Pada Pagi hari saat membuka jendela yang
seharusnya dilewati menghirup udara segar dan memulai hari dengan indah
mendadak terganggu oleh asap. Asap kemudian mengurungkan kita untuk membuka
jendela dan menutup hidung.
Padahal berdasarkan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Kemudian dipertegas didalam pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 ”Setiap orang berhak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Asap kemudian
merampas hak kita. Asap telah mengambil milik kita.
Berita tentang asap di Jambi mewarnai
media massa. Sejak awal September 2011, asap kebakaran hutan di wilayah
Provinsi Jambi telah mengganggu aktivitas penduduk di wilayah sekitar termasuk
untuk rute penerbangan. Berdasarkan
hasil pantauan BMKG melalui Satelit Terra dan Aqua tanggal 5 September 2011,
terdapat 85 titik api (hotspot) di wilayah Sumatera dan 6 hotspot di Provinsi
Jambi. Sedangkan titik api terbanyak terdapat di wilayah Provinsi Sumatera
Selatan.
Data beberapa hari sebelumnya menunjukkan,
ada titik api 37 titik di wilayah Jambi. Sementara, jumlah hotspots terbanyak di Sumatra
Selatan yang mencapai lebih dari 120 titik. Kuat dugaan asap dari kebakaran itu yang dibawa ke Jambi
Badan Pengendali Dampak Lingkungan Jambi
mencatat standar pencemaran mencapai angka 117 yang artinya sudah melampaui
ambang batas normal. Karena batas aman antara 0-100. Selama sepekan terakhir,
angka ISPU di Kota Jambi terus meningkat. Pada Senin lalu (5/9) 111, kemudian
pada Selasa (6/9) naik menjadi 129 dan Rabu (7/9) tercatat 117 atau sedikit
lebih menurun dibandingkan kemarin. Angka ISPU tersebut saja sudah dalam
kategori udara tidak sehat dan disarankan mengenakan masker
Berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep 45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara tertanggal 13 Oktober 1997 bahwa ada lima kategori tingkat pencemaran udara yakni baik dengan angka 0-15, sedang 51-100, tidak sehat 101-199, sangat tidak sehat 200-299 dan terkahir berbahaya yakni lebih dari 300.
Untuk saat ini, di Kota Jambi, angkanya masih berkisar di atas 100 hingga 199 atau dalam kategori udara tidak sehat di mana tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia ataupun kelompok hewan yang sensiitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.
Siapa yang bertanggungjawab
Menurut UU No. 39 Tahun 1999, Negara yang diberi
tanggung jawab untuk melindungi, menghormati dan melaksanakan HAM harus
bertanggung jawab. ”Hak untuk hidup sehat” yang diberikan konstitusi menjadi
tanggung jawab negara. Dari ranah ini, maka negara harus melindungi,
menghormati dan melaksanakan HAM.
Sebagai bentuk tanggung jawab negara, maka
negara harus menyeret pelaku pembakar ke muka persidangan. Negara kemudian
menentukan kesalahan pelaku dan siapa saja yang harus bertanggungjawab
Tanggung
jawab mutlak mutlak (strict liability)
Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak
(strict liability) merupakan gagasan yang disampaikan dalam UU No. 23 tahun
1997 Tentang Lingkungan Hidup kemudian dipertegas di UU No. 32 Tahun 2009. Yang
dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur
kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran
ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang
perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat
dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan
sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu”
adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan
asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia
dana lingkungan hidup.
Dalam lapangan hukum pidana, Prinsip
tanggung jawab mutlak (strict liability), prinsip ini menegasikan pembuktian
kesalahan berdasarkan sistem hukum Eropa Kontinental.
Pemidanaan haruslah dapat dilihat dari
dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan demikian pertanggungjawaban
pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut.
Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang
yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada
para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya
subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. (terjemahan bebas, DARI
TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, 2006)
Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem.
Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem.
Dari paparan yang telah disampaikan tersebut, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder schul beginsel” dalam sistem hukum civil law.
Maka untuk menentukan kesalahan dengna
menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld,
actus non facit reum nisi mens sir rea”, (aqua means rea atau “kehendak
jahat”).
Prinsip ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability). Pembuktian tidak semata-mata dilihat apakah pelaku (dader) melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan atau tidak, tapi beban pembuktian langsung mutlak dibebankan terhadap pelaku (dader) terhadap kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengna sumber daya alam (baca termasuk kejahatan lingkungan hidup). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dibebankan kepada perusahaan lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan kesalahan/kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, maka pembuktian menjadi sederhana dan mudah diterapkan. Pembuktian ini praktis sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku (dader).
Berangkat dari prinsip ini, praktis
kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup lebih banyak dibebankan kepada
perusahaan. Dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict
liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader) melakukan
perbuatan itu atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan, bahwa karena
kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan asap. Dengan pembuktian yang
sederhana ini, maka bisa disidangkan dimuka hukum. Dan perusahaan yang
bertanggung jawab dapat dipersalahkan dan pertanggungjawaban pidana.
Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi untuk menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan ataupun kelalaian dari perusahaan lingkungan hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah menyebabkan berbagai kejahatan di berbagai dunia dapat diselesaikan. Dan Indonesia sudah mengadopsinya di berbagai ketentuan di luar KUHP (seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup). Maka pernyataan dari berbagai kalangan harus mendapatkan respon, agar implementasi UU ini sudah selayaknya diterapkan sebagai salah satu solusi mengatasi berbagai kejahatan lingkungan hidup.
Berangkat dari konsepsi tanggung jawab mutlak mutlak (strict
liability), para pelaku dapat dijerat dengan
UU Perkebunan dan UU Kehutanan. Negara kemudian mengidentifikasikan
titik api (hotspot) dan menyeret pelaku dimuka persidangan. Apabila titik api
(hotspot) berada dalam kawasan sebuah izin (baik Perusahaan perkebunan maupun
perusahaan kehutanan), maka pemegang izin tersebut haruslah diminta
pertanggungjawaban. Baik karena kesengajaan (dolus) maupun karena kelalaian
(culpa). UU No. 40 tahun 2009 juga telah menggariskan bahwa yang dapat
bertindak dimuka hukum adalah Direksi.
Sahuri L dalam Disertasinya menjelaskan,
pertanggungjawaban korporasi harusnya mempunyai kesalahan, dan juga perbuatan
itu diatur didalam perundang-undangan yang berlaku. Dengan menggunakan definisi
yang disampaikan oleh Dr. Sahuri, maka terhadap pelaku harus diterapkan
terhadap pertanggungjawaban korporasi. Tidak tepatnya menerapkan
pertanggungjawaban korporasi selain mengakibatkan terdakwa haruslah dibebaskan
(vrijpraak), maka justru akan mengakibatkan beban tanggung jawab korporasi
hanya dialihkan kepada tanggung jawab individu (naturlijkee person).
Ketidaktepatan menempatkan dan mencampurkanadukkan antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi (naturlijkee person) mengakibatkan, didalam sistem hukum menjadi rancu. Apakah kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan pidana sebagai pribadi (naturlijkee person) atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Ketidaktepatan menempatkan dan mencampurkanadukkan antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi (naturlijkee person) mengakibatkan, didalam sistem hukum menjadi rancu. Apakah kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan pidana sebagai pribadi (naturlijkee person) atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Kesalahan dan ketidakcermatan didalam
merumuskannya selain membuat kasus ini tidak menjadi jelas (obsuur libels) juga
tidak pantas apabila kesalahan korporasi harus dibebankan kepada terdakwa
sebagai perbuatan pidana pribadi (naturlijkee person)
Oleh karena itu, sudah saatnya, harus
diminta pertanggungjawaban kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi. Dengan
demikian, penanggulangan mengenai asap dapat tercapai.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 9 September 2011
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 9 September 2011