28 Juli 2011

opini musri nauli : KEPERCAYAAN KITA KEPADA KPK


Dalam tiga bulan terakhir, Indonesia ”disibukkan” dengan pembicaraan tentang Nazaruddin, seorang tokoh muda yang melesat ”bak meteor” karir politiknya. 

Posisi sebagai Bendahara partai berkaitan dengan urusan ”pundi-pundi” partai baik sumber uang maupun penggunaannya. 
Posisi strategisnya, membuat setiap gerak, pernyataan maupun ungkapannya ditunggu dan semua orang berkepentingan untuk melihat ”ending” sinetron yang mendayu-dayu yang berakibat terhadap popularits Partai Penguasa. 

 Sebagai ”orang yang ditunggu”, pernyataan Nazaruddin akan membongkar ”biang kerok” permainan jumplitan partai penguasa. 

Sudah jamak diketahui, Partai Indonesia yang tidak ”dapat” mengandalkan ”iuran” anggotanya, mencari sabetan dalam proyek-proyek pemerintah. 

Fee dari urusan ”kenegaraan”, ”setoran” terhadap calon-calon Kepala Daerah, ”setoran” rutin dari proyek-proyek yang ”diurus” membuat setiap jabatan strategis dan menghasilkan uang, sering menjadi rebutan. 

Dari titik ini, ”suara” Nazaruddin menarik ditunggu orang banyak. Dalam berbagai kesempatan, Nazaruddin ”pede” mengabarkan berbagai ”issu” tidak sedap melalui dunia maya. 

Baik melalui BBM, email dan terakhir jaringan Skyper. Dari dunia maya, kabar yang disampaikan oleh Nazaruddin disambar media dan menjadi headline berbagai media massa. 

 Kabar terakhir, Nazaruddin dengan santai menceritakan tentang Kongres Partai Demokrat yang kemudian memilih Anas Urbaningrum (AU). 

Secara detail, Nazaruddin menceritakan tentang proyek-proyek yang ”diurus” AU dan dugaan ”keterlibatan” petinggi Partai Demokrat. 

Cerita panjang lebar juga disampaikan mengenai adanya dugaan ”keterlibatan” Pimpinan KPK dalam urusan yang berkaitan dengan skandal ”Sea Games 2011”. 

Dua catatan penting sengaja penulis paparkan untuk menjawab ”kegundahan” publik terhadap adanya ”keterlibatan” Pimpinan KPK dalam ”kedip main mata” skandal ”Sea Games 2011”. 

Sebagai lembaga yang lahir untuk memberantas tindak pidana korupsi dan dianggap lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, KPK lahir berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. 

Sebagai tugas pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK diberi kewenangan yang luar biasa (kemudian dikenal sebagai lembaga superbody) untuk melaksanakannya. 

KPK selain mempunyai kewenangan sebagaimana diatur didalam KUHAP, mempunyai kewenangan seperti a. dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. (Pasal 47 (1) b. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan (pasal 12 ayat (1) huruf a) c. mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan (pasal 8 ayat 2) d. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait (pasal 7 huruf c), meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi (pasal 7 huruf e) 

Begitu berkuasanya KPK (lembaga superbody) membuat serangan ”koruptor” terhadap KPK tidak henti-henti. UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK merupakan salah satu UU yang paling sering digugat di Mahkamah Konstitusi. 

Terlepas dari berbagai putusan MK yang berkaitan dengan KPK, UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK mengalami titik krusial disaat, ketika MK mengabulkan dimana salah satu putusannya, memerintahkan kepada Presiden bersama DPR agar memperbaiki UU NO. 30 tahun 2002. didalam UU tersebut tidak mencantumkan tentang kekuasaan kehakiman sehingga bisa mengakibatkan Pengadilan ad hock tindak pidana korupsi tidak mempunyai dasar hukum sebagaimana diatur didalam UUD 1945. 

MK kemudian merekomendasikan agar ketentuan itu dimuat dan Presiden bersama DPR diberi waktu hingga 3 tahun. 

Selain itu juga KPK mengalami periodesasi ”kriminalisasi” terhadap Pimpinan KPK dalam issu ”Cicak vs Buaya”. Issu ini menjadi wacana mutakhir dalam melihat perjalanan panjang KPK. 

Issu ini muara dari dari dugaan keterlibatan Ketua (non aktif) KPK dalam pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnen. 

Issu ini kemudian menggelinding bak bola salju ketika kemudian, para pelaku dilapangan (eksekutor) mengakui bahwa adanya “perintah” dari perwira penting di Mabes Polri. 

Pengungkapan kasus ini kemudian menunjuk kepada satu nama yang dianggap penting didalam pemberantasan Korupsi. 

Keadaan Politikpun berubah. Riak-riak untuk mengungkapkan peristiwa terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen berbanding seimbang dengan upaya penggembosan keberadaan KPK. 

Dalam tarik menarik antara pengungkapan kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen kemudian bergulir menjadi persoalan politik dan menantikan adegan bagaimana nasib keberadaan KPK. 

Namun terlepas dari analisis yang penulis sampaikan terhadap keberadaan KPK, dimensi yang disampaikan oleh Nazaruddin menimbulkan problematika yang serius didalam pemberantasan korupsi. Pernyataan Nazaruddin (terlepas disampaikan dalam dunia maya dan belum mempunyai implikasi hukum), menimbulkan pertanyaan mendasar, Apakah kita masih mempercaya lembaga KPK. 

Dari dimensi ini sebenarnya, pernyataan Nazaruddin tidak boleh disepelekan. Pernyataan Nazaruddin justru menimbulkan ketidakpercayaan kepada lembaga KPK. 

Sebagai sebuah nilai ”kepercayaan”, KPK yang lahir akibat ”ketidakpercayaan” publik terhadap lembaga penegak hukum didalam upaya pemberantasan korupsi, nilai itu mulai tergerus dengan gelombang serangan yang dilakukan terus menerus. 

 Padahal nilai ”trust” merupakan kekuatan yang mampu melakukan counter attack terhadap serangan koruptor. ”kriminalisasi” terhadap pimpinan KPK dalam kasus ”cicak vis buaya” mampu menggerakkan facebookers melakukan perlawanan di kelas menengah. 

Begitu juga ”skenario” Anggodo melakukan ”serangan” terhadap KPK, justru disikapi secara politik kaum kelas menengah. 

Dan dengan nilai ”trust”, maka ”kriminalisasi” terhadap pimpinan KPK tidak bisa berlanjut di pengadilan. Nilai ”trust” merupakan modal penting didalam perlawanan ”ketidakadilan”. Nilai ”trust merupakan modal penting didalam melawan sistem ”hukum yang tidak berpihak. 

 Sebelum “Jenderal Besar Soeharto lengser keprabon”, hampir praktis, setiap keputusan politik tidak diterima oleh rakyat Indonesia. 

Pemilu yang disain untuk memenangkan Golkar dan kemudian mengangkat kembali Soeharto menjadi presiden tidak mendapat dukungan politik yang riil di tengah masyarakat. 

Namun suara rakyat kemudian terbelenggu akibat sistem politik militerisme yang mengkooptasi dan represi terhadap segala bentuk pengingkaran terhadap keputusan politik. 

Proses waktu yang kemudian mencatat dalam hitungan bulan, Soeharto yang katanya didukung oleh rakyat ternyata ditumbangkan oleh mahasiswa Mei 1999.

Keputusan politik dihasilkan dalam Sidang Istimewa 1999 ternyata tidak diterima dengna akal sehat rakyat Indonesia dan kemudian berhasil menjungkalkan Soeharto dari singgasananya. 

Peristiwa ini sekali lagi memberikan pesan, selain daripada tidak adanya kepercayaan dari rakyat, juga walaupun secara politik adalah legal (sah) namun tidak legitimate (mendapat dukungan) dan diterima oleh rakyat. 

Maka selain daripada pesan yang disampaikan, adalah kata-kata kepercayaan, maka juga harus mendapat dukungan (legitimate) dari rakyat. 

Dengan demikian walaupun KPK mempunyai kewenangan legalitas dan mempunyai kekuasaan super power dalam membongkar korupsi, namun, tidak lagi mendapatkan dukungan rakyat (legitimate) dan tidak berhasil mendapatkan kepercayaan rakyat, maka serangan dari para ”koruptor” berhasil dan KPK akan tergerus oleh putaran zaman. 

Senasib dengan lembaga pemberantasan korupsi sebelumnya. Waktu yang menjawab apakah ketakutan penulis ini terbukti atau korupsi berhasil dikikis habis di Indonesia.