Surat ini ditujukan, sebagai respon Melanie Subono terhadap pernyataan Tifakul Sembiring yang memberikan istilah AIDS dengan kata ”AKIBAT ITUNYA DIPAKAI SEMBARANGAN”??? dalam twitter-nya. Pernyataan ini kemudian diulangi didalam wawancara media online “detik.com”.
Didalam suratnya, Melanie Subono dengna lugas menolak penyebab penyakit AIDS semata-mata didasarkan kepada ”AKIBAT ITUNYA DIPAKAI SEMBARANGAN”.
Dengan panjang lebar Melanie Subono memaparkan, persoalan AIDS bukan persoalan moral semata. Tapi dapat disebabkan penularannya melalui jarum suntik ataupun dengan cara lain.
Surat ini kemudian dimuat didalam “detik.com” dan memancing reaksi publik.
Surat terhadap pernyataan seorang petinggi Negeri ataupun terhadap “ketidakadilan” sering disuarakan di dunia maya.
Baik melalui website, blog, facebook, twitters ataupun citizen journalism.
Suara ini juga pernah disampaikan oleh Alanda Kariza yang menggegerkan dunia maya lewat tulisan curahan hati atas ketidakadilan yang dirasakan keluarganya.
Ibunya, Arga Tirta Kirana, mantan Kepala Divisi Legal Bank Century 2005-2009, terancam dipenjara selama 10 tahun dan didenda Rp10 miliar karena tersandung kasus Bank Century.
Terlepas dari putusan Arga Tirta Kirana, suara yang disampaikan merupakan “ketidakadilan” terhadap proses hukum yang menyuarakan suara nurani.
PERLAWANAN KELAS MENENGAH INDONESIA
Sebagai identitas yang sedang mencari format perlawanan, kelas menengah Indonesia ketinggalan jauh dari kelas menengah di berbagai negara. Thailand ataupun Filipina sudah berhasil menumbangkan rezim yang otoriter. Begitu juga tumbangnya komunisme di negara Eropa Timur.
Trend kelas menengah di berbagai negara teraktualisasi dalam berbagai gerakan sebagai pilar perlawanan. Mereka mempengaruhi gerakan Serikat Buruh, Serikat Tani, tokoh kampus dan pemikir intelektual.
Gerakan-gerakan ini kemudian terbukti melahirkan pemimpin-pemimpin yang disegani.
Namun, akhir-akhir ini, walaupun di berbagai partai politik, peran kelas menengah Indonesia kurang “pede” masih “kalah pamor” dengan tokoh-tokoh gaek, kelas menengah mulai menemukan bentuk perlawanan di dunia maya.
Masih segar dalam ingatan kita, dukungan sejuta “facebookers” terhadap kriminalisasi KPK terbukti mempengaruhi keputusan Politik.
Dukungan sejuta “facebookers” masuk istana dan membuat Presiden SBY membentuk TIM 8 untuk mengusut dan membongkar kriminalisasi KPK.
Dukungan sejuta facebookers juga berhasil “mengeluarkan” pimpinan KPK dari tahanan. Dukungan sejuta facebookers, membuat istana harus berfikir untuk melawan perlawanan kelas menengah melalui dunia maya.
Dukungan facebookers juga berhasil “membuat” Presiden SBY membentuk Tim Anti Mafia Hukum dan menunjuk orang-orang yang kredibel untuk duduk didalam tim Anti mafia Hukum.
Perlawanan Kelas Menengah melalui dunia maya juga terjadi terhadap kasus Prita Mulyasari. Seorang Ibu Rumah Tangga yang mengirimkan “keluhan” dugaan malpraktek. Keluhan ini kemudian membuat RS Omni Internasional menyeret Prita Mulyasari ke persidangan dengan tuduhan serius “UU ITE” dan Prita Mulyasari ditahan.
Dukungan dari kelas Menengah melawan “ketidakadilan” melalui dunia maya, membuat Prita Mulyasari “dikeluarkan dari tahanan dan sampai sekarangnya kasusnya masih mengambang.
Begitu juga terhadap kasus Nenek Minah yang dituduh mencuri 2 kg kakao ataupun “pengusiran” dua janda veteran dari Rumah Dinas.
Sekedar contoh yang dipaparkan menggambarkan bentuk perlawanan kelas menengah “melawan” ketidak adilan.
Kelas menengah yang rata-rata menempuh pendidikan cukup, menguasai informasi dan teknologi dan mendapatkan akses informasi terkini merupakan perlawanan sistematis setelah berbagai penyaluran demokrasi praktis lumpuh.
Pengadilan yang “samar-samar” terdengar suara keadilan, pers yang cenderung “kapitalistis”, partai yang dikuasai kelompok oligarkhi politik, suara parlemen yang cenderung tergantung kepentingan, kampus yang sibuk “memoles diri” dan suara agama yang cenderung tidak terdengar.
Sumbatan aspirasi dan sumbatan demokrasi praktis terdengar pada tataran titik nadir membuat kelas menengah mencari bentuk dan model perlawanan yang sistematis untuk mempengaruhi politik dan hukum yang berpihak kepada keadilan.
Dari sarana dunia maya, baik yang dilakukan Melanie Subono, Alanda Kariza, dukungan sejuta facebookers terbukti effektif.
Bentuk rekayasa dan “ketidakadilan” yang dilakukan oleh kelompok-kelompok anti perubahan berhadapan dengna perkembangan zaman yang tidak bisa lagi dikontrol.
Suara dunia maya membuat kelompok politik berhitung dengan kekuatan di dunia maya. Suara dunia maya membuat, perlawanan didunia nyata dikuasai kelompok anti perubahan berhadapan dengna kelompok dunia maya yang melakukan cara dan model perlawanan “ketidakadilan”.
Dari titik inilah, perlawanan kelas menengah Indonesia menarik menjadi kajian didalam perubahan dan trend ke depan.
KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM
Upaya yang dilakukan Kelas menengah melakukan perlawanan “ketidakadilan” di dunia maya ditengah masyarakat yang merindukan “Indonesia yang lebih baik ” sungguh luar biasa dan harus diberikan apresiasi.
Peristiwa yang telah penulis paparkan tersebut, merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dijadikan bahan dan merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat terhadap upaya perlawanan ketidakadilan.
Sebagai sebuah fenomena sosial, maka merupakan kajian didalam melihat hukum dari perspektif sosial.
Fenomana sosial yang terjadi di masyarakat didalam upaya dan peran kelas menengah melakukan perlawanan “ketidakadilan melalui dunia maya. Titik masuk didalam membongkar “ketidakadilan”.
Fenomena ini kemudian mempengaruhi hukum positif. Kontruksi inilah yang merupakan kajian dari ilmu sosiologi hukum yang kemudian berakibat mempengaruhi hukum positif di Indonesia.
Penahanan terhadap pimpinan KPK yang di dunia nyata sering menjadi klaim sebagai “kewenangan” penyidik, terbantahkan dengan dukungan sejuta facebookers yang berhasil “mengeluarkan” pimpinan KPK dari Penjara.
Begitu juga terhadap kasus Nenek Minah dan Kasus Prita Mulyasari.
Fenomena yang telah penulis paparkan, merupakan sebuah sikap bentuk perlawanan kelas menengah melawan “ketidakadilan. Yang menarik perhatian penulis adalah, fenomena yang dipaparkan tersebut, ternyata mengeliminasi hukum positif.
Dengan demikian fenomena kelas menengah melakukan perlawanan “ketidakadilan” ternyata mengeliminir ketentuan normatif dalam lapangan hukum pidana.
Sebuah babak baru telah lahir justru di dunia maya. Sebuah hipotesis menarik yang tidak pernah terpikirkan oleh “pengurus negara” didalam mengelola urusan rakyat.
DImuat di Harian Jambi Ekspress, 4 April 2011