08 September 2011

opini musri nauli : MENYERET PELAKU PEMBAKAR KE PERSIDANGAN

Pada Pagi hari saat membuka jendela yang seharusnya dilewati menghirup udara segar dan memulai hari dengan indah mendadak terganggu oleh asap. Asap kemudian mengurungkan kita untuk membuka jendela dan menutup hidung.



Padahal berdasarkan Pasal 28 H ayat  (1) UUD 1945 ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Kemudian dipertegas didalam pasal  9 UU No. 39 Tahun 1999 Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Asap kemudian merampas hak kita. Asap telah mengambil milik kita.
Berita tentang asap di Jambi mewarnai media massa. Sejak awal September 2011, asap kebakaran hutan di wilayah Provinsi Jambi telah mengganggu aktivitas penduduk di wilayah sekitar termasuk untuk rute penerbangan. Berdasarkan hasil pantauan BMKG melalui Satelit Terra dan Aqua tanggal 5 September 2011, terdapat 85 titik api (hotspot) di wilayah Sumatera dan 6 hotspot di Provinsi Jambi. Sedangkan titik api terbanyak terdapat di wilayah Provinsi Sumatera Selatan.

Data beberapa hari sebelumnya menunjukkan, ada titik api 37 titik di wilayah Jambi. Sementara, jumlah hotspots terbanyak di Sumatra Selatan yang mencapai lebih dari 120 titik. Kuat dugaan asap dari kebakaran itu yang dibawa ke Jambi

Badan Pengendali Dampak Lingkungan Jambi mencatat standar pencemaran mencapai angka 117 yang artinya sudah melampaui ambang batas normal. Karena batas aman antara 0-100. Selama sepekan terakhir, angka ISPU di Kota Jambi terus meningkat. Pada Senin lalu (5/9) 111, kemudian pada Selasa (6/9) naik menjadi 129 dan Rabu (7/9) tercatat 117 atau sedikit lebih menurun dibandingkan kemarin. Angka ISPU tersebut saja sudah dalam kategori udara tidak sehat dan disarankan mengenakan masker

Berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep 45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara tertanggal 13 Oktober 1997 bahwa ada lima kategori tingkat pencemaran udara yakni baik dengan angka 0-15, sedang 51-100, tidak sehat 101-199, sangat tidak sehat 200-299 dan terkahir berbahaya yakni lebih dari 300.

Untuk saat ini, di Kota Jambi, angkanya masih berkisar di atas 100 hingga 199 atau dalam kategori udara tidak sehat di mana tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia ataupun kelompok hewan yang sensiitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.

Siapa yang bertanggungjawab

Menurut UU No. 39 Tahun 1999, Negara yang diberi tanggung jawab untuk melindungi, menghormati dan melaksanakan HAM harus bertanggung jawab. ”Hak untuk hidup sehat” yang diberikan konstitusi menjadi tanggung jawab negara. Dari ranah ini, maka negara harus melindungi, menghormati dan melaksanakan HAM.

Sebagai bentuk tanggung jawab negara, maka negara harus menyeret pelaku pembakar ke muka persidangan. Negara kemudian menentukan kesalahan pelaku dan siapa saja yang harus bertanggungjawab

Tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan gagasan yang disampaikan dalam UU No. 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup kemudian dipertegas di UU No. 32 Tahun 2009. Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Dalam lapangan hukum pidana, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), prinsip ini menegasikan pembuktian kesalahan berdasarkan sistem hukum Eropa Kontinental.

Pemidanaan haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. (terjemahan bebas, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, 2006)

Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem.

Dari paparan yang telah disampaikan tersebut, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder schul beginsel” dalam sistem hukum civil law.

Maka untuk menentukan kesalahan dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, (aqua means rea atau “kehendak jahat”).

Prinsip ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability). Pembuktian tidak semata-mata dilihat apakah pelaku (dader) melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan atau tidak, tapi beban pembuktian langsung mutlak dibebankan terhadap pelaku (dader) terhadap kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengna sumber daya alam (baca termasuk kejahatan lingkungan hidup). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dibebankan kepada perusahaan lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan kesalahan/kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, maka pembuktian menjadi sederhana dan mudah diterapkan. Pembuktian ini praktis sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku (dader).

Berangkat dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup lebih banyak dibebankan kepada perusahaan. Dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader) melakukan perbuatan itu atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan, bahwa karena kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan asap. Dengan pembuktian yang sederhana ini, maka bisa disidangkan dimuka hukum. Dan perusahaan yang bertanggung jawab dapat dipersalahkan dan pertanggungjawaban pidana.

Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi untuk menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan ataupun kelalaian dari perusahaan lingkungan hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah menyebabkan berbagai kejahatan di berbagai dunia dapat diselesaikan. Dan Indonesia sudah mengadopsinya di berbagai ketentuan di luar KUHP (seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup). Maka pernyataan dari berbagai kalangan harus mendapatkan respon, agar implementasi UU ini sudah selayaknya diterapkan sebagai salah satu solusi mengatasi berbagai kejahatan lingkungan hidup.

Berangkat dari konsepsi  tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability), para pelaku dapat dijerat dengan  UU Perkebunan dan UU Kehutanan. Negara kemudian mengidentifikasikan titik api (hotspot) dan menyeret pelaku dimuka persidangan. Apabila titik api (hotspot) berada dalam kawasan sebuah izin (baik Perusahaan perkebunan maupun perusahaan kehutanan), maka pemegang izin tersebut haruslah diminta pertanggungjawaban. Baik karena kesengajaan (dolus) maupun karena kelalaian (culpa). UU No. 40 tahun 2009 juga telah menggariskan bahwa yang dapat bertindak dimuka hukum adalah Direksi.

Sahuri L dalam Disertasinya menjelaskan, pertanggungjawaban korporasi harusnya mempunyai kesalahan, dan juga perbuatan itu diatur didalam perundang-undangan yang berlaku. Dengan menggunakan definisi yang disampaikan oleh Dr. Sahuri, maka terhadap pelaku harus diterapkan terhadap pertanggungjawaban korporasi. Tidak tepatnya menerapkan pertanggungjawaban korporasi selain mengakibatkan terdakwa haruslah dibebaskan (vrijpraak), maka justru akan mengakibatkan beban tanggung jawab korporasi hanya dialihkan kepada tanggung jawab individu (naturlijkee person).
Ketidaktepatan menempatkan dan mencampurkanadukkan antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi (naturlijkee person) mengakibatkan, didalam sistem hukum menjadi rancu. Apakah kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan pidana sebagai pribadi (naturlijkee person) atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Kesalahan dan ketidakcermatan didalam merumuskannya selain membuat kasus ini tidak menjadi jelas (obsuur libels) juga tidak pantas apabila kesalahan korporasi harus dibebankan kepada terdakwa sebagai perbuatan pidana pribadi (naturlijkee person)

Oleh karena itu, sudah saatnya, harus diminta pertanggungjawaban kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi. Dengan demikian, penanggulangan mengenai asap dapat tercapai.

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 9 September 2011