut, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder schul beginsel” dalam sistem hukum civil law.
Maka untuk menentukan kesalahan dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, (aqua means rea atau “kehendak jahat”).
Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas “sociates delinquere non potest” dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana (walaupun diluar KUHP sudah mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban komando)
Namun terhadap tindak pidana diatur diluar KUHP, mengenap pertanggungjawaban korporasi. Sahuri L dalam Disertasinya “Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perspektif Kebijakan hukum Pidana Indonesia” menjelaskan “Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa pertanggungjawaban korporasi harusnya mempunyai kesalahan, dan juga perbuatan itu diatur didalam perundang-undangan yang berlaku. Dengan menggunakan definisi yang disampaikan oleh Dr. Sahuri, maka terhadap tindak pidana korupsi harus diterapkan terhadap pertanggungjawaban korporasi. Tidak tepatnya menerapkan pertanggungjawaban korporasi selain mengakibatkan terdakwa haruslah dibebaskan (vrijpraak), maka justru akan mengakibatkan beban tanggung jawab korporasi hanya dialihkan kepada tanggung jawab individu (naturlijkee person).
Prinsip ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability). Pembuktian tidak semata-mata dilihat apakah pelaku (dader) melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan atau tidak, tapi beban pembuktian langsung mutlak dibebankan terhadap pelaku (dader) terhadap kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengna sumber daya alam (baca termasuk kejahatan lingkungan hidup). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dibebankan kepada perusahaan lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan kesalahan/kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, maka pembuktian menjadi sederhana dan mudah diterapkan. Pembuktian ini praktis sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku (dader).
Dalam ilmu hukum, subyek hukum (legal subject) adalah setiap pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum. Subyek hukum dapat merupakan orang atau natuurlijkpersoon (mensehjkpersoon) dan bukan orang (rechtspersoon).
Rechtspersoon biasa disebut badan hukum yang merupakan persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona. Pandangan demikian dianut oleh Carl von Savigny, C.W.Opzoomer, A.N.Houwing dan juga Langemeyer. Mereka badan hukum adalah hanyalah fiksi hukum. Oleh karena itu pendapat ini disebut teori fiktif atau teori fiksi.
Pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus
Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dan sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya.
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Ketidaktepatan dan kerancuan yang tidak tepat menempatkan perbuatan pidana sebagai pribadi (naturlijkee person) ataupun perbuatan pidana sebagai pertanggungjawaban korporasi selain akan menyulitkan pembuktian juga mengakibatkan terhadap kesalahan yang dilakukan dan penjatuhan pemidanaan. Dari ranah ini, kemudian berbagai putusan pengadilan (vonis) tidak memberikan tafsiran yang jelas dan cenderung mengikuti surat tuntutan jaksa penuntut umum (requisitooir). Padahal menurut hukum, perbuatan pidana sebagai pribadi ((naturlijkee person) dan pertanggungjawaban korporasi merupakan dual hal yang terpisah dan tidak dapat dicambur baur. Kesalahan dan ketidakcermatan didalam merumuskannya selain membuat kasus ini tidak menjadi jelas (obsuur libels) juga tidak pantas apabila kesalahan korporasi harus dibebankan kepada terdakwa sebagai perbuatan pidana pribadi (naturlijkee person)
Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan gagasan yang disampaikan dalam UU No. 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup kemudian dipertegas di UU No. 32 Tahun 2009.
Sebagai konsep yang berakar dari sistem hukum Anglo saxon, pembuktian ini lebih mudah dan cenderung praktis dibandingkan dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia.
Dalam lapangan hukum pidana, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), prinsip ini menegasikan pembuktian kesalahan berdasarkan sistem hukum Eropa Kontinental.
Berangkat dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup lebih banyak dibebankan kepada perusahaan. Kasus Lapindo sebagai contoh merupakan sebuah peristiwa yang menarik. Berlarut-larutnya pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik menarik antara Kepolisian dan Kejaksaan dan belum juga dinyatakan lengkap (P21), berangkat dari pemahaman penegak hukum yang tidak menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability). Sikap ngototnya penegak hukum untuk melihat keterlibatan pelaku (dader) kemudian terjebak dengan hak-hal yang bersifat teknis yang sulit pembuktiannya. Padahal dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader) melakukan perbuatan itu atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan, bahwa karena kesalahan atau kelalaian dari Lapindo, menyebabkan bencana. Dengan pembuktian yang sederhana ini, maka kasus Lapindo bisa disidangkan dimuka hukum. Dan perusahaan yang bertanggung jawab dalam bencana Lapindo dapat dipersalahkan dan pertanggungjawaban pidana.
Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi untuk menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan ataupun kelalaian dari perusahaan lingkungan hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah menyebabkan berbagai kejahatan di berbagai dunia dapat diselesaikan. Dan Indonesia sudah mengadopsinya di berbagai ketentuan di luar KUHP (seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup). Maka pernyataan dari berbagai kalangan harus mendapatkan respon, agar implementasi UU ini sudah selayaknya diterapkan sebagai salah satu solusi mengatasi berbagai kejahatan lingkungan hidup
KEADILAN DARI DIMENSI SISTEM HUKUM
Keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran".
Diskursus mengenai tentang keadilan substansi (substantive justice), dengan keadilan prosedural (procedural justice ) juga disampaikan Gustav Radbruh
Menurut Gustav Radbruh, Hukum harus mengandung tiga nilai identitas.
1. Asas kepastian hukum atau rechtmatigheid. Asas ini meninjau dan sudut yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), asas ini meninjau dan sudut filosofis.
3. Asas Kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau utility. Asas ini meninjau dari sosiologis.
Keadilan atau kepastian yang lahir dan hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum. Sebagai hukum dan hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Suatu perbuatan disebut adil atau tidak sepenuhnya bergantung pada peraturan yang dibuat oleh negara. Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif.
Saat terjadi pertentangan antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, yang harus diprioritaskan secara berurutan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir kepastian. Mahfud, MD juga menyatakan bahwa walaupun secara prinsip harus diutamakan adalah kepastian hukum namun juga harus dititikberatkan kepada keadilan dan kemanfaatan (Moh. Mahfud MD, Asas Keadilan dan Kemanfaatan Suara Karya, 12 Desember 2006).
Sedangkan John Rawl, memberikan makna keadilan adalah keadaan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Paul Scholten, keadilan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani, hukum tanpa keadilan bagaikan badan tanpa jiwa. Dalam konteks prinsip-prinsip keadilan, MK berpandangan bahwa keadilan tidak selalu berarti memperlakukan sama kepada setiap orang. Menurut MK, keadilan haruslah diartikan dengan “memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama, dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda”. Sehingga, apabila terhadap hal-hal yang berbeda kemudian diperlakukan sama, justru akan menjadi tidak adil.
Namun pendapat berbeda disampaikan oleh Bagir Manan. Bagir menyatakan “Hakim adalah mulut atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet, bouche de la hoi). Ajaran mi menggarisbawahi, bahwa hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum diluar undang-undang, melainkan dilarang juga menafsirkan undang-undang. Wewenang menafsirkan undang-undang adaiah pembentuk UU Bukan wewenang hakim”. Pandangan ini tidak sekedar teori, melainkan pemah masuk dalam sistem hukum positif seperti didalam pasal 15 AB yang berbunyi “geeft gewoonte geen recht, dan alien wanneer der wet daarops verwijst (ketentuan kebiasaan tidak merupakan hukum, kecuali ditunjuk oleh UU (Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 238, Juli, 2005, Jakarta, Hal 3
.
Apabila kita perhatikan Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan “hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dan segala tuduhan”, menurut penulis melambangkan asas kepastian hukum (rechtmatigheid) didalam memutuskan perkara. Selain itu juga konsepsi ini juga mengandung asas positivisme.
Pernyataan ini didukung oleh Logemann menyatakan “men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de juiste uitleg mag gelden” orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran yang tepat .
Maka dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepada hakim, maka seorang hakim terikat kepada ketentuan yang tertuang dalam hukum acara (formele recht) dari pengadilan. Sebagai hukum dan hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Hal demikian dikarenakan fungsi dari hukum acara (formele recht, adjective law) adalah untuk mempertahankan hukum materiil (materiele recht, substantive law) . Pemikiran ini dikatakan sebagai Kepastian Hukum (Rechtssicherheit). MK mendefinisikan sebagai “keadilan prosedural (procedural justice). Sebagian kalangan mendefenisikan sebagai kepastian peraturan.
Meminjam pendapat Hakim Konstitusi Achmad Roestandi, Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural harus selalu bergandengan dan menjadi penyeimbang dari keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi. Suatu norma hukum kadang-kadang seolah-olah terpaksa harus mengorbankan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substanti demi kepastian hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural. Walaupun melanggar rasa keadilan, tetapi kepastian ini diperlukan, karena dalam jangka panjang kepastian hukum justru sangat diperlukan untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya. Tetapi pembedaan ini justru diperlukan agar terdapat kepastian bagi para penegak hukum dan masyarakat dalam upaya memantapkan penegakan hukum (law enforcement) . Dan terhadap pengingkaran Kepastian hukum (Rechtssicherheit) justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural yang dimaksudkan, maka Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural dibutuhkan kepada para pihak pencari keadilan. Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural menurut William Friedman, seorang sosiolog hukum, mengatakan bahwa kepastian hukum (Rechtssicherheit) itu tergantung kepada, antara lain, substansi hukum berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta legal culture masyarakat.
Bahwa kepastian Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural tidak otomatis atau tidak dengan sendirinya menjamin suatu keadilan hukum (gerechtigkeit). Keadilan adalah sesuatu yang multitafsir dan bersifat subjektif dalam pemahaman dan penerapannya. Subjektivitas itu pada hakikatnya disebabkan oleh perbedaan pandangan ontologis tentang apa dan siapa manusia itu, dan pada gilirannya menimbulkan perbedaan aksiologis tentang nilai imperatif yang harus diterapkan kepada seseorang baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat. Atau dengan kata lain justru menimbulkan ketidakadilan.
Kegelisahan terhadap kepastian hukum (Rechtssicherheit) yang tidak menjamin keadilan merupakan bekerjanya ranah filsafat hukum . Filsafat hukum relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Meminjam istilah Roscoe Pound “filsafat berupaya untuk memecahkan persoalan tentang gagasan untukmenciptakan suatu hukum yang sempurna yang harus berdiri teguh selamalamanya, kemudian membuktikan kepada umat manusia bahwa hukum yang telah selesai ditetapkan, kekuasaannya tidak dipersoalkan lagi”
MK kemudian mengabaikan ketentuan normatif (keadilan prosedural/procedural justice) sebagaimana dinyatakan rumusan pasal 50 UU MK didalam memeriksa perkara No. 66/PUU-II/2006. Pertimbangan yang disampaikan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ……”, tanpa memuat batasan tentang pengundangan undang-undang yang diuji. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan “Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dipandang mereduksi kewenangan Mahkamah.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang mempertimbangkan pasal 50 UU MK tidak hanya menerima asas kepastian hukum (Rechtssicherheit) yang dititikberatkan pada rechtsstaat tapi juga sekaligus asas rasa keadilan hukum (Gerechtigkeit) yang dititikberatkan pada the rule of law. Pengertian yang demikian dipertegas pula di dalam Pasal 28H yang menekankan pentingnya kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit) dan keadilan hukum (gerechtigkeit). Maka penulis mengidentifikasikan MK mengabaikan kepastian hukum (Rechtssicherheit) atau keadilan prosedural (procedural justice) dan mempertimbangkan keadilan substantif (substansif justice) atau asas rasa keadilan hukum (Gerechtigkeit).
Begitu juga didalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PUU-IV/2006, walaupun pemohon meminta untuk membatalkan Pasal 1 Ayat (9), Pasal 27, Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 namun Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 27 Tahun 2009 (ultra petite). Pertimbangan Mahkamah Konstitusi selain menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 juga berhubungan satu pasal dengan pasal lain sehingga walaupun para pemohon hanya meminta membatalkan Pasal 1 Ayat (9), Pasal 27, Pasal 44 namun Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 27 Tahun 2007.
“Kegelisahan” ini juga dirasakan MK disaat memeriksa perkara yang berkaitan dan perkara perselisihan penghitungan suara di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Bengkulu Selatan, Tapanuli Utara, Kabupaten Timur Tengah Selatan. Pertimbangan MK “Selain itu, Mahkamah memutuskan bahwa dalam mengawal konstitusi, Mahkamah tidak dapat membiarkan dirinya dipasung oleh keadilan prosedural (procedural justice) semata-mata, melainkan juga memaknai “keadilan substansi (substantive justice)”. Demikian juga pertimbangan Mahkamah Konstitusi “bahwa sebagai lembaga penafsir UUD - the sole judicial interpreter of the constitution - Mahkamah Konstitusi tidak boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran originalisme dengan mendasarkan diri hanya kepada original intent perumusan pasal Undang-Undang Dasar 1945 , Tapi fungsi dan peran Mahkamah dimaksudkan, antara lain, untuk mengawal tegaknya konstitusi dengan segala asas yang melekat padanya. Demokrasi adalah salah satu asas yang paling fundamental di dalam UUD 1945 sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang undang dasar. Oleh sebab itu, Mahkamah berwenang juga untuk mengawal tegaknya demokrasi seperti yang diatur di dalam konstitusi yang dalam rangka mengawal tegaknya demokrasi itu harus juga menilai dan memberi keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk penyelenggaraan Pemilukada
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana didalam putusan mengenai perselisihan di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Timur Tengah Selatan dan Kabupaten Tapanuli Utara kemudian Mahkamah Konstitusi mengabaikan “keadilan prosedural (procedural justice) dan mengambil sikap memperjuangkan prinsip “keadilan substanti (substantive justice).
Dalam diskursus yang lain dinyatakan saat terjadi pertentangan antara keadilan, maka harus diprioritaskan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice),, kemudian kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit) dan terakhir Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural (procedural justice) . Nilai keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit), lebih tinggi dari Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) Atau keadilan prosedural (procedural justice) terlebih dalam mewujudkan keadilan universal, karenanya apabila terjadi pertentangan antara dua asas tersebut maka yang didahulukan adalah prinsip yang dapat mewujudkan keadilan secara nyata.
Apabila kita merujuk kepada Gustav Radbruh, dimana Hukum harus mengandung tiga nilai identitas, maka pertimbangan MK yang “mengabaikan keadilan prosedural dan memperjuangkan keadilan subsantif” lebih menitikberatkan kepada keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice)
Sedangkan apabila merujuk kepada John Rawls yang mempertimbangkan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice) kemudian Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural (procedural justice) dan kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit).
Dengan demikian maka etika membuat putusan, hakim harus memperhatikan banyak aspek, terutama Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural (procedural justice) kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit), dan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice)
Tujuan mewujudkan keadilan berbeda dengan tujuan mewujudkan ketertiban. Im sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu: secara filosofis, perlu tegaknya keadilan; secara yuridis formal, perlu ada kepastian hukum; dan secara sosiologis, memberikan kemanfaatan.
Dalam keadaan tertentu, tuntutan keadilan akan melonggarkan kepastian hukum, sedangkan kepastian hukum justru merupakan komponen utama mewujudkan ketertiban. Tanpa kepastian hukum tidak akan ada ketertiban.
Sebaliknya pada tingkat tertentu, ketertiban dapat menggerogoti keadilan. Selain mewujudkan kepastian, ketertiban memerlukan persamaan (equality), sedangkan keadilan harus memungkinkan keberagaman atau perbedaan perlakuan.
Dan seluruh paparan yang telah disampaikan penulis, maka menurut pendapat penulis, bahwa konsepsi berfikir aliran positivisme haruslah menjadi sikap hakim didalam memutuskan perkara. Dalam berbagai wacana diskusi, penulis termasuk barisan yang konsisten menyatakan bahwa hakim di Indonesia harus berpandangan positivisme dimana ajaran in merupakan ajaran umum dalam hukum Indonesia. Ajaran ini merupakan terjemahan langsung dari pengembangan ajaran legalisme. Ajaran legalisme menyatakan bahwa yang dinamakan hukum adalah Undang-undang.
Konsepsi berfikir positivisme disatu sisi dengan konsepsi mempertanyakan “keadilan” disisi lain menjadi sikap yang ambigu terhadap “keadilan” ditinjau dan kepastian hukum.
Nilai keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit), lebih tinggi dari Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) atau keadilan prosedural (procedural justice), karenanya apabila terjadi pertentangan antara dua asas tersebut maka yang didahulukan adalah prinsip yang dapat mewujudkan keadilan secara nyata, sehingga oleh karenanya memperlakukan Hukum secara Retroaktif yang bersifat terbatas, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam keadaan tertentu, tuntutan keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit) akan melonggarkan Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) atau keadilan prosedural (procedural justice) , sedangkan kepastian hukum justru merupakan komponen utama mewujudkan ketertiban. Tanpa kepastian hukum tidak akan ada ketertiban .
Sebaliknya pada tingkat tertentu, ketertiban dapat menggerogoti keadilan. Selain mewujudkan kepastian, ketertiban memerlukan persamaan (equality), sedangkan keadilan harus memungkinkan keberagaman atau perbedaan perlakuan.
“Konstitusi itu adalah seperti apa yang dimaknai oleh masyarakat” (Die Politische Verfassungs als Gesselschaftlich wirklichkeit) . Sebagaimana yang sudah pernah dinyatakan oleh Von Savigny bahwa "Hukum bersumber kepada jiwa bangsa".
Perlu disadari tugas utama hakim adalah menyelesaikan sengketa di antara pihak-pihak, memberi kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara.
Para filsuf hukum mengatakan, hukum yang tidak adil bukanlah hukum (unjustice law is not law) .
Rasa keadilan memang subjektif. Adil bagi yang menang tetapi dianggap tidak adil bagi yang kalah. Itulah penilaian seseorang terhadap sebuah putusan pengadilan. Tidaklah mungkin sebuah putusan pengadilan akan memenangkan kedua belah pihak yang saling berhadapan kepentingannya itu sekaligus. Hakim senantiasa dalam posisi diametral yang tak mungkin bisa memuaskan kedua pihak,
Hukum juga harus memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people). Sedangkan dari aliran Sejarah Hukum, yang mengatakan: “Hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dalam masyarakat itu sendiri sebagai jiwa bangsa (Das recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke)-volkgeist. Jadi setiap suku bangsa itu memilki apa yang dinamakan volkgeist-nya masing-masing.
Selain itu juga tujuan mewujudkan keadilan sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu: secara filosofis, perlu tegaknya keadilan; secara yuridis formal, perlu ada kepastian hukum; dan secara sosiologis, memberikan kemanfaatan.
Sebaliknya, hukum juga bisa menjadi alat pencipta keadilan dalam masyarakat dan membatasi penguasa agar tidak sewenang-wenang. Bahkan hukum yang baik tidak hanya menjamin kepastian hukum semata, tetapi juga harus menjamin keadilan dan kemanfaatan.
Hukum sesungguhnya hanya institusi yang mengikuti perubahan sosial . Menurut Von Savigny, hukum bukan merubah konsep dalarn masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan sosial. Marx justru pendapatnya bertentangan yaitu bahwa perubahan sosial tidak mungkin diciptakan oleh hukum, tetapi teknologi dan ekonomi. Hukum merupakan suprastruktur di atas ekonomi dan teknologi.
Pembicaraan mengenai hukum dewasa mi tidak dapat dilakukan seperti waktu kita membicarakannya sekian ribu tahun yang lalu. Hukum harus kita bicarakan “hic et nunc”, “sekarang dan disini” .
Dari paparan yang telah disampaikan, gambaran semrawut hukum di Indonesia mulai menemukan arah. Setidaknya kita tidak terjebak dari belantara rumitnya hukum di Indonesia.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..