Sebuah kabar dari media massa memberitakan Kementerian Kesehatan tidak mengumumkan hasil penelitian IPB pada 2003-2006 soal susu formula berbakteri, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dinilai mengabaikan putusan Mahkamah Agung (MA).
Mahkamah Agung mempersilakan David Tobing menempuh upaya hukum terhadap Institut Pertanian Bogor, Menteri Kesehatan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM.
MA menyarankan demikian setelah ketiga institusi itu tak kunjung mengumumkan nama-nama susu formula yang tercemat bakteri sakazakii.
Pengabaian pelaksanaan putusan pengadilan juga terjadi atas penyelenggaraan Ujian Nasional yang dilakukan dalam gugatan CLS oleh LBH Jakarta.
Pemerintah diminta meninjau ulang kebijakan penyelenggaraan Ujian Nasional.
Begitu juga dalam Praperadilan SKP2 Kejaksaan Agung. Pada Oktober 2009 Kejaksaaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) atas kasus Bibit-Chandra.
Dalam perjalanannya, SKP2 digugat keberadaannya melalui pengajuan proses praperadilan oleh Pihak Anggodo Widjoyo. Atas proses praperadilan ini Kejaksaan Agung melakukan perlawanan dengan mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Sayangnya Pengadilan Tinggi menolak banding dan merekomendasikan agar proses penuntutan Bibit-Chandra diteruskan sampai ke pengadilan untuk membuktikan apakah Bibit-Chandra bersalah atau tidak. Kejaksaan Agung tidak kehabisan upaya, mereka terus melakukan perlawanan dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Sayangnya di MA, kasasi ditolak dengan alasan yang lebih bersifat administratif formil, yaitu bahwa MA tidak berwenang memeriksa kasus dimaksud.
Kejaksaan Agung, yang kemudian dipimpin oleh Basri Arief tidak kehabisan akal. Berdasarkan Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, Jaksa Agung mempunyai wewenang untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum .
Dalam konsep deponeering kali ini, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Demi mendukung kelangsungan pemberantasan korupsi, yang nota bene adalah untuk kepentingan negara dan bangsa ini, Kejaksaan Agung memutuskan mengenyampingkan perkara kasus pemerasan yang disangkakan kepada Bibit-Chandra.
Deponeering kali ini bersifat final and binding (terakhir dan mengikat), tidak ada upaya hukum lagi untuk menggagalkannya.
Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan-ketentuan di atas merupakan pelaksanaan asas oportunitas dalam hukum acara pidana di Indonesia dimana Jaksa Agung dapat mengesampingkan perkara setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelas bahwa proses deponeering oleh Jaksa Agung mempunyai dasar hukum yang kuat. Namun mengingat konsep Deponeering bersifat diskresi dan opportunitas, tentu saja unsur subyektivitas didalamnya masih bisa dipertanyakan.
Alasan kepentingan umum yang dijadikan dasar mengeluarkan deponeering masih dapat diperdebatkan (debatable). Beberapa argumen menyatakan bahwa pengenyampingan perkara tidak berarti bahwa Bibit-Chandra tidak bersih dari statusnya sebagai tersangka karena menurut mereka yang mendukung argumen ini pengenyampingan perkara mempunyai arti bahwa kasus yang dimaksud telah terpenuhi unsur pidananya hanya saja tidak dilanjutkan proses penuntutannya.
Argumen lain bahkan cenderung lebih konservatif, bahwa Deponeering melanggar hukum mengingat telah ada keputusan MA sebelumnya yang menolak SKP2 sehingga secara implisit bisa ditafsirkan bahwa kasus Bibit-Chandra harusnya diputuskan di pengadilan.
Perdebatan memang tidak bisa dihindarkan apalagi menyangkut alasan dilakukannya deponeering. Di negara yang masih korup ini, di mana hukum bisa dilihat secara abu-abu, tindakan penegak hukum untuk menerapkan asas opportunitas, yang bersifat diskresional, termasuk melakukan deponeering, masih patut dipertanyakan, karena unsur subyektifitasnya kadang memang amat kental.
Sebagai benteng terakhir,
Pengadilan adalah muara dari berbagai sumbatan “ketidakadilan” dan demokrasi. Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta dalam proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegak martabat dan integritas Negara.
Hakim Sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara.
Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara.
Perlu disadari tugas utama hakim adalah menyelesaikan sengketa di antara pihak-pihak, memberi kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara. Keadilan atau kepastian yang lahir dan hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum.
Perlu diingat bahwa kepercayaan terhadap pengadilan akan tergantung pada pelayan hukum yang diberikan oleh pengadilan itu sendiri, dimana pengadilan tersebut harus dapat memenuhi harapan sebagai “benteng terakhir pemberi keadilan” (MENATA ULANG INSTITUSI HUKUM, Bismar Nasution, Harian Seputar Indonesia, 25 Januari 2006)
Pengabaian putusan Pengadilan justru meletakkan pada hukum pada titik nadir terendah dan justru akan “mempersoalkan” sikap angkuh aparat negara dalam menghormati hukum.
Pada titik inilah, kesempatan kita memperbaiki pranata hukum berhadapan dengan sikap negara yang masih menganggap sebagai Negara adalah Saya “L’etat c’est Moi”. Frasa klasik Raja Louis XIV.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 22 Juli 2011