Tuduhan
terhadap masyarakat penyebab asap akibat pembukaan lahan dengan cara membakar
menyakitkan hati. Tuduhan itu semata-mata pengalihan tanggung jawab negara yang
telah memberikan izin kepada pemegang konsensi yang tidak mau bertanggungjawab.
Padahal di tengah masyarakat sendiri, mereka mempunyai cara dan mekanisme hukum
adat untuk menyelesaikannya.
Sebagai
contoh, Di Desa Tanjung Benuang dalam Margo Sungai Tenang Luak XVI, sebuah Desa
hulu sungai Batanghari di daerah tinggi Kecamatan Sungai Tenang, Bangko.
Sejarah
Desa Tanjung Benuang bermula dari Kesatuan
adat koto 10 mendirikan balai bunta besendi gading di desa gedang. Nenek Malano
kuning adalah orang koto 10 yang menjadi nenek moyang penduduk Desa Tanjung
Benuang. Asal mulanya berakit batang pisang mengilir sungai sirih bersama
saudaranya yang perempuan bernama Puti kimeh udang hingga sampai ke bukit
rantau sangkil. Setiba dibukit rantau sangkil maka ditinggalkanya puti kimeh
udang di bukit rantau sangkil, maka berangkat ia(datuk malano kuning) menghadap
ratu Maimunah jambi untuk mengambil cap Rajo Jambi. Setelah itu berangkatlah
datuk malano kuning ke mataram mengambil pusako yang Balampit Balambago cap
bungo seluntah. Setelah pusako didapat maka pulanglah ke jambi datuk malano
kuning dan menuju ke rantau bukit sangkil.
Maka
sesampainya ia di rantau bukit sangkil ia tidak menemukan lagi saudaranya (uti
kimeh udang). Datuk Malano kuning melakukan pencarian sampai akhirnya menemukan
puti kimeh udang di Pulau Sangkar kerinci. Puti kimeh udang sudah menjadi Ratu
di pulau sangkar. Karena rasa penasaran puti kimeh udang terhadap pusako yang
di bawa datuk malano kuning maka dibuka olehnya pusako yang dibawa datuk malano
kuning pada waktu beliau ke sungai untuk mengambil air sembahyang. Dibelahnya
pusako itu menjadi duo.
Maka
terbagi duo lah pusako terebut yang satu tetap di pulau sangkar Kerinci dan
yang satu di desa Tanjung Benuang. Pusako itu dikenal dengan sebutan Adat Bebas
Pusako kedim. Desa Tanjung benuang semula bernama tanjung beringin berlokasi
tidak jauh dari desa sekarang yang dikenal dengan desa yang dihuni bujang
seratus gadis seratus. Dari tanjung beringin kemudian pindah karena diganggu
cagau (raksasa laut) dengan nama desa Indarjati. Dari desa indarjati kemudian
pindah lagi ke lokasi desa yang baru karena ribut dengan serikat abang. Desa
yang baru ini sudah bernama tanjung benuang. Karena di ganggu gajah maka pindah
lagi penduduk waktu itu dan mereka menamakan desa yang mereka tinggalkan dengan
nama Tanjung benuang tinggal. Dari desa tanjung Benuang tinggal sampai sekarang
tidak terjadi lagi perpindahan lokasi desa Tanjung Benuang.
Berdasarkan
KEPUTUSAN DEPATI SUKO MENGGALO, Cara Membuka hutan dengan prinsip. Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri
bernenek mamak, Hutan yang
dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat. Hutan yang Dibuka
dilakukan secara kelompok. Kemudian diadakan Rapat Besar. Lembaga adat mengadakan “Rapat Besar” pada hari ke 10
Lebaran Besar (idul Fitri) untuk menentukan pembagian kelompok membuka rimbo.
setiap Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara membuat pagar bambu
dan harus membuka selama 3 bulan yang biasa dikenal LAMBAS. Setiap Kepala
Keluarga hanya boleh membuka 1 ha dan harus ditanami selama 3 tahun. Apabila
tidak ditanami, maka tidak boleh membuka rimbo lagi. Pada bulan Haji (Idul
Adha) dilakukan penumbangan, dan menebas untuk dijadikan perkebunan. Pada Bulan
Safar dilakukan pembakaran, menugal dan harus selesai selama bulan safar. Tanah
yang dibuka tidak boleh dijual kepada
orang luar. Tanah yang telah dibuka dan ditanami menjadi hak milik.
Terhadap pelanggaran membakar hutan,
dikenal dengan seloko ”Tekejut, tegempar”. Dan sanksinya kambing Sekok, beras 20,-, emas 7 tail sepaho. (Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20
gantang dan uang Rp. 750.000,- Tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung).
Sanksi yang cukup keras
Mekanisme
penyelesaiannya dikenal dengan seloko JENJANG ADAT. Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang
memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan
menginjek, menyelesaikan dengan cara
Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke nenek mamak.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang. Apabila
tidak dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila
tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu kepada kepala Desa.
Tentu saja daerah yang masih memegang
nilai-nilai hukum adat, cara ini masih digunakan. Dan terbukti tidak pernah
terjadi asap yang kita rasakan. Sehingga tuduhan selain menyakitkan dan sama sekali tidak
berdasar.