Pendekatan pertama menggunakan perangkat hukum (baca Hutan Desa dalam konsepsi negara) dan pendekatan adat (baca hutan desa yang telah dikelola rakyat).
17 Desa yaitu Lubuk Beringin, Lubuk Birah, Durian Rambun, Kotorami, Desa Tuo, Desa Tanjung Dalam, Birun, Muara Madras, Pematang Pauh, Beringin Tinggi, Desa Gedang, Kotobaru, Tanjung Benuang, Talang Tembago, Tanjung Mudo, Desa jangkat Tanjung Alam
Sebagai konsepsi hutan Desa menggunakan pendekatan hukum menimbulkan problematika tersendiri.
Tahun 2009, Walhi Jambi kemudian mengambil sikap mengusung hutan Desa Pasca Penolakan PT. DAM.
Pertimbangan Walhi Jambi mengambil sikap mengusung hutan Desa didasarkan kepada
a. regulasi yang mengatur tentang hutan adat dan teknis pengaturannya belum ada didalam Kementerian Kehutanan dan berbagai departemen lainnya.;
b. Wilayah kelola adat termasuk kedalam hutan produksi yang bisa dijerat dengan UU Kehutanan;
c. Adanya pengelolaan yang arif didalam menata dan mengelola hutan oleh rakyat sehingga model ini bisa dijadikan salah satu bahan untuk mematahkan argumentasi rakyat tidak bisa mengelola hutan.
d. Adanya dukungan dari Pemerintah Daerah yang mendukung pengusulan hutan Desa seluas 49.512 ha terletak 17 Desa.
e. Dicabutnya izin PT. DAM dan status quo terhadap areal yang diberi izin PT. DAM sehingga harus dicari rumusan yang jelas terhadap penataan pengelolaan hutan.
Dengan pertimbangan tersebut, Walhi Jambi mengusung hutan Desa menjadi debate wacana nasional.
Pertarungan apakah, Walhi kemudian dan mendukung sistem klaim negara berhadapan dengan fakta-fakta bahwa terhadap klaim-klaim rakyat berhadapan dengan UU No. 41 tahun 1999 dan cenderung dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum.
Dalam dimensi ini, kemudian, Hutan Desa yang diusung oleh Walhi Jambi bukan didasarkan kepada mendukung sistem pengelolaan hutan oleh negara, namun harus dibaca, bahwa “merebut hak kelola” didasarkan kepada pengamanan terhadap klaim-klaim adat dan harus dimensi pengelolaan dan pengaturan yang berangkat kepada perlindungan sumber daya alam.
Dalam dimensi ini, kemudian, harus dilihat, hutan Desa sebagai bentuk regulasi melindungi klaim adat harus dibaca dan dimaknai bukan mendukung sistem pengelolaan hutan yang ditawarkan oleh negara, namun, pola pengaturan yang telah dijalani masyarakat komunal adat di dalam hutan Desa merupakan salah satu bentuk model pengelolaan oleh rakyat.
Dari dimensi inilah, kemudian Walhi Jambi melihat rumusan hutan Desa juga dibaca dan dimaknai sebagai hutan adat yang telah dikelola oleh rakyat dimana nilai-nilai ini tidak bertentangan dengan sikap politik Walhi didalam position paper, konstitusi dan statuta dan nilai-nilai perjuangan Walhi.
Namun sikap yang diambil Walhi Jambi mengalami berbagai hambatan.
Dalam diskusi nasional, selain menjelaskan berbagai pihak terhadap posisi Walhi Jambi kepada Walhi Nasional dan berbagai jaringan nasional lainnya, seperti Sawit Watch, AMAN, KPA, JKPP, JATAM, KpSHK, tuduhan Walhi Jambi mendukung negara yang cenderung fasis dalam pengelolaan hutan, juga tuduhan Walhi Jambi melakukan kerja-kerja dan pesanan LSM asing.
Tuduhan serius ini kemudian terbantahkan dengan proses waktu dan dengan kerja-kerja advokasi.
Sedangkan dimensi pendekatan adat, merupakan kajian menarik baik dilihat dari hukum adat, sosiologi maupun dari dimensi lingkungan.
Sejarah Luak XVI bukan timbul disaat pengusulan hutan desa.
Luak XVI sudah menjadi hidup dan tidak terpisahkan daripada kehidupan masyarakat di Bangko. LUAK XVI merupakan komunitas wilayah adat yang mempunyai identitas yang khas, wilayah klaim adat dan hukum yang mengatur kehidupan komunal masyarakat adat. LUAK XVI merupakan komunitas yang sampai sekarang masih tunduk kepada klaim wilayah adat dan menghormati hukum adat Dalam kajian ilmu hukum lebih dikenal ubi societas ibi jus yang artinya (dimana) ada masyarakat (disitu) ada hukum.
Luak XVI terdiri Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Senggrahan, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah pembarap.
Hubungan antara Margo Renah pembarap, Tiang Pumpung dan Margo sanggrehan dapat dilihat dari ujaran “ Margo Renah Pembarap nenek moyangnya adalah Syeh Rajo, Syeh Baiti Nenek moyang Tiang Pumpung, Syeh Saidi Malin Samad Nenek moyang Sanggrehan”. “Gedung di Pembarap, Pasak di Tiang Pumpung, Kunci di pembarap’ Pembarap berrenah luas, Tiang pumpung berlarik panjang, Sanggrehan berhutan lebar.
LUAK XVI merupakan masyarakat hukum yang berbentuk teritorial. Holleman menyebut ”jural community” atau ”masyarakat hukum”.
PELAJARAN PENTING DESA TANJUNG ALAM
Desa Tanjung Alam merupakan wilayah DEPATI DUO MENGGALO, Desa Tanjung Alam termasuk kedalam Koto Sepuluh dalam Margo Sungai Tenang,
Sejarah Tanjung Alam bermula saat Depati Duo Menggalo adalah anak dari rajo tiangso yang bernama sigenyah yang juga memerintah di desa tanjung alam sebagai depati.
Rajo tiangso mempunyai 3 orang anak ;
1. Segenyah dengan gelar depati duo menggalo,
2. Sebengkal dengan gelar depati payung ladang panjang,
3. Sibujang jambi dengan gelar depati muncak muaro madras.
Diberi gelar depati duo menggalo menurut masyarakat adalah dikarenakan beliau juga ikut membantu menyebarkan islam bersama di daerah pungguk IX dan pungguk VI.
Dinamakan Depati Duo Menggalo karena beliau adalah Orang Pungguk Sembilan (IX) yang tinggal dan memerintah di daerah koto 10, yaitu Desa Tanjung Alam(dahulunya Sitinjau Alam) (Peraturan Desa Tanjung Alam Nomor 3 Tahun 2011)
Persatuan Wilayah Adat LUAK XVI yang terdiri 6 Margo didalam membicarakan kewilayahan, batas Margo, batas antara Margo, batas desa dalam margo dan menghubungkan antara desa satu dengna dengan lain dalam satu margo, Cara menentukan batas wilayah, baik klaim adat maupun berbagai pemetaan yang menggambarkan “wilayah kelola” dan pengaturan yang telah diturunkan turun temurun dilakukan dengan tutur dan seloko adat yang lebih dikenal dengan nama “TAMBO”
Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam.
Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat.
Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya.
Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang.
Bandingkan definisi yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacarn ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera.
Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977.
Begitu juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII, Januari 1978.
Dengan Tambo inilah, suatu wilayah adat dapat diketahui, baik batas wilayah suatu Margo, antara desa satu dengna yang lain dalam satu margo dan tentu saja menghubungkan antara Margo Satu dengna margo yang lain.
Desa Tanjung Alam mempunyai tambo ” Mulai dari lubuk hujan sungai tembesi terus keatas ke muara sungai gelam di sungai lembatang,terus ke muaro sungai kiro mas(kiro meh) menuju pauh belepang terus menuju ke muaro sungai kandis di sungai lembatang terus ke mudik terus ke danau hijau terus ke TNKS terus ke bukit muncung terus ke sungai matang duo terus ke hulu sungai bayu terus ke simpang 3 terus ke muaro sungai titian teras terus ke sungai tembesi terus ke lubuk hujan sungai tembesi.
Batas Administrasi Desa Tanjung Alam 101053’0” – 102055’0” Bujur Timur, 02029’0” - 02034’0” Lintang Selatan, dan ketinggian dari 800 – 2500 dpl. Desa Tanjung Alam berbatas dengan Sebelah Utara Berbatasan dengan Desa Koto Baru, Sebelah Selatan Berbatasan dengan Desa Baru, Sebelah Barat Berbatasan dengan Desa Tanjung Mudo, Sebelah Timur Barbatasan dengan Desa Rantau Suli.
Kesemua desa tetangga termasuk kedalam Margo Sungai Tenang.
“Klaim adat” berupa wilayah dan cara kelola yang berdasarkan Seloko dan ujaran adat sampai sekarang menjadi ingatan dan pengetahuan kolektif masyarakat didalam Luak XVI.
Dengan Tembo dan Seloko yang diwariskan turun temurun dari generasi. (Seloko adat)
Dalam dokumen resmi Pemerintah Belanda melalui Peta SCHETSKAART Residentie Djambi – Adatgemeenschappen (Marga’s) skala 1 : 750.000 telah diakui pembagian marga sebagaimana marga bagian dari LUAK XVI.
Dalam aturan adat (Pantang Larangan) mencantumkan Rimbo sunyi, Ulu Sungai/Rimbo Ganuh, Gunung, lereng sungai, Pinggiran Sungai Lembatang Tidak boleh boleh dibuka dan dijaga untuk anak cucu. Pohon Durian, pohon embacang tidak boleh dipanjat. Ikan tidak boleh diracun, Burung gagak tidak boleh diambil. Terhadap pelanggaran maka dijatuhi hukuman kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-.
Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Tanah kembali ke penghulu, yang membuka rimbo tanpa sepengetahuan Penghulu.
CARA MEMBUKA HUTAN
Pada prinsipnya, hutan yang masih ada, harus seizin Penghulu dalam rapat adat. Ini sesuai dengan aturan Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek mamak.
Terhadap hutan yang dibuka dibedakan antara masyarakat asli dengna masyarakat pendatang. Untuk masyarakat asli ditentukan dengan cara-cara.
Hutan yang Dibuka dilakukan secara kelompok. Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha dan harus ditanami selama 3 tahun. Apabila tidak ditanami, maka kembali kepada Penghulu. Tanah yang dibuka tidak boleh dijual kepada orang luar. Dalam waktu 5 tahun hanya boleh dibuka 2 hektar,
Apabila pemilik tanah pergi meninggalkan Desa dan mencari kehidupan diluar Desa, maka tanah berasal dari Rimbo yang telah dibuka maka menjadi hak milik.
Sedangkan sesap jerami kembali ke penghulu. Ini sesuai dengan aturan Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi
Tanah yang telah dibuka diberi tanda dengan menanam pohon seperti jeluang.
Biasa dikenal dengan istilah Hilang celak dengan mentaro.
Tanah yang tidak ditanami, kembali ke penghulu. dikenal dengan istilah Sesap Rendah, belukar tinggi.
Sedangkan Untuk masyarakat yang berasal dari Luar Desa Tanjung Alam ditentukan cara yang berbeda. Setiap pendatang yang masuk ke Tanjung Alam harus Memenuhi persyaratan administrasi kependudukan, mengikuti segala hukum adat dan bersedia melaksanakan hukum adat Desa Tanjung Alam (Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung.Dimana air disauk, disana ranting dipatah. Kemudian Mencari induk semang. Harus Tinggal di tempat Induk Semang selama 6 enam) bulan. Kemudian induk semang mengabarkan kepada Kepala Desa dan mengadakan rapat adat dengan membawa nasi putih dan air jernih (Nasi putih air jernih. Masuk petang, keluar pagi). 6 bulan tidak digarap, tanah kembali ke penghulu, (Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi).
Tidak boleh menambah/membuka rimbo. Dua (2) tahun tidak ditanami, tanah kembali ke penghulu. (Belukar Mudo).
CARA MENYELESAIKAN
Terhadap masalah yang timbul, maka cara menyelesaikan dengan cara JENJANG ADAT. Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, didalam menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat.
Caranya yaitu Saksi melapor kepada Menti. Menti Melapor ke Kepala Dusun, Kepala Dusun memerintahkan Menti menghubungi/memberitahu Kepala Suku. Apabila Pelaku tidak mau melaksanakan putusan denda adat, Kepala Dusun melapor kepada Kepala Desa. Kepala Desa mengadakan rapat adat.
Dalam Persekutuan Masyarakat Melayu LUAK XVI di Kabupaten Merangin, sebelum dilakukan penyeragaman “Desa” oleh orde baru, telah dikenal Pamuncak (1275 M – 1347 M), Depati (1347 M – 1526 M), Pasirah Kepala Marga (1526 M – 1981 M) (Muchtar Agus Cholif, Timbul Tenggelam – Persatuan Wilayah LUAK XVI, Jambi, 2009).
Namun dengan penyeragaman
“DESA” oleh orde baru tidak serta merta menggantikan fungsi dan kedudukan “Pamuncak, Depati, Pesirah” dengan “Desa”. Penyeragaman “Desa” juga memberangus berbagai nilai fundamental dari fungsi Kepala Desa tersebut.
Padahal “Pamuncak”, “Depati”, “Pasirah Kepala Marga” sebagai Kepala Daerah di kampung, tidak mempunyai kekuasaan Eksekutif sebagaimana ujaran “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang. “Pamuncak”, “Depati”, “Pasirah Kepala Marga” hanya menjalankan tugas-tugas administrasi di dusun, kampung untuk menjaga agar “Bumi Senang, Negeri Aman, Padi menjadi”. “Pamuncak, Depati, Pasirah Kepala Marga”, tidak mengambil keputusan-keputusan adat namun melaksanakan putusan adat (wewenang Eksekusi sebagaimana kewenangan Jaksa penuntut umum).
Dengan demikian, maka Adanya persoalan disuatu darah, Saksi melapor kepada Menti. Menti Melapor ke Kepala Dusun. Kepala Dusun memerintahkan Menti menghubungi/memberitahu Kepala Suku. Apabila Pelaku tidak mau melaksanakan putusan denda adat, Kepala Dusun melapor kepada Kepala Desa. Kepala Desa mengadakan rapat adat. Setelah rapat adat dan kemudian ditentukan kesalahan dijatuhi sanksi, maka Kepala Desa lah yang melaksanakan putusan adat.
Dengan memperhatikan kewenangan Kepala Desa sebagaimana rumusan UU 5 Tahun 1979 maka UU 5 Tahun 1979 mereduksi kewenangan “Pamuncak, Depati, Pasirah Kepala Marga”. UU 5 tahun 1979 telah menghancurkan nilai-nilai budaya lokal didalam menata dan mengelola pemerintahan di unit terkecil Pemerintahan. Padahal “Pamuncak”, “Depati”, “Pasirah Kepala Marga” juga dihormati sebagaimana ujaran “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek”.
Alam juga mengabarkan pemimpin yang lalim sebagaimana ujaran “Rajo alim, Rajo disembah, Rajo lalim, Rajo disanggah”.
Sedangkan pemimpin yang baik akan dapat dilihat “negeri aman padi menjadi, airnyo bening ikannyo jinak, rumput mudo kebaunyo gepuk, bumi senang padi menjadi, padi masak rumpit mengupih, timun mengurak bungo tebu, menyintak ruas terung ayun mengayun, cabe bagai bintang timur, keayek titik keno, kedarat durian guguu.
Dari pendekatan ini, maka Doktrin ortodok Leiden yang pokoknya adalah sebuah konsep hukum (recht) sebagai paham keadilan yang ada pada masyarakat.
Rasa keadilan masyarakat adalah basis bagi sebuah konsep hukum yang sangat berbeda yang berhubungan dengan mazhab Legal-Historis (rechtsgeschictescule). Von Savigny menyebutkan ”sistem hukum (recht) bersifat khas bagi sebuah kelompok masyarakat (volk, bangsa).
Sekali lagi, masyarakat mengajarkan kepada kita bagaimana mengelola alam dan terbukti berhasil menjaga hutan.